Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.


Berasa lagi cerewet banget akhir-akhir ini. Sering posting dimana-mana. Biasanya juga media sosial cuma dipake buat save informasi yang sekiranya bakal kepake di kemudian hari. Sekarang apa-apa update 😜. Berasa balik ke masa … (alay?) 😅.

Ini semua dikarenakan aktivitas yang belum padat. Subuh masak buat sarapan dan bekal suami, setelah suami berangkat mulai bebenah kontrakan yang seuprit ini. Nyuci dan nyetrika juga kalau ada 😅. Karena belum punya baby, ya sudah setelah jam 9 pagi biasanya cuma leyeh-leyeh, mentengin layar entah TV, smartphone, laptop juga jarang karena bukan penikmat film. Paling streaming food vlogger, travel vlogger, atau kalau lagi centil scroll channelnya Mother of Skincare versi saya, Suhay Salim untuk meracuni diri dengan dunia perskincare-an yang tak ada ujungnya. Apa daya yahh. Hormon ini membuat jerawat selalu muncul tiap bulan tanpa absen. Dan merasa kalau jenis kulit kami sama bangeet 😚😂. Walau nasib mah jauh beda 😥. Yaa nasib.

Mudah-mudahan semua kecentilan ini hilang setelah panggilan kerja itu datang 😀. Sambil menunggu masih cari informasi tentang sistem kerja nanti seperti apa. Lingkungannya kaya gimana. Dan dapat info kalau nanti full lima hari dalam seminggu menggunakan empat pakaian … SERAGAM. Informasi sepele tapi saya senang sih 😁.

Bagi saya yang suka bingung “besok pakai baju apa?”, aturan itu sangat mengurangi beban. Apalagi baju di lemari saya terbilang sedikit untuk ukuran perempuan. Walau saya lumayan bisa cuek dengan budaya fashion show kantor, tapi tetep aja mikir dulu “baju ini terakhir dipakai kapan yah?”. Pinter-pinter atur strategi dalam menyiasati ‘pola keberulangan pakaian’ 😆. Keuntungan lain adalah lumayan terbebas dari nafsu pengen bali baju, kok bajuku dikit ya, karena liat yang lain gonta ganti mulu kaya punya Mall. Meski cuek tetep aja naluri kewanitaan tak bisa dibohongi yee.

Tapii, ada juga lohh yang ga suka dengan peraturan seragam. Buat para pekerja yang kantornya mengatur masalah ini pasti pernah ketemu sama orang yang hobinya melanggar masalah si seragam ini.
Yang pinter sih masih akal-akalin tambahin outer atau aksesoris lain. Atau pakai baju bukan seragam yang warnanya mirip biar terkesan kamuflase kaya bunglon gitu, supaya ga kena tegur atasan. Sampai yang paling ekstrim sih yaa pakai baju bebas walau jadi main kucing-kucingan 😅.
Kalau seragamnya kaya seragam sekolah anime gini lucu ya 😀
Tinggal dibikin panjang aja dan pake jilbab 😆
Sumber : http://beautynesia.id/1423
Emang kenapa ya? Kalau menurut saya sih ...

  • Tipe fashionista

Si stylist abis gitu dan seragam yang dipake ga masuk kategori modis menurutnya. Biasanya orang tipe ini emang pinter mix and match sih ya. Seragam yang keliatan biasa aja dia pake jadi bak pakaian desainer ternama gitu 😅 (lebay). Entah karena dia kasih aksen lipit atau dia rombak dikit modelnya atau kasih aksesoris macam di atas. Pokoknya memancing perhatian dan pujian deh jadinya.

  • Si pamer

Hampir mirip sama si fashionista sih. Cuma kalau ini biasanya ga pinter-pinter amat dandan juga sih. Kebanyakan masuk tipe pertengahan atau tipe ekstrimis yang bener-bener menghilangkan baju seragam resmi dari badannya. Biar dibilang orang … bajunya banyak 😆.

  • Dasarnya doyan langgar

Asli emang ada orang kaya gini. Motif hobi melanggarnya macam-macam. Bisa karena kelainan jiwa karena merasa bangga telah mendobrak kebiasaan 😅. Atau punya ketidakpuasan sama kantor terus melanggar sebagai bentuk protes.

  • Malu ketahuan kerja di kantor tersebut

Biasanya mereka ini nutupin seragam mereka ala kadarnya dengan jaket sepanjang perjalanan dan baru membuka jati diri mereka ketika sudah sampai kantor. Ini sih yang parah dan ga boleh banget yaa.
Apapun dan dimana pun pekerjaannya, selama pekerjaan itu baik dan tidak merugikan orang lain, kita harus bangga. Karena pekerjaan kita pasti menyumbang kebermanfaatan buat hidup orang lain.

Yahh, jadi itu lah hasil suudzon hari ini 😅🙏. Jangan dianggap bercanda *lho. Sebetulnya bisa jadi seragamnya masih basah, ga keburu nyetrika karena anak rewel tadi pagi, atau emang cuaca dingin makanya pakai jaket. Tapi kalau dilakukan terus tiap hari itu namanya hobi dan bisa jadi karena salah satu dari alasan di atas 😜. Atau mungkin ada alasan lain.

Intinya peraturan itu dibuat agar terciptanya kondisi yang kondusif dan sehat serta mengurangi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan antara hubungan karyawan-karyawan atau karyawan-kantor (baku amat). Selama aturan itu tidak melanggar prinsip hak asasi manusia dan masih manusiawi ya dijalani saja. Kita juga ga bisa menyangkal kalau masih butuh makan dari gaji kantor kan. Makanya kalau mau bebas, yuk wirausaha *lho?

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

“Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.”


Seolah tidak  merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya kapan nikah mulu. Enak banget ngomong kaya gitu karena dia nemu jodoh dengan enteng kaya beli bala-bala. Sementara kita usaha mulai minta dikenalin sampai daftar biro jodoh aja belum ada yang nyangkut. Ada sih yang nyangkut, tapi ga masuk kriteria. Lagian kita juga masih nyaman kok sendirian. Enak lagi ga perlu repot tentang suami atau anak.
Percakapan yang merusak persahabatan 😀
Sumber : https://seribuanimasi.blogspot.com/2018/06/kumpulan-gambar-kartun-orang-ngobrol.html

“Eh mending apply ke perusahaan tempat aku kerja deh. Sistem kerjanya enak”

Tanpa beban banget ngomong gitu karena begitu lulus keberuntungan menghampirinya dengan langsung diterima di perusahaan bonafit. Padahal IPK juga pas-pasan masih gedean kita. Juga tidak tahu bagaimana rasanya di perusahaan yang memeras kita kerja lembur bagai unicorn (biar cantik ya jangan bagai kuda). Padahal belum tentu juga lebih nyaman karena harus jauh dari orang tua. Walau lelah tiada terkira mending pulang ke rumah sendiri lah pulang makanan sudah tersedia ga perlu mikirin uang kos pula.
Lembur buat beli unicorn
Sumber : https://tenor.com/search/unicorn-gifs
Itu sekelumit respon refleks ketika mendengar saran teman yang dengan seenaknya tanpa memikirkan posisi kita.
Secara tak sadar kadang kita menjadi manusia menyebalkan padahal niat baik memberi tanggapan atas curhatan kawan. Entah cara kita yang terlalu frontal atau memang dia hanya butuh didengarkan, bukan dorongan.
Dualisme hidup antara dua posisi yang bertolak belakang. Yang satu merasa telah menjadi manusia seutuhnya karena beberapa resolusi hidupnya sudah tercapai. Yang satu merasa tetap bahagia walau belum mendapatkan apa yang orang lain dapatkan.

Niat si pemberi saran hanya lah menjadi pemandu sorak agar hidup kawannya lebih bahagia. Karena pengalamannya mendapatkan apa yang ia mau mengantarkannya pada peningkatan hormon endorphin yang luar biasa. Juga mengantarkannya agar mendorong orang lain merasakan hal yang sama dengan cara yang sama. Padahal apa yang menjadi kenyamanan dan kebahagiaan setiap orang tidak sama.

Sebaliknya si penerima saran hanya menganggap kawannya sedang mengeluarkan sisi angkuhnya dengan cara yang lebih konotatif. Setiap orang punya potensi untuk menjadi besar kepala apalagi jika sedang di atas awan. Tak sedikit pun ia rasakan ketulusan si kawan yang berusaha  mengangkatnya ke tempat lebih tinggi.

Hidup yang tak sekejap di bumi membuat kita pasti pernah merasakan di dua posisi manusia itu. Pun dengan perasaan yang sama. Syaithan begitu lihai mempermainkan batin yang tak terlihat oleh yang lainnya itu ya. Entah menjadi pemberi saran tanpa diminta atau menjadi si suudzon yang mengelak nasihat.

Interaksi antar manusia mengharuskan kita lebih berhati-hati agar tidak terjerumus pada dosa tanpa sadar yang pastinya lebih banyak daripada yang disadari. Semoga semesta mendukung kita untuk tetap menjaga hati dari rasa-rasa sepersekian detik yang tetap menjadi catatan keburukan di mata malaikat. Dipertemukan dengan lingkungan yang kondusif, teman yang selalu mengingatkan dalam kebaikan, keluarga yang mendukung dan diri yang tanpa henti belajar setiap hari.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Menjadi manusia itu gampang-gampang susah. Gampang kalau kita mengikuti aturan baik agama, norma sosial, dan hukum yang berlaku di suatu daerah tersebut. Sulit jika ditinjau dari segi interaksi sosial. Lho ko sulit? Lebay nih ah. 

