Apa cita-citamu saat kecil?
Dokter? Pilot? Presiden bahkan?
Waktu kecil, lagi unyu-unyunya
dan sering diburu mang (mang : paman
dalam bahasa sunda) sama bibi (bibi :
tante dalam bahasa sunda) buat diajak maen, saya pengen jadi dokter. Bahkan dulu
Emak saya (emak itu panggilam saya
buat nenek dari bapa yang kebetulan orang sunda) sering bilang “kalau Emak
sakit, nanti ga usah bayar ya” tapi dengan manjanya saya jawab “Jangan. Tetep bayar
dong. Nanti rugi dong”. Kalau saya ingat percakapan itu lagi, saya jadi miris. Masih
ingatkah nenek saya dengan percakapan itu? Apa masih ada harapan dalam dirinya
untuk berobat gratis ke cucunya? Tapi kalau pun saya terusin cita-cita saya
buat jadi dokter sampi sekarang, pasti lahh enggak akan kesampaian, mengingat
biaya kuliahnya yang kayanya harus punya pohon duit sendiri.
Kalau Bapak saya beda lagi. Beliau
seneng banget nontonin laporan reporter di tayangan info arus mudik. Beliau pengen
banget saya bisa kaya gitu. Setelah beres nonton itu, beliau suka bikin akhir
laporan sendiri “Saya Widya Pertiwi melaporkan dari Jalur Nagreg.” Inget itu
saya jadi pengen nangis. Ya ampun Pa. Jangankan buat ngelaporin keadaan kaya
gitu di TV. Presentasi di depan kelas aja saya suka grogi.
Masuk Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menengah Pertama cita-cita saya jadi ganti. Pengen jadi pramugari. Kayanya
asyik aja kalau bisa jalan-jalan tiap hari. Ngunjungi tempat-tempat baru. Menyenangkan
lahhh. Tapi lagi-lagi terganjal satu hal. Yang ini konyol pula. Gara-gara gigi
saya yang berantakan. Karena saya pernah baca salah satu artikel tentang syarat
jadi pramugari itu tidak boleh memakai kawat gigi. Saya? Pakai kawat gigi juga
enggak, dan membiarkan gigi saya tetep amburadul. Hehe.
Masuk Sekolah Menengah Atas, saya
bener-bener enggak punya cita-cita. Mikirin kuliah jurusan apa aja bingung. Tepatnya
tidak punya bakat. Sampai saya ngerasa senang dengan pelajaran kimia dan
sekarang kuliah di jurusan itu. Dan ngambil pendidikan. Hahaha. Tidak pernah
terpikirkan sebelumnya bakal jadi guru. Yaaa memang tidak semua sarjana
pendidikan itu akan jadi guru, tapi peluang untuk memilih jadi ‘guru aja’ jadi
makin lebar dong dengan bekal yang dimiliki.
Hmm, adakah diantara kalian yang
punya cita-cita konsisten dari kecil sampai sekarang akhirnya menempuh
pendidikan sesuai dengan cita-cita itu? Syelamat eaghhh
Tapi pasti banyak juga yang punya
cita-cita berubah kaya kepingan cerita saya. Haha. Kenapa?
Mungkin karena faktor biaya
pendidikan untuk mewujudkan cita-cita itu mahal banget kaya jadi dokter tadi. Dibutuhkan effort yang ekstra. Atau seiring
dengan tumbuh besarnya kita, kita menemukan profesi lain yang menurut kita
lebih menyenangkan. Tidak sedikit pekerjaan seseorang sesuai dengan
cita-citanya. Apakah itu menunjukkan kalau kita tidak sukses dalam mewujudkan
mimpi kita? Hmm, menurut saya enggak juga. Terkadang Allah punya jalan dan cara
lain untuk menunjukkan kasih sayangnya. Termasuk dalam menentukan masa depan
kita. Mungkin saja dengan keadaan yang saat ini dijalani, dapat membuat kita lebih
dekat dengannya. Hayoo milih mana? Surga di dunia atau di akhirat? Dua-duanya? Ya
ya lah. Semua orang juga pengennya gitu. Tapi mungkin kita tidak pernah tahu
kalau cita-cita kita benar terwujud, kita akan jadi sombong, tidak dapat
mengendalikan diri, atau tidak bisa berlaku amanah. Yang jelas syukuri saja
keadaan saat ini dan tetap melakukan yang terbaik dalam setiap usaha kita.