Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.


Terkadang kita harus belajar dari anak-anak,
Mereka selalu lebih pintar mengambil hikmah.
Orang dewasa selalu mengeluh bila hujan turun.
Acara batal atau pertemuan yang berantakan.
Namun anak-anak selalu dengan sabar dan riang,
Menanti pelangi datang.

Terkadang kita harus belajar dari anak-anak,
Mereka selalu lebih pintar mengartikan persahabatan.
Orang dewasa  selalu memelihara dendam.
Semantara anak-anak lebih mudah memaafkan.

Terkadang kita harus belajar dari anak-anak,
Mereka selalu lebih berani untuk bermimpi.
Orang dewasa selalu ragu untuk maju membuat keputusan.
Berbeda dengan anak-anak yang selalu menganggap semuanya lebih  mudah untuk dicapai.

Terkadang kita harus belajar anak-anak
Mereka selalu lebih pandai bersyukur.
Orang dewasa kerap menggerutu ketika ia hanya mendapatkan setengah dari rencana.
Tapi anak-anak selalu menyambut setiap rizki tanpa lupa mengucapkan terima kasih.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

                Counter baru memang membutuhkan perhatian lebih. Apalagi baru ada satu pegawai di situ. Gynta sedang merapikan scarf sesuai gradasi warna. Pengunjung yang datang kemarin lumayan banyak. Membuat ia harus kerja ekstra juga merapikan kembali barang-barang yang sudah dipilih-pilih. Banyak juga dari mereka yang hanya mengacak-acak, namun tak menjatuhkan pilihan yang mana pun.
                “mba, adek saya baru lulus kemarin. Bolah ga kalo ikut kerja disini. Sekalian aja saya yang ajarin. Biar ga canggung juga.” Nita menghentikan aktifitasnya sebentar menunggu tanggapan bossnya itu.
                “ya boleh. Bawa aja langsung lamarannya kesini. Nanti saya atau Janny wawancara dia. Biar saya juga enggak harus dari pagi datengnya.” Yang ditanya menoleh dan kembali melanjutkan tata letak pashmina kali ini.
                “iya deh, Mba. Nanti saya suruh dia kesini secepatnya.” Senyum sumringah terlukis di bibir Nita. Adiknya yang baru lulus SMA itu setidaknya memiliki peluang besar. Gynta memang lebih senang merekrut pegawai hasil rekomendasi pegawai yang sudah lebih dulu bergabung dengannya. Bukan karena ikut-ikutan menggalakkan nepotisme. Alasannya akan lebih mudah menaruh kepercayaan dan rasa persaudaraan kalau sesama pegawai sudah saling kenal. Toh sesungguhnya nepotisme itu dibolehkan asalkan orang tersebut memang memiliki kemampuan. Setidaknya itu yang dikatakan dosennya sewaktu menjalani kuliah Psikologinya.
                Ornamen pintu masuk mengeluarkan suara gemerincingnya. Pengunjung pertama.
“selamat datang. Silahkan.” Nita bangkit dari duduknya dan tersenyum menyambut.
Semoga menjadi langkah awal yang baik. Gynta memindahkan pandangannya ke arah pintu. Seorang perempuan berjilbab hingga pinggang menuntun bocah yang ia perkirakan berusia dua tahun. Ia melanjutkan kembali mengamati hasil karyanya. Tak sempat ia melihat sosok yang mengikuti sosok akhwat solehah itu.
“maaf Mba, saya lagi nyari baju buat ibu saya.”
Gynta terhenyak mendengar suara itu. Untuk beberapa nano detik ada jutaan perasaan yang ia tidak tahu apa itu. Sebagian kecil pikirannya meyuarakan untuk meninggalkan suara itu, namun tak luput juga yang menyarankan untuk menghadapinya. Siapa pun pemilik suara berat itu.
Gynta membalikkan badan. Melihat sosok yang ada di depannya dari bawah. Berharap ia dapat menebak dari sepatu atau bentuk kakinya mungkin.