Interaksi sosial itu memaksa kita, mau tidak mau, berbenturan dengan berbagai manusia yang memiliki karakter beragam, dibesarkan oleh orang tua dan pola pengasuhan yang tak sama, serta berbagai pengaruh yang diterima manusia-manusia tersebut juga akan berbeda.

Lalu bagian sulitnya? Memang tak ada pelanggaran apa pun yang kita lakukan. Tapi sayangnya, jika kita tak mau peka, atau mungkin acuh tak acuh dengan orang lain ada beberapa hati yang tanpa sengaja jadi tergores *cielee.

Pasti pernah denger kan tulisan-tulisan yang mengajak kita untuk menghindari pertanyaan atau pernyataan basa-basi macam
"Kapan lulus?"
"Kapan nikah?"
"Udah isi belum?"
"Ihh jalan-jalan mulu. Oleh-oleh ya jangan lupa."
"Traktir dong yang ulang tahun."
Memang kenapa perlu dihindari? Baper deh ah. Oke mungkin kita akan sama-sama belajar ketika ada di posisi orang tersebut.

Dan sekarang muncul juga nih istilah kekinian yang justru membuat kita merasa tidak membuat kesalahan.
Sumber : http://puan.co/wp-content/uploads/2017/03/20170330_pasukan-perempuan-perempuan-nyinyir-yang-langsung-kepo.jpg
  • "Lebay deh"
Kalimat yang biasa kita ucapkan sebagai tanggapan curhatan teman yang ditegur si boss. Atau melihat situasi yang tidak sesuai standarmu. Atau berbagai kondisi lain yang membuat kamu berfikir "Ini orang kenapa sih. Biasa aja kali"
Kalimat tanggapan itu sudah biasa kita dengar bahkan dibaca tadi di awal tulisan. Karena sudah terbiasa itu membuat kita jadi mafhum terhadap kalimat tersebut dan ikut menyalahkan si objek yang dituduh lebay. Padahal kalau mau menelisik ke dalam, apa salahnya berempati dengan cerita teman meski menurutmu itu biasa saja dan sering terjadi. Karena bisa jadi kondisinya berbeda dan kalian adalah manusia yang berbeda. Semua kesulitan itu memang relatif tapi rasanya sama. Kita tidak bisa menilai sesuatu secara egois dari standar diri kita sendiri.

  • "Ah paling juga orang nyinyir"
Istilah nyinyir juga mirip dengan lebay. Booming karena katanya fenomena iri dengki yang merajalela. Suruh siapa pamer sana-sini. Media sosial dan ucapan penuh dengan kesombongan. Setelah ditegur orang karena sedikit melenceng, malah balik menyerang. Atau kondisi lain lah ya. Itu cuma contoh. Tapi entah karena hati kita udah batu atau iman lagi lemah sampai setan nyusup dengan perasaan tinggi hatinya itu. Kita jadi tutup mata dengan kritik dan nasihat orang. Entah lewat ceramah ulama, teguran teman, atau status orang yang kesannya nyindir kita banget, padahal dia ga tau urusan kita sama sekali. Kadang kita jadi mengabaikan teguran alam dengan bersembunyi dibalik istilah nyinyir. Padahal bisa aja emang apa yang dia bilang ada benernya, cuma kita tolak dengan istilah itu.

  • "Kamu mah baperan"
Niatnya kan cuma bercanda. Ko serius banget sih. Berani ga bercanda sama dosen pembimbing "Pak, keteknya basah tuh." ?? Ya kali gila jangan bandingin sama dosbim lah. Nah, justru disini belajarnya. Kenapa kita ga berani bercanda gitu sama dosen karena kita tahu level bercanda yang tadi udah berlebihan. Terus ko kita pinter banget menempatkan diri kita depan dosen, tapi lupa menempatkan diri depan temen? Karena kadang ngerasa udah deket banget, ga perlu ada yang dijaga lagi. Ya kalau semua orang sewoles itu. Sepengalaman saya sih, ga semua orang kaya gitu. Pernah ga nemu orang yang doyannya bercanda mulu tapi sekali dibercandain terus malah jadi pundung? Coba inget-inget. Entah oleh kamu atau ga sengaja kamu jadi saksi perbuatan temen yang lain. Bukan mau nyalahin kalau orang itu baperan. Tapi yaa perlu belajar. Kita ga bisa menempatkan orang semau kita karena dalih "ahh santai aja sama dia mah".

Jadi, ga boleh pake ungkapan itu? Itu pilihan ya. Sama aja ketika kamu masih ngerjain skripsi setelah kuliah enam tahun, saat yang lain udah kerja atau bahkan udah ada yang bawa buntut (red. anak), terus ada yang tanya "kapan lulus?", apa rasanya? Cuma belajar berempati aja sebelum ngomong sesuatu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali kita lakukan, secara lisan. Manusia diberi kemampuan berbicara lewat proses belajar. Masih ingatkah kita dengan kata pertama yang kita ucapkan? Kebanyakan berbicara "mama" sesuai dengan yang sering ia dengar. Ada juga yang malah mengucapkan kata "ayah" padahal si Ibu lebih sering berinteraksi dengan bayinya. Lucu kalau kita mengingat atau melihat proses bagaimama seorang bayi belajar berbicara.

Beranjak besar, berbagai kosakata kita kenal. Entah lewat lingkungan bermain atau media televisi. Semakin besar, tuntunan zaman juga makin besar. Orang tua menyarankan "baca koran, supaya pengetahuanmu bertambah" karena biasanya banyak istilah baru yang kita tahu.

Istilah yang kita tahu kemudian kita gunakan. Apa yang kita fahami, kita sampaikan kembali. Meski tak jarang ... apa yang kita fahami ... belum sepenuhnya sesuai dengan kebenaran yang ada. Ilmu pengetahuan mengenal sifat relativitas, maka apa yang dianggap benar saat itu, bisa diterima banyak pihak selama belum ada teori baru yang menyanggah teori sebelumnya.

Tapi kehidupan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan yang diisi orang-orang bernalar dengan daya analitis tinggi serta rangkaian fakta yang dapat diuji. Ada beberapa sisi kehidupan dengan orang-orang yang hanya pandai menerka tapi merasa menjadi orang yang paling tahu dan hebat dalam merangkai hipotesis. Mereka lupa ada rangkaian data yang tidak mampu mereka jamah, privasi.

Tidak setiap orang membiarkan orang lain masuk ke hidupnya terlalu jauh. Sebagian mungkin bisa menunjukkan dirinya seutuhnya pada lingkungan. Sebagian lagi hanya memunculkan beberapa sisi dan meninggalkan sisi yang lain untuk dia simpan sendiri. Apa itu sebuah kesalahan? Ketika kita melakukan aksi menuntut berbagai hak pada lembaga besar, kadang kita lupa memenuhi hak orang lain pada organisasi yang lebih kecil, diri kita sendiri. Menjaga privasi orang lain.

Setiap orang punya kemampuan berbicara, tapi tidak semua orang punya kemampuan mengatur apa yang mereka bicarakan.

Setiap orang memiliki 'pengetahuan', tapi tanya kembali apa kita memiliki wewenang yang cukup untuk menyampaikan apa yang kita tahu?

"Ini bukan rahasia. Orang itu tidak pernah menambahkan embel-embel 'jangan bilang siapa-siapa'"

"Ini sudah rahasia umum. Semua orang sudah tahu."

"Batasan ghibah itu membicarakan apa yang ada pada diri orang lain yang jika ia mendengarnya, maka ia tidak suka. Sementara, ini bukan sebuah aib yang akan membuat ia tidak suka."

Sebelum mengeluarkan pembelaan demi menyamankan hati, pernah coba bertanya ini pada diri sendiri :

Apakah ada keuntungan jika saya membicarakan ini?

Apakah ada kerugian jika saya memilih diam?

Apakah ada batasan yang jelas tentang apa yang ia suka dan tidak suka?

Apakah ada jaminan orang-orang yang mendengar sudah memiliki hati yang cukup bersih untuk memandang segala sesuatu dari sisi positifnya?

Apakah ada jaminan tidak akan ada dampak negatif ketika saya menyampaikan ini?

Masih banyak orang dengan kemampuan mengumpulkan data yang lebih akurat, memilih diam karena dia tahu batasan diri. Ya batasan manusia dalam menerka atau pun berencana akan kalah jauh dengan Allah yang Maha membolak-balik segala sesuatu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Tema berkenaan tentang media sosial kayanya lagi seneng banget buat ditulisin. Hehehe. Ga tau kenapa akhir-akhir ini lagi banyak merenung tentang ini. Karena jujur aja kayanya hampir lebih dari 2 jam tangan ini pasti buka medsos. Apalagi kalau nyambung sama wifi. Bagaikan dimanja keadaan.

Sementara itu, akhir-akhir ini juga, keinginan untuk memperbaiki diri lagi menggebu. Lagi banyak merenung juga tentang usia segini tapi udah bisa melakukan apa sih buat masyarakat? Atau setidaknya prestasi apa aja yang udah diraih? Jadilah ada bagian perenungan tentang apakah ada manfaat dari aktifitas sehari-hari? Atau jangan-jangan hanya sekadar menghabiskan sisa umur di dunia? Apalagi kalau memikirkan si medsos ini yang lumayan menghabiskan waktu (saya sih). Karena stop dari media sosial itu rada ga mungkin, maka mulai terfikir bagaimana caranya supaya si medsos ini tetap bisa ngasih manfaat minimal buat diri sendiri dulu aja. Bagi beberapa orang yang sudah bisa 'belajar' lewat media sosial, mungkin fikiran saya jadi terkesan telat ya.  

Oke, bermula dari fikiran bahwa scrolling media sosial ini cukup menguras waktu saya dalam sehari, padahal kewajiban lain sebagai manusia yang luput saya laksanakan. Yang sederhana aja kaya menuntut ilmu. Sudah seberapa tau kita tentang sejarah Islam, sementara kita hafal banget sama gosip artis dari akun lambe-lambean? Dan masih banyak ilmu yang harusnya dipelajari entah itu tentang keduniawian atau yang bisa nolong kita di akhirat nanti, malah lupa diperdalam gara-gara godaan si media sosial.

Jadi, yang pertama dilakukan adalah ..
Memfilter lingkaran media sosial.
Atas nama persahabatan dan menjunjung asas silaturahim, ga mungkin dong kita unfollow temen-temen kita. Walau pun kadang postingan mereka bikin kita jadi menghabiskan waktu untuk stalking yang tidak berfaedah. Maka, untuk mengimbangi mata yang tak sengaja membaca urusan orang lain, mari follow akun-akun berfaedah yang biasa share ilmu. Meski sampai sekarang masih butuh informasi tentang akun-akun itu.

Serta yang kedua dilakukan adalah ...
Menundukkan hati, baik dari sisi pelaku aktif mau pun pelaku pasif media sosial.
Sebagai pelaku aktif, kurang-kurangi update yang sifatnya hanya untuk "pamer" deh ah. Karena kita ga tau follower kita orang-orang seperti apa. Entah ini masuk kategori suudzon atau bukan, tapi yang jelas khawatir ada oknum yang nyinyir dengan kebahagiaan yang kita posting. Karena kalau ditanya tujuannya apa update kegiatan makan, liburan, atau belanja? Ditanya ulang apa ini ada manfaatnya untuk diri sendiri dan orang lain? Walau pun menurut kita bermanfaat, kita ga tau isi hati orang seperti apa. Tidak ada yang menjamin bahwa semua orang menyukai kita. Jadi belum tentu orang juga mau tau dengan kegiatan kita atau turut senang dengan kebahagiaan kita.

Dan dari segi pengguna pasif, kurangin nyinyir dengan postingan orang dong. Karena dinyinyirin itu ga enak, maka hindari nyiyir-in orang. Meski prinsip pertama mengurangi update "kepameran", tapi tetap menghargai postingan orang. Mencoba melihat dari sisi positif tiap postingan yang kita lihat dan jangan lupa filter informasi. Semoga ini juga bagian dari menundukkan hati. Lihat orang "pamer" sekadar kue kekinian pasti bikin ngiler, beli aja nanti abis gajian. Tapi ga perlu pake balik update ya. Selamat belajar bijak. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Pencapaian yang orang lain raih bisa jadi menimbulkan berbagai rasa dalam diri. Apalagi kalau orang itu orang terdekat kita atau orang yang bergelut di bidang yang sama. Antara kagum dan menjadi motivasi diri agar bisa seperti dirinya. Atau malah sebaliknya, iri dan antipati.

Sebetulnya manusiawi ketika rasa iri muncul di hati, tapi juga perlu diimbangi dengan kadar lapang dada yang sesuai. Lapang dada? Kaya dapat musibah. Ya karena walau sulit diakui, terkadang prestasi yang dimiliki seseorang akan jadi musibah bagi yang lain. Jangan heran ketika tetangga beli furniture baru, minggu depannya yang sebelah nyusul beli motor baru.

Kebahagiaanmu = kesedihanku

Egois banget ya? "Tapi aku ga kaya gitu ko." Yakin? Sedikitnya pasti ada. Tapi ya itu. Belajar untuk menerima dan mengakui apa yang orang lain raih. Mengapresiasi itu tindakan sulit lho. Serius. Apalagi kalau sudah ada perasaan 'merasa' lebih baik dibanding orang lain. "Masa dia bisa? Padahal kan jelas aku lebih a b c." Sesungguhnya yang namanya prestasi atau hal lain yang menimbulkan rasa bangga dan bahagia itu rejeki Allah. Ya tentu atas ikhtiar dan ketawakalan dia juga dong.

"Ah baru juga segitu." Bersikap tidak berlebihan dalam menilai sesuatu itu harus. Ojo gumun kalau dalam bahasa jawa. Jangan sedikit-sedikit heran. Karena mungkin cenderung norak dan lebay. Tapi jangan sampai alibi ini ditunggangi oleh perasaan tidak mengakui kehebatan orang lain. Hati-hati malah menjurus ke arah sombong.

Jadi, bersikap kalem terhadap sesuatu itu harus. Tapi juga bukan tidak mengapresiasi. Minimal ucapan selamat rasanya cukup, supaya orang tidak membaca ke'iri'an kita. Lebih baik lagi jika dibarengi dengan tetap rendah hati. Dan ingat bahwa setiap manusia diciptakan dengan kelebihannya. Bukan berarti kita tidak bisa memiliki pencapaian seperti yang lain, mungkin hanya belum diberi kesempatan atau butuh usaha yang lebih. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sabtu itu memutuskan cuti ala Tahu Bulat (red.dadakan *maksa bgt ya, hee) karena badan luar biasa ga bisa diajak kompromi. Dibilang sakit juga enggak sih, bisa saja tetap memaksakan masuk kerja. Walau akhirnya beberapa hari kemudian tahu penyebab si badan remuk ini, PMS. Akhirnya hanya leyeh-leyeh di rumah, baru bada dzuhur keluar dengan agenda nyari souvenir di Baltos, makan di dago, kemudian jalan ke salah satu wisata baru di daerah ciumbuleuit. Faktanya? Baru sampai destinasi Baltos sudah merasa eneg dengan kondisi jalanan. Heee, Bandung. Akhirnya setelah agenda mencari souvenir beres, hanya menikmati seblak di food court sambil ketawa-ketawa. Ceritanya dulu berencana makam malam romantis di salah satu hotel belakang Baltos. You know yang view sky lounge-nya langsung ke Pasupati gitu. Dan kalau malam sempurna dengan citylight Bandungnya. Tapi sekarang terdampar di sini ditemenin seblak (tapi seblaknya enak ko serius). Lihat kondisi lalu lintas dari atas yang padat gitu akhirnya memutuskan untuk pulang.

Sorenya leyeh-leyeh lagi di kasur dan tiba-tiba mendapat berita duka bertubi-tubi. Ibu dari salah satu siswa meninggal dan disusul dengan Ibu dari salah satu rekan guru juga meninggal. Seketika ingat Ibu beserta orang-orang terdekat yang kalo kita bayangin kehilangan mereka rasanya .. ga akan pernah siap.

Maut itu rahasia dan hak Allah. Entah subjek yang akan meninggalkan atau pun yang ditinggalkan udah siap atau belum. Bagi yang dikasih sakit dulu, biasanya itu jadi pertanda. Walau sebetulnya mereka masih berharap kesembuhan, tapi itu bisa jadi semacam warning untuk sekadar berbuat hal-hal untuk meninggalkan kesan baik dan mengucapkan salam perpisahan. Meski ga sedikit juga yang tanpa tanda alam, tiba-tiba jadi korban bencana atau musibah kecelakaan.

Intinya, ga tau kapan Malaikat Izrail bakal say hello ke kita dan orang-orang di sekitar kita. Momen takziyah yang bisa jadi dzikrul maut memang harusnya cukup jadi pertanda buat kita juga. Bahwa kita akan ditinggalkan dan suatu saat juga akan meninggalkan. Makanya suka masih aneh ketika ada orang takziyah masih sibuk selfie atau update status. Oke update tulisan kalo memang tujuannya untuk memberi kabar kematian supaya lebih banyak orang yang mendoakan dan menghibur yang ditinggalkan. Tapi lihat sikon ya. Jangan sampai momen itu malah jadi menyinggung keluarga karena kita malah ketawa-ketiwi ketika selfie. Pliss, coba berempati dong. Kenapa masih bilang gini? Karena pernah menemukan sendiri orang macam gini. Segelintir orang yang entah lah, mungkin dia ga maksud tidak menghormati momen duka cita ya, tapi malah selfie dan upload di sosmed dengan caption "Takziyah si fulan".

Balik ke ketidaksiapan kita menghadapi kematian ya. Kalo udah ada yang meninggal gini, baru diri ini sadar untuk siap-siap. Kemana? Ya ke tujuan akhir lah. Dunia itu hanya persinggahan katanya. Tempat mencari bekal untuk perjalanan jauh menuju ke tujuan akhir, pulang lagi ke asal kita. Udah seberapa siap? Atau udah seberapa banyak amal yang kita siapin untuk menandingi dosa yang kayanya bakal lebih banyak?

Mengingat mati sejenak membuat kita jadi egois. Ya karena siapa lagi yang bakal nolongin kita. Kelak di akhirat, masing-masing orang bakal sibuk sama urusannya sendiri. Tapi sekaligus juga jadi mengingat seberapa banyak kebaikan yang sudah kita lakukan untuk orang lain? Seberapa bermanfaat keberadaan diri kita di dunia? Kalau inget ini tiba-tiba jadi merasa kecil. Merasa ingin mengulur waktu lebih lama di dunia supaya lebih banyak lagi kesempatan mendulang pahala. Tapi juga kadang manusia lalai, waktu yang dikasih malah hanya digunakan untuk kepentingan duniawi. Tiba-tiba udah dipanggil Allah aja.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
"Aku ngomong monyet, kamu aja ngerasa dipanggil"

Itu penggalan kalimat di film Petualngan Sherina. Kalau di film itu konteksnya memang sebetulnya si Sadam manggil monyet ke Sherina. Tapi kalo tanpa lihat adegan filmnya, jadi berasa kesentil. Sering banget ngalamin gitu. Geer duluan.

Geer yang saya maksud bukan geer dalam konteks negatif ya. Karena beberapa geer bisa menimbulkan perbaikan diri. Asal kita mau sedikit merendahkan hati sih. Sebagian bahkan setiap orang pasti pernah mengalami. Ketika datang ke kajian atau event motivasi, speakernya bilang tentang sesuatu ko mirip banget sama kondisi kita. Lalu kita jadi makin tertarik untuk mendengarkan karena memang ngerasa butuh solusi dari permasalahan kita. Ahh tapi itu bukan kebetulan juga sih. Bisa aja kita hadir kesana memang karena menyesuaikan dengan tema yang dibahas.

Ada yang lebih kebetulan. Sedang galau, iseng buka timeline, lalu nemu twit Aa G*m yang bikin kita jadi melting serasa diguyur siraman rohani saat kemarau panjang. Padahal pernah curhat aja enggak sama beliau. Ko bisa langsung ngasih solusi atau sebatas penghiburan yang pas banget.

Aau lewat buku yang sedang kita baca dengan judul yang sama sekali tak ada hubungan dengan permasalahan kita, tapi menuliskan quote yang sangat mengena. Atau tanpa sengaja baca stiker di angkot. Atau status teman di media sosial yang jumpa langsung aja jarang banget. Dan berbagai kebetulan yang bikin kita jadi mikir "Ih ko bisa tau? Ko bisa pas?"

Saya sih ga ngerti teori psikologi atau ilmu lain yang bisa membahas berbagai kebetulan ini. 
Entah karena sugesti atau memang alam sedang berkonspirasi menolong lewat tangan-tangan tak dikenal. 
Yang jelas lewat kebetulan ini, kita jadi seperti berdialog dengan Allah. Lebay ya? Seperti mendapat jawaban dari kegamangan yang sudah atau bahkan belum sempat kita doakan. Rasanya ingin berterima kasih tapi pastinya yang bersangkutan bakal bingung untuk apa terima kasih yang kita beri. 

Atau geer bentuk lain yang biasanya diinisiasi sama temen sendiri. Tapi kalau ini kadang ada penyertaan suudzon, meski sebetulnya lagi-lagi kalo kita mau menurunkan ego, mungkin itu teguran alami dari Allah. Misal teman tiba-tiba ngomongin kejelekan si A yang bla bla bla. Terus kita ngerasa kesindir dan malah sebel sama temen kita itu. Kita kira dia lagi negur tapi pake majas ironi. Padahal temen kita sama sekali ga punya niatan itu, toh karena dia juga ga tau tentang kejelekan kita yang satu itu. Coba sedikit peka, kalau kita memang ga salah, kenapa harus merasa tersindir dong? Berarti memang ada sesuatu dalam diri kita yang bikin kita ngerasa kesindir.

Jadi, geer itu baik dalam beberapa kondisi ya. Dengan konsekuensi ya kita juga ga perlu jadi orang yang baperan karena ngerasa kesindir sama orang yang padahal belum tentu tahu permasalahan kita. Positifnya mungkin orang-orang itu dengan sengaja dikirim Allah menjadi teguran level rendah supaya kita mau memperbaiki diri. Atau justru sekadar pelipur lara kala hati tersiksa. Ceilee.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Bahagia. Apa sih definisinya? Kayanya jadi tergantung kondisi. Bahagia adalah sehat bagi yang sakit, waktu luang bagi yang sibuk, serta berbagai keinginan manusia yang tanpa batas. Hari ini naik transportasi umum, esok ingin beli motor. Sudah terbeli motor, nabung untuk beli mobil. Tak pernah puas.

Setiap hari bumi disibukkan dengan manusia-manusia yang katanya mencari nafkah untuk membahagiakan diri dan keluarga, tapi terkadang lupa akan esensi bahagia itu sendiri. Tidak sedikit orang yang malah mendapat tekanan dan depresi dari pekerjaan. Belum lagi orang tua yang katanya banting tulang demi masa depan anaknya justru malah mengorbankan fase perkembangan anaknya. Serta fenomena sebaliknya yang sudah jadi kebiasaan dan mendapat kewajaran.

Seharusnya manusia bertanya dulu, tujuan dari bekerja itu untuk apa? Karena beberapa orang justru tidak merasakan adanya peningkatan kebahagiaan dari hasil jerih payah yang mereka dapatkan.

Hedonic treadmill

Istilah lama sih tapi kebanyakan orang mengelak sedang terkena sindrom itu. Tentang peningkatan materi yang kita dapat namun tidak sebanding dengan kebahagiaan yang kita rasakan. Stagnan. Seperti menaikkan kecepatan treadmill tapi tetap diam di tempat. Jika kemarin jalan-jalan hanya tamasya keliling kota, lalu hari ini bisa keliling dunia, namun rasanya tetap sama saja, itu indikasinya. Mungkin sebagian orang tidak menyadari karena peningkatan kualitas hidupnya juga naik secara bertahap, bukan orang yang kaya raya mendadak. Tapi ketika hal ini tidak diimbangi dengan syukur yang juga meningkat secara bertahap, maka kualitas syukur kita tetap akan di bawah.

Kalau kita mau menurunkan ego, menerima definisi bahwa bahagia hanyalah serangkaian permainan hormon serta emosi dalam tubuh yang mengakibatkan perasaan nyaman dan mungkin disertai sedikit senyum atau tawa. Maka seharusnya kebahagiaan itu tidak bisa dibandingkan, karena rasanya sama. Hanya standarnya saja yang berbeda. Karena frekuensi kehidupan setiap manusia juga akan berbeda.

Jadi, jika ada sebagian orang yang menyandarkan kebahagiaan pada materi. Atau mungkin kita tidak mengakui itu. Tapi masih keukeuh dengan lembur setiap hari demi sebuh gawai baru, kendaraaan terkini, atau rumah yang lebih besar. Seharusnya setelah kita mendapatkan apa yang kita inginkan, maka kebahagiaan kita pun akan bertambah. Seharusnya. Jika tidak?

Maka, bukan itu esensi bahagia. Karena bahagia adalah seberapa besar rasa syukur kita dengan apa yang kita miliki saat ini. Bukan menyandarkan pada cara bahagia orang lain. Apalagi menyandarkan pada apa yang belum kita punya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Resah. Bukan hanya milik Payung Teduh saja. Hehehe. Setiap orang punya keresahan. Dan masing-masing punya cara menyelesaikan. Entah hanya melupakan atau justru memang mencari solusi. Dan saya memilih untuk menuliskan saja dulu. Bingung coyy kalau mau membawa perubahan mulai dari mana. Karena ini kasusnya jadi global dan melibatkan banyak pihak serta membutuhkan 'power' penguasa.

Just FYI, sekarang saya lagi mengajar di salah satu Bimbel di Kota Bandung. Saat jam istirahat saya dan salah satu teman berniat mencari sesuatu yang bisa kita makan, tanpa sengaja menemukan beberapa sampah yang berserakan. Teman saya itu kemudian berkomentar "Pengen sih ya mungutin, tapi bingung buang dimana. Hahaha" Salah juga sih kita juga menyerah amat ya sama kondisi. Tapi dari kasus sampah itu teman itu jadi bahas "Eh jadi di sekolah kita belajar apa ya? Ko buang sampah aja masih banyak yang sembarangan?"

Jadi mikir. Dapat apa aja ya selama di sekolah? Yang paling manfaat sih kimia karena terpakai sampai dunia kerja. Tentang buang sampah? Ada sih di PKN jaman SD sekalian tentang jika ada seorang nenek yang akan menyebrang, apa yang kamu lakukan? Meski sampai sekarang, lupa lho udah belum ya nyeberangin seorang nenek? Entah karena jarang ketemu nenek atau karena jangankan menolong nenek, nyeberang aja masih minta tolong. Hee

Sorenya ngajar lima orang murid. Yang dua diantaranya adalah siswa salah satu SMA negeri. Mereka satu sekolah dan satu kelas, jadi wajar kalau akrab dibanding 3 teman lain yang memang karena perempuan yang cenderung lebih diam juga karena mereka dari sekolah yang berbeda. 

Di tengah pelajaran, ketika mereka mencatat, salah satu siswa nanya "Ka, SPP sekolah itu buat apa?" 

Dijawablah sesederhana mungkin "Ya buat beli keperluan sekolah alat tulis atau event-event intern sekolah"

Lalu dia lanjutin "Jadi bukan buat bayar gaji guru?" Di situ saya udah merasa deg-degan. Ko arahnya aneh ya.

Saya jawablah karena mereka belajar di sekolah negeri "Ya bukanlah. Yang gaji guru kalian mah pemerintah"

Terus si anak nerusin obrolannya ke temennya itu, tapi masih bisa saya dengar "Oh berarti kita emang harus hormat sih ya"

???

Entah apa yang ada dalam fikiran mereka. Mudah-mudahan ini cuma suudzon saya doang. Kenapa saya berfikir "Jadi kalau kalian yang bayar, bisa seenaknya dan ga kalian hormati?"

Rasanya pengen langsung nasehatin saat itu juga. Pengen bilang kalau rejeki itu bukan ditentukan oleh siapa yang memberi kita gaji. Tapi, jadi banyak pertimbangan. Pengen cari analogi yang lebih bisa mereka terima sebagai anak SMA kelas X. Selain itu, disitu ada 3 murid lain dengan karakter berbeda dari si anak yang nanya ini. Oke. Tahan sampai bisa ngobrol empat mata.

Dua kejadian di hari yang bersamaan itu fix jadi bikin sok mikir tentang masa depan pendidikan Indonesia. Baru ngeuh seberapa terpuruknya sistem pendidikan ini ketika sudah terjun langsung dan melihat subjek pembelajar yang macam ini.

Beberapa hari berselang, teman saya yang seorang guru di salah satu SD Negeri memposting hasil screenshot dari status FB seorang siswanya. Isinya, sy sendiri sampai tak tega menuliskan. Anak itu mengumpat, menyebutkan nama teman saya itu yang diakhiri dengan cacian menggunakan nama binatang. Dan teman saya itu menceritakan bahwa si anak ini kesal karena dilarang bermain bola oleh teman saya itu. Parahnya lagi, si pelaku ternyata menggunakan akun temannya. Hhhh. Kalau saya ada di posisi teman saya itu, rasanya sudah ingin menyerah saja. Hahaha. Tapi teman saya ini memang orang yang cukup tough sehingga kita saya beri komentar semangat dia hanya membalas "jangar  (pusing), Wid" tanpa mengesankan bahwa ia terluka. Meski sebetulnya kita tidak tahu bagaimana perasaan ia sebenarnya.

Si pelaku ini masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tanpa mengesampingkan bahwa setiap orang punya kesempatan berubah, namun ini menunjukkan bahwa level pendidikan dasar saja sudah tersusupi hal macam ini. Serta melihat latar belakang siswa teman saya yang berbeda dengan kasus siswa saya yang secara status ekonomi di atas gurunya, saya jadi mengubah kesimpulan bahwa apa mereka lakukan ini bukan bergantung dari seberapa besar kekuatan materi yang mereka punya, namun ada hal lain yang lebih berpengaruh. Karena saya pernah menemukan seorang siswa yang berasal dari keluarga terpandang justru sangat menghargai gurunya. Dan saya menemukan jawaban ketika bertemu orang tuanya. Sepasang orang tua yang tetap bersahaja walau bisa saja dengan mudah ia tampil petantang-petenteng, dengan sabar dan serius mendengarkan penjelasan saya selaku wali kelasnya tentang perkembangan anaknya.

Saya ga bilang kalau output pendidikan jaman old macam angkatan saya sudah berhasil memberikan kontribusi yang baik bagi umat. Bisa jadi kami juga sebetulnya produk gagal yang meneruskan kegagalan sebelumnya.

Tapi, gini.

Dunia ini adalah tempat berbuat salah. Tapi bukan tempat untuk selalu mengulang kesalahan.

Cerita tadi terlihat sederhana bagi sebagian orang. Bahkan beberapa orang cenderung apatis sama hal yang tidak bisa diukur oleh angka kebenaran. Bahkan sekarang malah terkesan makin blur, ga ada sekat pemisah antara benar dan salah. Banyak orang yang akhirnya menetapkan grey area seperti gradasi yang kontinu. Dan kebanyakan orang berada di warna pertengahan untuk mencari aman. Tidak terlihat terlalu salah serta menghindari terlihat sok alim. Akhlak, budi pekerti, moral, karakter. Entah lah istilah yang tepat apa. Seolah menjadi terlupakan karena batasan kewajaran jadi makin runyam. "Wajar lah buang sampah sembarangan, tempat sampahnya aja ga ada". Semua sibuk mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukan atas dalih pemafhuman.

Esensi pendidikan tentang akhlak jadi terlupakan di tengah gempuran dan desakan hafalan dan rumus yang mungkin akan mereka lupakan setelah ujian. Padahal banyak ulama terdahulu yang ilmunya tidak diragukan lagi, belajar tentang adab lebih lama dibanding tentang ilmu.

Kadang setiap siswa atau bahkan kita saat sekolah dulu pernah bertanya, untuk apa rumus matematika yang kita pelajari ini? Apa akan terpakai saat terjun ke dunia kerja nanti? Bisa jadi memang tidak. Bahkan banyak yang akhirnya bekerja tidak sesuai dengan titel. Lalu apa yang kita dapat dari sekolah? Seharusnya ada. Kalau saja kita mau sedikit peka, konsep sekolah adalah laboratorium kehidupan harusnya memang tertanam.

Dan yang perlu diingat juga adalah anak memasuki sekolah setelah ia menerima pendidikan pertamanya. Setiap anak telah memiliki dasar karakter yang dibawa sebagai hasil pengasuhan orang tua dan lingkungan. Sedangkan sekolah bertugas mengembangkan karakter bawaan tersebut. Sekolah bukan ketok magic yang bisa diharapkan akan mengubah karakter anak yang dititipkan beberapa tahun saja. Itu pun jika dihitung hanya beberapa jam dalam sehari. Sisanya? Maka, perlu difikir ulang ketika menegur anak dengan kalimat "kamu udah disekolahin masih aja nakal".

Jika mau berpikir secara global lagi, pendidikan juga bukan tentang peran sekolah dan orang tua. Ada pengaruh yang lebih besar yang tidak bisa lagi mendapat pengawasan dari sekolah mau pun orang tua. Berbagai tontonan tanpa bobot tuntunan yang lagi-lagi lolos uji kelayakan untuk tayang. Belum lagi kebebasan akses media sosial yang memudahkan anak menemukan sosok 'idola' yang tak patut. Penggunaan media sosial yang tak bijak hingga menjadikannya sebagai ajang unjuk diri namun bukan dari sisi prestasi. PR kita bersama.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ada semacam penyesalan karena tidak mengenal Islam dengan baik sejak dulu. Sok ikut-ikutan ikut bergerak membela hak kaum perempuan padahal ga ngerti sejarah feminisme itu seperti apa. Jadi ilfil sama diri sendiri. Sok pinter padahal isinya salah. Merasa terjajah padahal ga ada sama sekali yang mau menjajah. Kalau pun ada yang terjajah, itu bukan saya. Sehingga saya merasa menjadi korban dari arus yang memaksa saya membela sesuatu yang tidak saya fahami awal mulanya. Sedangkan saya, sebagai seorang muslim, sekarang sadar dan merasa bahwa agama ini menempatkan wanita pada tempat yang mulia. 
Jadi, kenapa kita harus berjuang untuk sesuatu yang sudah diatur sesuai dengan apa yang kita butuhkan.

Butuhkan ya. Bukan kita inginkan. Kadang ego manusia jadi melampaui batas dan sok tahu tentang apa yang terbaik untuk dirinya. Ia lupa pada Pencipta yang tentunya lebih tahu tentang apa yang Ia ciptakan ketimbang ciptaanya sendiri. Mungkin perempuan juga perlu menekan ego untuk memahahi bagaimana Islam menempatkan perempuan sesuai dengan perannya. Ya peran. Perempuan memiliki peran.

Isu yang paling sering diangkat para pegiat feminisme pasti tentang kesetaraan gender. Perempuan harus memiliki kesempatan berperan yang sama seperti laki-laki. Perempuan memiliki peran, tapi pastinya beda sama laki-laki. Sama halnya ketika pelajaran olahraga, apa kita jadi merasa tidak diberikan kesempatan yang sama karena guru memiliki standar penilaian jarak renang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan? Ya beda lah. Itu kan tentang kekuatan fisik. Nah maka dari itu kita harusnya menyadari bahwa kita memang diciptakan berbeda dengan mereka, bahkan susunan kromosomnya pun sudah berbeda. Nahh, kadang celah ini juga yang akhirnya menaikkan egoisme penganut kesetaraan untuk menggaungkan "janganlah perbedaan ini menjadi penghalang untuk berkarya". 

Kita diciptakan berbeda dengan kaum adam bukan sama sekali untuk membuktikan siapa yang lebih baik di atas siapa. Karena pada dasarnya kita hidup untuk saling melengkapi dan tidak bisa hidup tanpa salah satu. Lalu apa kita hidup hanya sebagai pelengkap? Big NO. 
Justru kita hidup untuk mengisi celah yang tidak dapat diisi oleh laki-laki hebat mana pun.

Laki-laki mana yang diberi kesempatan untuk mengandung dan melahirkan? Lahh itu kan kodrat. Sepertinya kita juga perlu mensyukuri bahwa kodrat itu mengandung suatu keistimewaan. Laki-laki mana yang diciptakan sepaket dengan sebauh organ yang disebut rahim yang berarti kasih sayang, yang menjadi cikal mengapa perempuan lebih mudah tersentuh dibanding laki-laki? Laki-laki mana yang tahan membopong badan yang melarnya melebihi berat badan bayi saat keluar? Laki-laki mana yang tahan dengan rasa sakit seperti berpuluh tulang dipatahkan dalam waktu bersamaan ketika melahirkan? Kalau ada perempuan yang menolak kodrat ini atas dasar mengapa hanya perempuan yang harus menanggung sakit? Mungkin ia lupa tentang keistimewaan dirinya atas kodrat yang diberikan yang pastinya akan disertai dengan kekuatan menanggung sakitnya.

Mengapa seorang Rasul yang laki-laki justru menyebutkan Ibu sampai tiga kali ketika ditanya kepada siapa kita perlu berbuat baik? Karena memang menjadi Ibu bukan tugas sepele. Kalau bekerja bertanggung jawab pada atasan yang memberi pekerjaan, maka menjadi Ibu langsung bertanggungjawab pada Yang Memberikan kita keturunan. Pernah denger kan kalau Ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Makanya suka heran ketika sama Ibu yang membuang anaknya, kalau ga niat ngurusnya, ya ga usah iseng bikin dong. Heee.

Terus peran perempuan hanya sebatas Ibu yang mengurus anak di rumah? Justru ketika menyadari peran Ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak, harusnya kita juga tahu bahwa Ibu juga yang akan memberikan pengaruh besar bagi anak. Maka persiapan yang dilakukan selama masih sendiri perlu dioptimalkan, ga salah juga kan ketika Mba Dian Sastro pernah kasih quote yang banyak diaamiini oleh para wanita tentang seorang wanita perlu berpendidikan tinggi karena mengingat ia akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Lalu apa lantas pendidikan tinggi itu hanya berhenti sebagai madrasah anak-anak? Saya rasa juga tidak. Setiap Ibu tetap harus memiliki manfaat bagi banyak orang tanpa harus mengorbankan pendidikan anak-anaknya sendiri. Teorinya sih begitu, meski sampai saat ini karena saya belum jadi Ibu (kecuali Ibu guru) dan masih dalam tahap pencarian bagaimana menjadi Ibu yang berhasil di rumah dan lingkungan.

Karena contohnya juga sudah banyak. Cut Nyak Dien yang dengan gagah berani melawan penjajah, terjun langsung lho itu. Dewi Sartika yang berhasil mendirikan sekolah. Dan tidak melupakan Hajar yang ditinggal bersama dengan Ismail di tengah padang pasir, dimana tumbuhan mau pun hewan aja ga ma hidup disitu. Tapi kemudian bisa menemukan air zam-zam yang menjadi cikal bakal komunitas Mekah pertama kali. Terbayang kalau Hajar dengan manja menolak ketika Ibrahim meninggalkan beliau, mungkin Mekah belum ada. Seorang Ibu bahkan bisa tertulis sebagai tokoh promotor peradaban.

Meski terkadang jadi miris ya kalau melihat KDRT pada perempuan itu masih ada. Yang katanya berperan besar tapi justru karena ada segelintir oknum laki-laki kurang faham, akhirnya menjadi korban. Masalahnya jadi kompleks karena kekerasan itu biasanya bermula dari trauma atau justru kebiasaan yang terbawa. Perlu banyak ngobrol dan baca lagi kalau tentang ini. Hehe.  

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Awal tahun masih penuh resolusi, dari setemeh 'ingin kurus' meski dengan tagline 'diet mulai besok' sampai 'dapat beasiswa ke luar negeri' tapi nilai TOEFL masih bikin miris. Dan yang tidak akan terlewat dari para gadis seperempat abad adalah M.E.N.I.K.A.H. Ibadah sepanjang sisa usia dengan persiapan terpanjang mulai dari perjuangan memperbaiki diri serta mencari orang yang 'pantas' (dan tentunya mau sama kita). Walau kriteria 'pantas' itu perlu dikembalikan kepada Allah, sebagai penentu. 
Tak perlu sikap sok tahu akan masa depan, kalau hanya berdasar pada prasangka atau perasaan.
Menikah ini ternyata urusannya bisa panjang, apalagi jika dihadapi dengan lingkungan yang 'kurang sehat'. Berdasar cerita teman, ada yang sampai pada tingkat stres dengan pertanyaan 'kapan nikah?' dari para tetangga yang lebih garang dari orang tua. Maksudnya justru orang tuanya yang dibuat gerah dengan berbagai sindiran tentang anaknya yang tak kunjung laku. Hiks sedih ya. 
Walau ibadah itu memang perlu disegerakan, tapi sikap terburu-buru juga khawatir mengundang keburukan lain di masa depan.
Kalau jumpa lingkungan dengan tingkat ke-kepo-an dan hasrat mengurusi orang lain yang sangat tinggi, memang membutuhkan usaha ekstra buat tutup telinga dan cuek aja sama komentar orang.  Karena dampak lingkungan itu sepertinya berpengaruh besar. Lingkungan dengan budaya 'tidak mau kalah' akan membentuk karakter demikian pada anggotanya, jika dia tidak punya prinsip yang kuat untuk jadi diri sendiri.

Kembali pada usaha menemukan si do'i. Sebagai manusia yang memiliki ego, kita juga pasti memiliki deretan kriteria tentang pasangan. Walau sebaiknya ketika menentukan kriteria ini juga perlu ngaca diri juga coy. Jangan sampai menyadari bahwa standar kita terlalu tinggi justru saat manusia lain seusia kita sudah berpasangan, sehingga peluang menemukan akan jadi berkurang. Ya walaupun sebenarnya jodoh itu sudah ditentukan. Tapi, biasanya yang namanya jodoh itu sesuai cerminan diri ko. So, yang sering terpesona dengan cerita negeri dongeng mah ya tolong dikondisikan dulu lah bahwa ini realita. Bukan berarti mengajarkan kita untuk asal-asalan, tapi selektif dan 'tampikan' itu adalah hal yang berbeda. You know 'tampikan'? Tampikan adalah kondisi dimana kamu dikasih A nolak karena bla bla bla, disodorin B nolak karena bla bla bla yang lain. Terlalu kaku dengan kriteria dan tidak mau berdamai dengan kekurangan lain. Kalau boleh agak sarkas sih, "ayolah, emang kamu sesempurna apa?" 

Pada akhirnya karena ditolak, si A berpindah ke lain hati karena paksaan dari orang tuanya yang sudah renta misalnya. Ada sebuah perasaan menyesal atau semacam "eh ko dia udah move on sih" dan perasaan lain yang seharusnya tidak diikuti karena itu bukan jadi bagian ranah hidup kita lagi. Lalu ketika kabar pernikahan si A berhembus, ikut kita hembuskan juga kabar "eh dulu si A pernah nembak aku gitu. Tapi aku tolak." Untuk tujuan apa? Supaya orang tau bahwa kita juga pernah laku? Supaya orang tau bahwa kita lebih tinggi dari orang yang berhasil ditaklukkan si A? Pikiran manusia tidak sesederhana itu. Bisa jadi orang malah kasian karena kita hanya terlihat seperti kucing kecil kehujanan di pojokan.
Berhentilah berbuat konyol tanpa pemikiran matang hanya untuk memuaskan ego pribadi. 
Pikirkan juga bagaimana kalau kamu ada di posisi pasangan A, kemudian mendengar kabar itu. Nyamankah? Lagipula,  coba untuk tidak melambungkan perasaan secara berlebihan. Bisa jadi justru si A berpaling karena pasangannya itu memang lebih istimewa. Dan dia tidak sama sekali menyesal ditolak oleh kita. Jadi kalau kita tiba-tiba berkoar demikian, sementara orang justru tahu bahwa kita tidak ada apa-apanya, yaa bayangkan saja sendiri malunya.

Atau kasus sebaliknya, ketika kita tahu bahwa si A yang sudah menikah atau sedang sebar undangan atau masih hanya sebatas kabar angin pernikahan, dulu sempat naksir teman kita. Lalu dengan pedenya, karena menganggap tidak akan menimbulkan perang dunia, maka dengan ringannya kita selipkan obrolan "eh, si A dulu pernah naksir kamu sebenarnya". Ya kalau teman kita bukan tipe orang yang mudah geer. Kalau gara-gara itu ternyata dia jadi kepikiran, menyesal kenapa dulu kodean si A tidak dia tanggapi. Meratapi nasib tidak jadi istri si A yang hari ini keman-mana pakai Fortuner.

Ihh ko nyinyir sih? Pernah kaya gitu ya? Iyaaa banget. Duluuu, jaman belum memikirkan orang lain. Seolah hanya diri sendiri yang hidup di dunia dan hanya hati ini yang harus dijaga. Yang lain ga punya hati atau kalo pun punya ga perlu dijaga juga perasaannya. Jadi, mulai sekarang kalau mau cerita-cerita sampah mulai dipikirkan lagi. Ada manfaatnya ga ya buat diri sendiri atau orang lain. Atau jangan-jangan hanya menabur benih keburukan bagi diri sendirir. #masihbelajar
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sumber : http://www.axltwentynine.com

Lagi wudhu malah nguping dua orang temen yg lagi bahas isi buku. Katanya jodoh itu semacam hadiah. Bonus untuk ketaatan kita menunggu sesuai syariatnya. Dengan syarat, kalau kita niat kita memperbaiki diri lurus untuk mencapai ridho Allah, bukan semata-mata supaya dapat jodoh yang baik. Terus salah satu temen baper. Katanya, nanti aku dapat hadiah ga ya?

Setelah selesai wudhu saya komen "kalau teteh ga dapat hadiah, mungkin teteh jadi hadiah buat orang lain". Seketika dua temen itu diem diiringi rengekan histeris "ahhh teh widya bikin melting". Ya kali sinar matahari musim kemarau.

Terus shalat, masuk kelas, nungguin siswa, ehh ternyata anak2 lagi pada pratek bereneng dan ga dateng. Terus ngelamun sama percakapan singkat tadi. Umur segini ga lepas-lepasnya dari topik jodoh. Disamping keinginan buat sekolah lagi, memuaskan diri dengan masa lajang, atau berjalan melihat indahnya ayat kauniah Allah di belahan bumi lain. Kalimat "inget umur kalau perempuan" rasanya jadi bikin mimpi-mimpi itu harus dikubur. Wait. No. Tepatnya ditunda. Sampai nemu orang yang bisa punya mimpi sama dan mewujudkannya bersama. Idealnya.

Realitanya? Hidup kaya sinetron. Kalau flat ga akan ada yang mau nonton. Rating ga bakal naik kalau alur terlalu monoton.

Ambil kasarnya, rata-rata orang menikah pada umur 25. Jadi mereka punya waktu 25 tahun sebelum bertemu jodohnya. Kalau pake konsep good men are only for good women, katanya jodoh itu semacam cermin diri kita. Sebelum nemu si jodoh, coba flashback masa lalu kita? Udah yakin jadi orang baik? Terus kalo ga baik, kita masih berhak ga sih dapat orang baik?

Beberapa orang dengan lingkungan baik, ditambah pola pengasuhan orang tua yang ciamik tumbuh jadi orang yang tak pernah takut dengan jodoh. Kaum yang yakin bahwa jodohnya akan datang dari kaumnya lagi. Tapi, lagi-lagi itu idealnya.

Realitanya? Film Kiamat Sudah Dekat yang dimainin sama Andre Taulany memang beneran ada lho di dunia nyata. Ternyata beberapa orang baik dikirim bukan untuk semata-mata melahirkan dan meneruskan garis keturunan orang baik. Sebagiannya bertemu dengan orang yang belum sama baiknya. Dengan catatan orang yang belum baik itu punya niatan tulus memperbaiki diri ya.

Si mantan badung yang sedang berusaha jadi lebih baik malah ditakdirkan mendapat sesuatu yang mungkin belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Itu bentuk kasih sayang Allah dan juga amanah bagi si baik untuk menuntun pasangannya sama-sama ke surga yang selevel dengannya. Sebab katanya, karena surga yang bertingkat-tingkat, bisa jadi kita ga berada si surga yang sama dengan orang yang kita cintai. Yang level atas bisa nengok ke level bawah. Tapi, sayangnya bidadari di level atas pastinya juga tetep menang cantik dibanding manusia. Jadi bisa jamin kalo si doi ada di atas tetep mau nengok kita yang ada di bawah? Hiksss.

Jadi ya gitu. Kalau nemu pasangan yang tingkat ilmunya beda. Ga usah dicemooh atau sekadar komen "Ihh ko si a mau sama si b yang ga setingkat gitu ya ilmunya". Kita ga pernah tau perjuangan qiyamullail si b itu kaya gimana. Kita ga pernah tau dalamnya niat si b buat jadi orang yang lebih baik itu kaya gimana.
Bisa jadi Allah memberi si a amanah dan si b hadiah

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Merdeka itu katanya bebas. Bebas menentukan pilihan, berpendapat, dan kebebasan lain yang intinya kaya nuntut hak kita sama lingkungan sekitar. Tapi, perasaan memiliki hak itu kadang malah menggiring kita jadi orang yang 'seenaknya'.

Merdeka dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kadang luput karena biasanya cuma glanced dalam pikiran tapi males aja buat dipikir lebih lanjut. Karena toh orang lain juga melakukan hal yang sama.
Terkadang kesalahan itu jadi terwajarkan karena banyak dilakukan.

  • Merdeka dari pertanyaan basa-basi yg (sedikitnya) bikin orang sakit hati.
Seperti "kapan lulus?", "udah kerja belum?", "kapan nikah?", "udah isi belum?". Kedengarannya sepele ya. Kayanya udah jadi pertanyaan pertama kalo ketemu temen lama. Tapi sebetulnya yg sepele itu malah jadi berdampak besar bagi si korban. Saya bukan tipe orang yang gampang baper sih kalo ditanya tentang kapan nikah misalnya. Hehehe. Tapi dari curhatan teman, ternyata pertanyaan semacam itu malah jadi beban bagi mereka. Kasian kan. Kalo pun ga bisa nyumbang kebahagiaan, seengaknya berusaha tidak jadi penyebab mereka jadi murung. Ga mau kan orang jadi menghindar ketemu kita gara-gara takut ditanya tentang itu.

  • Merdeka dari pernyataan basa-basi yang bikin enek.
Saya mulai menggunakan komen "wahh have fun ya. Semoga selamat sampai tujuan dan kembali dengan selamat" untuk mengganti "oleh-oleh dong" kalo liat orang lagi liburan. Dan mengganti "traktir dong" dengan doa yang (insyaallah) tulus kalo tau ada orang yang lagi ulang tahun. Kedengeran peres ya? Hehe. Emang kenapa kalo pake basa-basi yang lumrah dipake orang? Memang ga apa-apa. Setiap orang punya pilihan. Bagi saya yang ulang tahun itu harusnya dikasih kado, bukan malah suruh traktirin orang. Jadi kita bersyukur atas jatah umurnya yang makin berkurang gitu? Hehe. Terlalu sarkas sih ya itu. Canda.

  • Merdeka dari segala perasaan yang jadi bibit penyakit hati.
Tinggi hati, merasa lebih baik dari orang lain, ingin dipuji, ingin diakui, ingin diberi, iri dengan apa yang orang lain miliki, pamer dengan apa yang kita miliki, dan segala macam perasaan manusiawi yang sering banget nyempil kaya cabe di gigi. Kebanyakan ga kerasa kalo sedang memelihara si rasa yang salah itu.

Selalu mencari pembenaran diri, padahal hati nurani kadang udah negur sendiri.
"Ga boleh iri sama rejeki orang lain" kata si baik. "Ih salah siapa coba dia hobinya posting seolah pamer. Bikin yang lain mupeng. Punya suami ganteng mah umpetin aja. Emang mau suaminya direbut orang" kata si jahat? kadang seolah benar ya. Padahal salah sendiri punya medsos. Udah tau pasti ada negatifnya. Terus masih sok ngambil kerjaan malaikat buat ngejudge orang.


Ya gitu lah pokoknya. Kadang emang susah buat melihat sesuatu dari sisi positifnya. Lebih mudah buat menyalahkan kondisi atau orang lain. 

Jadi sadar aja, seberapa merdeka diri kita? Ternyata diri ini juga masih terjajah oleh perasaan ga etis. Dan bahkan tanpa sadar jadi menjajah orang lain lewat perkataan atau perlakuan.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Merasa lebih cantik, lebih kaya, lebih pintar. Jatohnya? Sombong. It's easy to be categorized.

Pernah ga merasa jadi orang yang lebih sibuk di kantor? Ketika jam istirahat selesai bunyi, si bos langsung aja ngasih seabreg kerjaan tanpa peduli perut yang masih penuh sama makanan yang belum sampa usus halus. Sementara yang lain masih leyeh-leyeh di mushola menikmati sajadah agak empuk tapi sedikit bau karena jarang dilaundry, dengan dalih dzikir dulu bentar. Padahal mah, lagi menikmati sepoi AC sambil nyuri tidur barang 5 menit.

Dan kita kerja dengan gerutuan dan emosi berkecamuk. Kenapa si A santai banget, sementara si aku 'dikerjain' mulu? Apa cuma aku yang kerjanya eucreug (sunda : benar) sampai ga ada yang lain yang bisa nyaingin? Haha. Menghibur diri dikit. Merasa kenapa gaji sama, tapi capenya beda?

Pada awalnya ngerasa ga apa-apa lah. Yang penting kerjaan saya. Perihal orang lain kerjanya asal, yang penting saya memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Meski di tengah, akhirnya goyah, cape sendiri karena yang lain berasa ga bantuin, terus koar di rapat. Dalihnya banyak. Boro-boro dapat penghargaan atau seenggaknya hiburan dan ucapan terima kasih. Intinya cuma satu komen dari si bos "situ ikhlas ga sih kerja sibuk dibanding orang lain?" Jleb banget. Untung aja bosnya ga saklek dan ngebungkus kalimatnya jadi terdengar lebih apik. Walau sebetulnya sindiran itu lebih nusuk dibanding kata frontal.


"Kamu enak. Ga ngalamin kan AC rusak dan kita kaya sauna? Sekalinya ganti, pake kipas angin yang berisiknya bikin pecah konsentrasi"
"Dulu saya pelatihan nginepnya di penginapan biasa, boro-boro deh ada acara rekreasi. Ada doorprise aja udah bersyukur."


Gitu deh. Membanding-bandingkan fasilitas yang didapat pegawai baru dengan apa yang dia dapat pada masanya. Helloowww, kalau mau ditelisik. Harusnya bersyukur lah. Berarti perusahaan tempat situ numpang hidup itu memikirkan kesejahteraan dan kenyamanan pegawainya.
Nyuruh orang lain bersyukur itu ga perlu jadi bikin diri sendiri malah kufur nikmat.

Jadi gitu ya. Coba berkaca diri. Sudah seberapa ikhlas dengan apa yang kita lakukan di tempat kerja. Ikhlas itu tolak ukurnya susah. Diem dan ga cerita sama orang lain tentang kebaikan diri tapi merasa diri sudah lebih baik dari orang lain? Itu sombong juga ga sih? Hehehe.

Merasa lelah itu wajar. Manusiawi ko. Tapi rasanya ga perlu juga jadi menyalahkan orang lain yang terlihat 'lebih santai' karena bisa aja dia hanya pintar menyembunyikan kerepotannya. Karena setiap pekerjaan itu amanah, maka belajar ikhlas menerima amanah.
Katanya amanah itu tidak akan jatuh ke tangan yang salah. Entah karena kita memang dianggap mampu melakukan, atau justru lewat amanah kita jadi belajar.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Itu kutipan hadits yang saya sendiri lupa siapa yang meriwayatkannya. Hehe. Tulisan macam apa.

Tapi ada beberapa hal menarik yang akhirnya ingin saya bahas tentang hadits itu dan berkaitan dengan sesuatu yang sedang hits bin kekinian yang alhamdulillah sifatnya baik.

Manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, bersih, baik. Dan beruntung rasanya bagi manusia yang dilahirkan dalam keluarga yang baik, meski tidak menjamin akan mati dalam kondisi baik pula.

Lingkungan. Iya. Pengaruhnya besar.

Lantas apa manusia yang sempat tidak baik tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, hijrah, atau apa itu namanya. Seneng sih ketika banyak orang beramai-ramai mengkampanyekan ini. Penghafal qur'an sekarang ga kalah pamor sama penyanyi papan atas. Onlineshop gamis syari mudah ditemui dibanding yang jualan baju kurang bahan dan jahitan.

Sempet terpikir tentang .... esensi hijrah itu apa?

Saya sendiri bukan orang yang menggaung-gaungkan kata itu dengan selalu menulis dalam hashtag postingan medsos.
Kenapa?

Apa artinya saya tidak berkeinginan memperbaiki diri?

Kembali pada fitrah manusia, apa seorang maling tidak ingin punya pekerjaan yang lebih baik dan lebih mulia?

Beberapa orang, seperti saya, alhamdulillah mendapat lingkungan yang baik dengan teman-teman yang selalu mengingatkan dalam kebaikan. Sementara saya sendiri? Saya justru malu. Seolah saya menjadi duri dalam daging yang terlihat baik dari luar lalu dalamnya? Allah yang telah menutupi aib setiap hambanya pasti lebih tahu.

Tentang hijrah dan tektekbengek tentang memperbaiki diri yang sudah jadi fitrah manusia itu juga jadi banyak penyebabnya.

Beberapa orang mencoba hijrah karena terbawa kawan. Ada juga yang memang mendapat pencerahan sendiri karena pengalaman baik maupun buruk. Meski ada juga niat terselubung yang menurut saya jadi 'rada kurang pas' ... katanya supaya jodohnya baik. Kalau saya mau sewot "helloowww pernah denger ungkapan orang baik untuk orang baik ga? Terus menurut situ Allah menilai baik itu dari sisi mananya? Dari taubat yang baru sekejap terus langsung dapat bonus?"

Meski sebetulnya sah-sah saja dan banyak orang yang baru saja berhijrah lalu dapat jodoh orang yang kapasitas baiknya jauh di atas dia. Meski saya belum sempat tanya apa waktu dia berniat hijrah lillahitaala atau karena ... ya sudah lah.

Perjuangan untuk jadi baik juga memang tak mulus. Belum lagi tentang orang yang merasa sinis dan nyinyir dengan perubahan diri. Apalagi bagi sebagian orang yang pernah merasa disakiti.

Rasanya susah mempercayai kalo orang yang dulu bermaksiat bersama, kini malah jadi sok bijak dan full nasihat.

Rasanya tak perlu mengurusi orang macam ini. Mereka juga tak akan kebagian pahala dari perubahan diri. Soalnya saya pernah mengalaminya sih. Hahaha. Karena sakit hati, semua kebaikan yang ada dalam dirinya jadi tertutup kabut kebencian. Cieee. Jadi tidak bisa objektif dalam menilai.

Tapi sebetulnya kalau dipikir merugi juga. Memelihara benci hanya akan meuai penyakit hati. Karena ternyata hanya diri kita yang menilai begitu. Sementara yang dibenci tetap bahagia dengan kehidupannya dan sama sekali tidak meraa terusik. Orang lain juga tidak jadi ikut membenci.

Jadiiii, yang sedang hijrah istiqomah aja lahhh. Tidak perlu repot memikirkan penilaian orang. Karena penilaian yang paling benar itu hanya dari Allah. Kan Dia yang lebih tahu niat dan usaha kita.
Yang belum (macam si aku)?

Sok atuh segera dijemput yang namanya hidayahnya itu. Jangan sampai lebih cepat dijemput maut. Dan yang pasti mah ... jangan nyinyir sama orang yang lagi jadi baik atau belum nemu jalan buat baik. Saling mendoakan dalam kebaikan aja. Biar Malaikat juga mendoakan yang baik.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sumber : abbiummi.com
Pernahkah anda melihat seorang siswa yang mogok sekolah? Entah karena terjerumus pergaulan remaja atau asik dengan dunia sendirinya lewat bermain games. Atau seorang anak yang memberontak orang tua, pergi dari rumah dengan alasan cinta atau cita-cita yang tak direstui?

Sekilas, anda mungkin jengah melihat ulah mereka yang tak tahu diuntung, menyia-nyiakan kesempatan, waktu muda hanya untuk kesenangan sesaat. Namun, selang beberapa tahun kemudian, anda bisa melihat kehidupan mereka berjalan baik dan kembali normal seperti orang lain pada umumnya. Seperti masa lalu yang telah mereka alami tak berpengaruh pada apa yang mereka jalani saat ini.

Bagi saya itu lah titik kritis. Titik dimana anda begitu merasa terpuruk dan bagi anda, orang di sekitar hanya bisa menyalahkan tanpa bisa memahami kondisi psikologi anda yang butuh dorongan dan dukungan.

Merasa menjadi bagian roda paling bawah, tak terperhatikan, atau justru menjadi pusat perhatian karena ketidakmampuan. Dipandang orang bukan karena prestasi, tapi karena anda melihat sorot prihatin dan iba dalam mata mereka. Pasti lah bukan keadaan yang membuat anda menjadi termotivasi, seperti yang anda harapkan.

Saya percaya bahwa setiap orang akan memiliki titik kritisnya masing-masing. Dan tak ada yang tahu kapan datang. Seperti seorang pedagang yang tidak tahu kapan bangkrut atau seorang pengusaha yang tidak tahu kapan rugi. Sebagian besar mengalaminya pada masa muda. Dan selamatlah anda ketika mendapati titik kritis anda berada pada masa itu. Karena artinya, masih banyak waktu untuk memperbaiki.

Lalu bagaimana bila kondisi itu datang justru ketika teman anda sedang menikmati gelimangan prestasi hasil kerja keras mereka? Sementara anda sedang terseok, mencoba bangun dari keruntuhan yang begitu dramatis. Jatuh dari podium yang tanpa anda sadari, punya pondasi yang rapuh, sehingga mudah roboh saat anda merayakan euphoria kemenangan.

Atau itu cara Allah menegur anda karena kesombongan yang sempat anda miliki. Atau justru Allah sedang membelai lembut anda dengan kasih sayang tanpa batas yang hanya bisa anda miliki kalau anda juga punya sabar yang juga tanpa batas.

Titik kritis bukan satu kondisi mudah untuk dipanjat kembali. Walau kadang beberapa orang tetap tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Mereka bilang bahwa semua orang bisa kembali merangkak, asal memiliki tekad yang kuat. Sementara anda merasa bahwa posisi anda saat ini jauh di bawah yang mereka sangka. Kalau begitu, percayalah kembali bahwa Allah akan mengangkat lebih tinggi lagi seseorang yang telah jatuh dari jurang dibandingkan seseorang yang hanya dijatuhkan ke dasar kolam renang.

Semua orang pernah jatuh. Setiap orang juga memberikan saran ketika anda jatuh. Tidak perlu pesimis dengan saran orang lain yang tidak bekerja pada anda. Karena setiap orang punya cara sendiri untuk bangun. Mungkin anda belum menemukan cara yang tepat. Tetap melangkah ke depan sembari mencari jalan lain. Tak perlu risau dengan kicauan orang. Yang perlu dilakukan hanyalah melakukan yang terbaik dari apa yang anda bisa dan menjadi yang terbaik menurut versi anda sendiri.

Mengutip quotes dari Tere Liye
Biji buah yang dimasukkan ke dalam lubang, kemudian ditimbun tanah, mungkin merasa hidupnya sudah gelap sekali. Sendirian. Untuk esok-lusa, dia akhirnya menyaksikan, tubuhnya tumbuh, membesar, tinggi, kuat, menjulang kemudian bisa menatap sekitar yang begitu indah. Bermanfaat bagi sekelilingnya. 
Begitulah kehidupan kita. Barangsiapa yang merasa merana sekali, seperti dimasukkan dalam lubang gelap masalah kehidupan. Maka, insya Allah, boleh jadi Allah sedang mempersiapkan kita agar jadi pohon yang tinggi menjulang besok lusa. Bermanfaat bagi sekitarnya. - Tere Liye
Lalui saja titik kritis itu. Toh, hanya akan beberapa jenak saja. Seperti seorang remaja yang kehilangan arah kemudian menjadi anak yang membanggakan.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb