Saya
adalah anak pertama. Keinginan orang tua lagi. Hehe. Maksudnya, menurut Ibu
saya sih, kedua orang tua saya menginginkan anak perempuan untuk anak pertama
mereka. Meski mereka tidak berani mengucapkan itu sebelum saya lahir. Takut
anaknya laki-laki. Barulah mereka jujur satu sama lain, setelah saya
benar-benar ada.
Sebagai
anak pertama dan dengan jarak tujuh tahun dengan kelahiran adik, saya merasa
kenyang dengan kasih sayang. Terutama kasih sayang seorang ... Bapak. Meski
dengan kehidupan kami yang sederhana. Bapak. (eh sumpah lah, kenapa tiba-tiba
saya pengen nangis waktu nulis kata terakhir tadi). Pekerjaan beliau
menuntutnya untuk tidak bisa libur kecuali libur nasional. Makanya, Cuma saat
itu saja beliau bisa ada di rumah berkumpul bersama kami.
Ada
sebuah kebiasaan yang biasa kami lakukan kala tanggal merah pada kalender itu
tiba. Hmm, bukan kebiasaan juga sih. Hanya beberapa kali. Tapi cukup membuat
saya akan selalu mengingat jejak-jejak perjalanan sederhana yang kami lewati
berdua. (heiii, sekarang beneran nangis saya. Hahaha). Waktu itu saya masih SD,
sekitar kelas satu atau dua gitu. Adik saya masih sangat bayi untuk bisa diajak
jalan-jalan. Jadinya biasanya hanya kami berdua yang jalan-jalan.
Waktu
itu, Idul Adha, kami berdua mengunjungi salah satu sanak saudara di daerah
Maleber. Dekat rel kereta. Saya adalah tipe anak yang gampang bosan. Dan pasti
saya akan merengut kalau sudah bosan. Ditambah lagi saya ini anak yang pendiam
sehingga tidak bisa bermain dengan saudara-saudara yang lain, meski mereka
sudah mengajak dengan paksa. Hehe. Waktu itu, beliau (bapak) mengajak saya
jalan-jalan di sekitar rumah dan menuju ... stasiun? Stasiun Andir. Bagi yang
orang Bandung atau sering melewati daerah Maleber, pasti tidak asing dengan
Stasiun yang sekarang tidak lagi beroperasi karena jaraknya dengan jalan yang
terlalu dekat.
Pagi di ex Stasiun Andir |
Beliau
kemudian mengajak saya naik KRD menuju Cicalengka. Saya yang memang suka dengan
kereta, langsung mengiyakan. Meski kami tidak punya kepentingan apa-apa. Sampai
di Stasiun Cicalengka, kami hanya makan, dan pulang lagi menuju Stasiun Andir.
Lain
harinya, saya mengajak Bapak untuk melakukan hal serupa. Saya tidak tahu
perasaan beliau. Mungkin beliau sebetulnya malas melakukannya lagi. Tapi,
beliau mau. Sampai di Stasiun Andir, kami lihat jadwal. Ternyata kereta yang
sedang menuju Stasiun Andir adalah kereta menuju Padalarang. Kata Bapak,
perjalanan menuju Padalarang pendek. Dan tidak seindah pemandangan perjalanan
ke Cicalengka. Saya cemberut lagi. Akhirnya, kami naik juga kereta menuju Padalarang.
Tapi dari Padalarang, kami tidak langsung menuju Andir. Tapi ke Cicalengka
terlabih dahulu, dan baru menuju Andir. Kalau saya bayangkan sekarang, ko Bapak
mau? Haha
Tidak
ada yang istimewa dari KRD yang membawa kami “kekeretaan”. Begitu kami menyebut
aktivitas yang mungkin bagi sebagian orang aneh. KRD yang biasa digunakan
sebagai trasnportasi orang-orang di sekitar Kota Bandung menuju Kota
Bandung-nya, kami jadikan mainan. Kereta itu bukanlah kereta dengan tempat
duduk berhadapan seperti kereta pada umumnya. Kereta itu hanya memiliki tempat
duduk di kedua sisinya. Dan kosong melongpong di bagian tengah. Tapi jangan
bayangkan di bagian tengah itu kita bisa selonjoran atau gelar tikar. Bagian
tengah itu akan penuh sesak oleh penumpang dan.. lalu lalang pedagang,
pengamen, serta copet mungkin. Kalau kami naik dari Stasiun pertengahan seperti
Andir, jangan harap dapat tempat duduk. Tapi kalau naik dari Stasiun ujung
seperti Padalarang atau Cicalengka, pilihlah tempat duduk dimana kau suka. Di
situlah saya bisa duduk, menghadap jendela, dan melihat-lihat pemandangan
sambil sesekali bertanya pada Bapak.
Kebiasaan
ini hendak ditularkan pada adik saya. Setelah dia agak besar, kalau tidak salah
saya sudah masuk SMP atau SD kelas enam. Kami bertiga memulai perjalanan dari
Stasiun Andir. Dan untungnya kereta saat itu akan menuju Cicalengka. Sehingga
kami tidak perlu melakukak double route. Tapi baru saja sampai di
Stasiun Cikudapateuh, adik saya minta turun. Katanya keretanya ga nyaman.
Banyak pedagang dan pengamen yang bikin dia pusing. Hedehhh. Beda bakat kali
ya. Haha. Dan kebiasaan kami pun terhenti sampai di situ. Seiring dengan saya
yang beranjak besar dan menemukan teman main baru.
Waktu
itu, perjalanan itu terasa menyenangkan hanya dari sisi anak-anak saya saja.
Tapi sekarang, saya merasa itu sebuah bentuk kasih sayang. Meski saya tidak
bisa mengingat setiap pemandangan yang dilewati, tapi saya masih bisa melihat
hamparan sawah dan gunung kapur dalam ingatan. Meski sekarang saya lupa urutan
stasiun yang akan kami lewati (dulu hapal banget). Tapi saya tidak akan lupa
untuk menceritakan kisah ini pada anak saya nanti.
Dan
sekarang, saya rindu dengan masa-masa itu. Sampai sekarang pun, saya tidak bisa
membayangkan bagaimana saya tanpa Bapak. Dulu, saya pernah iri sama seorang
teman karena ketika dia pulang ke rumah, diam-diam Ayahnya mencium keningnya
saat ia tidur. Saya mengutarakan rasa iri saya pada teman itu. Dan tau apa yang
dia bilang? “Bapak kamu mungkin ga pernah cium kening kamu. Tapi dia
nganter-jemput kamu tiap hari, Wid” Huwaaa. Saya ga bisa bilang apa-apa lagi.
Kemarin
hingga saat ini bahkan, saya masih selalu menyalahkan keadaan saya yang tidak
bisa pake motor kalau kondisi darurat sedang menimpa. Tapi kadang saya
bersyukur juga dengan kepercayaan yang belum bisa Allah berikan itu. Mungkin
Allah sedang memberikan saya waktu plus-plus dengan Bapak. Sebelum saya, si
anak sulung perempuan ini diambil seseorang. Sebelum saya benar-benar menemukan
imam pengganti beliau. Ya Allah, boleh saya minta imam saya nanti memiliki
sikap penyayang, pengertian, dan tanggung jawab seperti beliau? Tapi enggak
pake kumis ya. ^^v