Namun sosok itu telah lebih dulu melihat Gynta tepat di matanya. Mata yang sempat membuatnya rindu untuk sekedar melihatnya berkerut akibat tawa pemiliknya. Mata yang sempat menunjukkannya dunia luar yang dulu sempat ia takuti. Dan yang terakhir ia lihat, mata itu basah akibat sesuatu yang tak dapat ia jelaskan. Mata itu masih sama. Masih setajam dulu. Ada sedikit keangkuhan di sudutnya yang membuatnya sempat berdesir. Namun ia juga tetap dapat menemukan keteduhan dan sifat manja yang dulu juga sempat membuatnya merasa harus melindunginya.
Gynta tak ubahnya manekin kali ini. ia telah sampai pada bagian dimana otak sang pemilik berada. Otak cerdasnya yang membuat ia kagum yang terlanjur termanifestasikan sebagai rasa iri. Rasa yang berubah menjadi serangkaian reaksi dan gelombang yang tak pernah ia temukan dalam buku pelajaran Kimia maupun Fisikanya. Ia masih mengobrak-ngabrik gudang kenangannya. Berharap menemukan sesuatu sebagai petunjuk tentang orang di depannya ini. Jauh di sudut alam sadarnya, ada sebuah kotak yang telah tertutup debu disana. Kotak yang sepertinya sengaja ditutup rapat. Sebuah kotak kecil namun juga sepertinya secara sengaja pula dilukis indah. Tak sedikit pun celah dari bagiannya yang tak berwarna.
***
                “kayanya kita harus jauh aja deh.” sudah kesekian kalinya ia mengungkapkan kalimat ini.
                “kenapa?” Gynta mulai membaca gelagat tidak enak.
                “aku pengen serius kuliah.” Laki-laki itu masih menatap ke depan. Menyusuri aliran air di bawah tempatnya berpijak.
                “tapi kan ga harus jauh. Kenapa? Nilai ujian kamu jelek yaaa?” Gynta mencoba menenangkan hatinya yang tak tenang. Ia pernah membaca bahwa memgeluarkan joke dapat membuat suasana lebih rileks.
                Laki-laki itu kemudian merubah posisinya. Menghadap Gynta.
                “Gyn, aku punya tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar bermain-main kaya kita gini.”
                Apa? Main-main? Jadi selama ini ia anggap semua ini main-main. Gynta mengumpat dalam hati.
Perempuan memang selalu terburu-buru. Terlalu cepat mengartikan perasaan, terlalu cepat berharap, bahkan terlalu cepat berpikir jauh.
“ada cewek lain ya?” suara Gynta mulai parau. Ia bingung juga. Laki-laki itu bukan pacarnya. Bukan pula teman biasa. Selama ini mereka seperti melewati jalanan di pagi buta. Menyejukkan namun kabur terhalang embun.
“enggak. Aku ngerasa kedekatan kita terlalu berlebihan aja.” Laki-laki itu masih dengan tenang menjawab.
Gynta memang mahasiswa psikologi. Namun ilmunya di semester tiga ini belum cukup untuk mengetahui isi hati orang sebenarnya.
“pasti gara-gara organisasi kamu itu ya? Udah ada akhwat yang nyangkut di hati kamu?” perempuan juga memang terlalu cepat emosi.
“aku udah bilang. Jangan bawa-bawa organisasi aku. Kamu yang terlalu kekanak-kanakkan. Belajar dewasa dong, Gyn. Masih banyak yang harus kita pikirin daripada sekedar cerita cinta monyet kaya gini. Kita udah jadi mahasiswa, Gyn. Udah beda sama waktu sekolah.”
Ya memang beda. Beda kampus, beda lingkungan, beda teman sepermainan. Dan yang pasti beda gengsi. Terbersit dalam pikiran Gynta kalau laki-laki itu merasa malu dekat dengan Gynta yang bukan berasal dari kampus bergengsi sepertinya.
Gynta menelan ludah. Menahan sebongkah amarah, kecewa, entah apa namanya. Sudah sekian kali pula mereka terlibat perdebatan dengan judul yang sama. Dan mungkin pula ini puncaknya.
“aku ga bisa janji apa-apa ke kamu. Bukan aku ga mau, aku cuma ga mau kamu terlalu mengharapkan aku. Jangan berharap pada makhluk, Gyn. Aku ga mau kamu jadi seolah ngemis cinta. Lupain aku. Cari yang lebih baik.”
Laki-laki itu melangkah tanpa ada kata lagi. Tanpa ucapan perpisahan. Tanpa perayaan kepergian.
Tak ada perselisihan yang membuat mereka diam untuk waktu yang lama sebelumnya. Mereka hanya terdiam karena tengah asyik dengan kegiatan kampusnya masing-masing. Gynta yang sedang mencoba sibuk dengan dunia kampus karena cerita-cerita pria itu tentang kegiatan di kampusnya. Dan laki-laki itu juga tengah asyik dengan.. Gynta masih belum menemukan jawaban yang membuatnya puas. Meskipun laki-laki itu berulang kali meyakinkan penjelasan itu lah yang seharusnya membuat Gynta paham maksudnya. Gynta senang laki-laki itu menjadi lebih taat. Lebih peduli sesamanya. Lebih aktif di kampusnya. Tapi ternyata tak sadar sedang mempersiapkan pula kesakitannya.
Bukan. Ini bukan kesakitan ini hanya sementara. Ia meletakkan semua cerita-cerita bersama laki-laki itu pada sebuah kotak kecil yang sengaja ia lukis dengan tanpa meninggalkan seinci pun tanpa sapuan kuas. Ia sebut itu kenangan kecil namun cukup indah jika dibuka.
Tidak. Ia tidak berminat untuk membukanya. Ia sudah memberinya gembok terbaik di dunia. Kuncinya ia buang jauh di negeri antah berantah. Mungkin juga di negeri tempat tinggal Batara Kala. Berharap monster itu bisa ikut memakan kuncinya agar ia tak dapat menemukannya kembali.
***
                Susah payah Gynta melewati negeri antah berantah dan meminta kunci itu kembali pada Batara Kala.
                Kotak itu masih terbuka. Isinya tercecer memenuhi ruang pikirnya yang semula kosong.
                Sejujurnya hingga ia menyelesaikan kuliah psikologinya, ia juga belum bisa menerka apa yang ada dalam pikiran seseorang. Begitu pun kali ini. Laki-laki yang juga sempat ia ingin tahu perasaannya.
                “oh ya, Pa. Sebelah sini.” Gynta tersenyum sambil memberi tanda pada laki-laki itu untuk mengikutinya.
                Gynta membawanya pada deretan baju gamis. Tak ada percakapan teman lama. Atau sekedar basa-basi lama tak jumpa. Keduanya seperti sudah kompak menyimpan percakapan dan basa-basinya dalam hati.
                “Abby, gimana? Udah nemu?” perempuan berjilbab itu mendekati laki-laki itu setelah memberikan seulas senyum pada Gynta.
                Gynta beranjak dari tempatnya. Menghampiri meja kasir. Menyuruh Nita untuk melayani pelanggan pertamanya itu, tanpa memberitahunya pertualangan yang baru saja ia jalani. Berpura-pura sibuk dengan tumpukan kertas. Sesekali ia perhatikan juga percakapan dua orang itu.
                Perempuan itu berjalan di depan diikuti laki-laki itu menuju meja kasir. Gynta hanya menyunggingkan senyum tanpa mengeluarkan kata. Mengscan lebelnya, memasukkan salah satu gamis itu ke dalam paper bag, menerima uang yang disodorkan perempuan itu, membuka laci pada mesin kasir, mengatur kembalian, menyerahkan belanjaan, uang kembali, dan struk belanjanya.
                “terima kasih. Lain kali berkunjung lagi ya.” Kali ini Gynta bersuara.
Perempuan itu berlalu sambil menuntun bocah laki-lakinya.
“makasih ya, Gyn.” Suaranya itu mungkin tak terdengar perempuan yang telah lebih dulu berlalu menuntun bocah laki-laki yang masih merengek minta es krim. Laki-laki itu tersenyum. Senyum yang pernah membuat ia lupa dunia mungkin.
Meja kasir itu terletak dekat pintu masuk. Ia masih bisa melihat mereka masuk mobil. Gynta tersenyum.
Beep beeep
‘My Beloved Husband’ tertulis di screen handphonenya.
Segera ia bereskan lamunannya. Memasukkan kembali album dan potongan cerita itu ke dalam kotaknya. Ia sudah berjanji untuk memberikannya pada Batara Kala. Dan memintanya untuk jangan pernah memuntahkannya lagi sekuat apa pun ia memohon.

Catatan Gynta : aku tidak tahu apa yang membedakan khayalan dengan impian. Ada yang bilang impian adalah imajinasi yang dapat membuatmu bahagia. Sedangkan khayalan tidak. Aku juga tidak tahu bagian mana dari cerita ini yang harus ku anggap sebagai khayalan dan mana sebagian lagi sebagai impian.
               

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
                Aku masih mempertahankan posisi botol minyak itu terbalik di atas wajan. Sambil sesekali mengetuk-ngetukkannya pada pinggir wajan. Berharap masih ada tetesan minyak yang cukup untuk kegiatan masak ku kali ini. Aku berencana membuat tahu yang dipotong memanjang yang dibalut dengan adonan tepung dan diberi sentuhan akhir tepung roti. Awalnya aku sempat mencicipi makanan itu di sebuah kafe di salah satu mall saat aku dan teman-temanku hendak mencoba shisa. Memang aneh. Shisa memang sudah ada dan populer beberapa tahun yang lalu, namun aku baru mencobanya. Rasa penasaran itu memang baru muncul beberapa waktu lalu.
Karena aku pikir makanan berbahan dasar tahu ini mudah tertebak bahan dan pembuatannya, maka semenjak saat itu aku menjadi sering membuatnya sendiri di rumah. Apalagi saat libur dan tak ada rencana keluar rumah. Lumayan untuk sekedar teman nonton tv atau membaca novel yang sengaja ku pinjam dari perpustakaan kampus.
                Aku melirik selembar uang sepuluh ribu yang ibu letakkan di meja makan. Sebelum tidur ia memang bilang, minyak gorengnya mungkin tak cukup untuk menggoreng  makanan yang ibu bilang ‘tahu aneh’ itu. Aku menghela nafas. Semoga minyak ini cukup lah dan tak membuat karya ku menjadi gosong.
                Aku malas membeli minyak goreng itu. Bukan tentang matahari yang sedang terik. Warung itu hanya berjarak tak lebih dari lima meter. Di seberang rumah ku tepatnya. Keluarga ku sudah tahu kalau aku memang malas untuk keluar rumah. Namun bila diajak berjalan-jalan jauh, toh aku paling semangat. Mereka tidak tahu apa alasannya.
Aku malas bertemu tetangga. Bagiku mereka hanya tak lebih dari sekedar orang-orang yang hobi bergosip dan bersorak di belakang saat yang lain mendapat musibah. Ibu ku bukan orang yang suka berkumpul lama-lama di warung untuk ikut nimbrung, makanya beliau jadi orang yang mungkin paling akhir mengetahui gosip-gosip di sekitar tempat tinggal ku.
Aku masih belum memahami ungkapan bahwa tetangga adalah saudara terdekat. Aku masih meraba-raba dimana letak saudaranya. Entah aku juga yang kurang bersosialisasi.
“punteeeen !” seseorang berteriak dari arah depan rumahku.
Siapa sih siang-siang begini berrtamu. Paling sales yang memaksa membeli serbuk pencegah demam berdarah. Percuma. Aku tidak akan membelinya. Namun suara itu terdengar hingg tiga kali. Aku mematikan kompor dan berjalan ke depan
Aku membuka pintu. Seseorang yang banjir dengan keringat dengan tergopoh-gopoh menuntun motor bebeknya. Ia berdiri di carport. Aku pun tak menghampirinya dan hanya berdiri di ambang pintu.
“mba, ikut nitip motor boleh? Rumahnya lagi diberesin.” Laki-laki berbadan tinggi tegap itu tersenyum sambil menyeka keringat di dahinya.
Aku tersenyum dan mengiyakan. Ia pun pamit pulang setelah meletakkan motornya di bawah pohon mangga agar tidak kepanasan sesuai saranku.
Mas Wahyu. Tetanggaku yang hanya terhalang dua rumah. Orang tuanya berasal dari jawa sehingga orang-orang di sekitar ku memanggilnya dengan sebutan ‘mas’. Dan aku yang bisa dibilang pendatang dibandingkan keluarga Mas Wahyu yang lebih dahulu tinggal di sini, mengikuti memanggilnya dengan awalan ‘mas’ baru kemudian namanya.
 ***
Ibu masuk ke rumah dengan membawa bungkusan berwarna hitam. Mungkin berisi minyak goreng yang tadi siang tak ku beli itu.
“motor siapa di luar?” ibu mendongakkan kepalanya di pintu kamarku.
“Mas Wahyu. Katanya rumahnya lagi diberesin.” Aku hanya menjawab tanpa berpaling dari layar laptopku.
“ohh, mau lebaran mungkin ya. Tuh, orang lain juga gitu. Mending sekarang kalau mau bebenah rumah. Kalau nanti udah puasa kan jadi males.”
Aku hanya tersenyum. Aku tahu itu sindiran untuk Ayah yang sedang menonton tv. Cat yang sudah dibeli beberapa minggu lalu masih tergeletak rapi di sudut dapur.
***
Ibu selalu memuji Mas Wahyu sebagai sosok yang sopan. Tak heran bila ia seolah selalu memaksa penghuni rumahku untuk keluar hanya untuk menyunggingkan senyum dan memberikan izin saat ia hendak menitipkan motornya di pagi hari. Begitu pun ketika sore hari untuk mengucapkan terima kasih saat ia hendak mengambil kembali motornya.
 Dan sudah beberapa hari ini pula aku yang selalu harus bolak-balik keluar rumah. Adik ku sedang menghabiskan liburan sekolahnya di rumah Eyang. Dan tinggal aku lah satu-satunya anak tersisa yang jadi korban suruhan orang tua.
“mba, biasa ikut nitip motor.” Seseorang yang tak asing itu mengagetkan ku yang sedang berusaha menggapai salah satu dahan pohon mangga depan rumahku.
Aku pun membalikkan badan , tersenyum dan mengangguk sambil menuggu ia pamit pulang seperti biasa. Namun dugaanku salah. Ia mendongak ke atas pohon mangga. Dan kembali menatapku.
“lagi apa mbak?”
              “ohh ini tadi waktu ngejemur di atas, eh ada baju yang jatoh dan nyangkut di pohon.” Aku tersenyum malu menutupi rasa kikuk atas kecerobohanku. Ia kembali mendongak ke atas dan mencari-cari benda yang ku sebutkan.
“ohh, coba saya ambilin. Siapa tau bisa.” Ia mengambil bambu panjang di tanganku dan memulai perburuannya.
“ga kuliah mba?” Rada aneh memang mendengarnya terus-terusan memanggilku dengan sebutan mba. Meskipun itu perwujudan dari rasa hormatnya tetap saja aku merasa tersinggung, bukannya justru ia yang lebih tua dari ku.
“lagi libur abis uas. Nanti setelah lebaran baru masuk. Sebenarnya ada SP, tapi males ikut. Toh ikut SP juga ga bikin kuliah jadi tiga setengah taun.”
Dia hanya tersenyum sambil meneruskan aksinya.
Setelah mendapatkan baju yang tersangkut itu, kami jadi terlibat percakapan ringan. Ia duduk di jok motornya sementara aku berdiri bersandar pada batang pohon mangga. Tidak lebih dari sepuluh menit. Bahan obrolannya pun hanya seputar kuliah ku karena ia menanyakannya. Atau aku yang bertanya tentang pekerjaannya di sebuah dealer untuk menghormatinya dan memberi kesan bahwa aku juga peduli. Agak basi memang. Tapi itu jadi awal hubungan baik ku dengan tetangga.
Sejak itu aku jadi sering menantikan saat ia datang ke rumah untuk menitipkan atau mengambil motornya. Tak jarang aku sengaja nongkrong di ruang tamu, berpura-pura membaca novel, padahal agar lebih cepat menghampiri saat ia datang.
Begitu pula saat Ramadan tiba. Kami sering tak sengaja pulang bareng usai solat tarawih atau kuliah subuh. Ia juga banyak mengutarakan pendapatnya tentang isu yang sedang hangat, pemerintahan yang sedang berkuasa, atau kondisi masyarakat saat ini. Sepertinya ia tipe mahasiswa yang senang berkumpul di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, mengikuti berbagai kajian politik, atau bahkan memimpin demo. Aku jadi menerka sendiri. Sayang statusnya sebagai mahasiswa harus dilepas si tengah jalan. Aku pernah dengar waktu masih menjadi warga baru, ia terpaksa berhenti kuliah karena, Pak Farid, ayahnya kena PHK.
Sekarang Mas Wahyu juga tak pernah menitipkan motornya lagi. Rumahnya telah rampung dibersihkan. Maksudnya sedikit direnovasi. Hanya saja dia memandang itu cuma beres-beres rumah. Aku pun mengetahuinya setelah aku melewati rumahnya saat hendak membeli isi pensil mekanik yang tak disediakan warung depan rumah.
Beberapa ember yang terlihat bekas adonan semen. Pasir yang berserakan disana-sini hingga beberapa butirnyatumpah ruah ke jalan. Ia dengan sapu lidi di tangannya terlihat asyik menyingkirkan debu yang bertebaran. Sesekali aktifitasnya itu terhenti untuk membuang kertas pembungkus semen ke tempat sampah. Dan saat itu ia melihatku dan tersenyum.
“mau kemana, mba?” sapanya ramah dengan tak melepaskan lengkungan di bibirnya.
“ini mau ke warungnya Pak Untung.” Aku pun hendak meneruskan perjalanan dan berharap ia meneruskan aktifitasnya. Namun ternyata tidak. Ia masih mematung dengan seyumnya itu. Ya Allah menunggu apa lagi orang ini. aku jadi gugup dan tak tahu harus berbuat apa.
“lagi bersih-bersih mas?” hanya itu yang dapat keluar. Terlihat bodoh memang. Dan sekitar sepuluh meter dari situ aku memukul jidatku setelah sebelumnya mesem-mesem sendiri.
 ***
Aku segera masuk rumah dan menghampiri meja makan kemudian membuka tudung saji. Sepertinya sudah kebiasaan ku usai keluar rumah pasti melakukan ritual itu. Entah juga karena lapar tak tertahankan usai mengerjakan pre test awal semester dari dosen dengan dalih ingin tahu kemampuan awal mahasiswa.  Ada dua kotak disana. Satunya berukuran agak besar berisi nasi beserta lauknya. Satunya lahi berukuran kecil berisi panganan ringan. Ada jejak jamahan manusia disana. Aku hanya tersenyum. Aku keduluan adik ku.
“hantaran dari siapa, Bu?” Aku mencomot risoles dari kotak kecil itu.
“itu tadi habis ngaji di rumah Bu Farid. Mas Wahyu kan minggu depan mau nikah. Sama orang Bekasi kalau ga salah ....”
Tak ku dengar lagi cerita ibu. Risoles itu masih melayang di udara. Belum sempat singgah di bibirku bahkan. Aku masih mematung. Mungkin kalau tak ada meja makan sebagai tempat bersandar aku sudah terduduk di lantai.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb