Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.



Sebagian orang mungkin akan bilang kalau saya ‘cablak’. Atau ceplas-ceplos dan ga tau aturan. Doyan komentar, tanpa cari tahu dulu lebih jauh tentang suatu perkara. Kan katanya kalo mahasiswa berpendapat harus berdasarkan bukti dan teori yang mendukung. (haha, ngebetein banget pasti ngobrol sama orang kaya gini). Kalo saya cenderung akan langsung berkomentar begitu melihat suatu permasalahan. Bahkan kadang saya mengomentari sesuatu yang belum terjadi, alias hanya khayalan saya belaka. Tapi saya percaya, apa yang kita bayangin, sebetulnya terjadi di belahan dunia lain, entah pada siapa. Dan tenang saja. Keinginan saya untuk berkomentar hanya akan lancar ketika saya nulis. Jadi, jangan suruh saya untuk memberikan komentar secara lisan. Apalagi di suatu forum resmi dan semua pandangan yang mengarah pada diri kita. Saya bakal gagu. Tanya deh temen saya, apa saya pernah ikut ngomong kalo MUMAS Himpunan? Haha. Meskipun saya sadar itu adalah forum yang disediakan untuk mengungkapkan aspirasi, tapi saya selalu saja merasa ‘takut ditolak’ forum. Dan bagi saya, tidak akan ada yang menolak saya di tulisan.

Hmm, prolog yang panjang. Maksudnya supaya siapa pun yang baca tulisan ini hingga akhir, dia ga akan merasa terintimidasi, depresi, atau parahnya hingga bunuh diri. Oh salah. Maksud saya, dia ga akan merasa kalo apa yang saya tulis ini sepenuhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini hanya opini saya. Dan selagi masih ada orang yang mampu mengambil hikmah dari tulisan orang lain, tanpa melihat siapa yang nulis, tapi apa yang ditulis, berarti masih ada orang bijak di dunia ini.

Oke masuk topik. Haha. Kali ini saya mau nulis tentang fenomena ‘ikhwan’. Saya kasih tanda kutip dulu ya. Kesananya biasa aja ko. Mari samain persepsi dulu. Kalo secara bahasa yang benar, dan yang saya tahu dari teman, ikhwan itu artinya saudara laki-laki. Tapi bagi saya dan (mungkin) beberapa teman ngobrol di kampus, ikhwan itu laki-laki yang soleh. Hmm, kalo kita lihat sekilas, bisa kita umpamakan kalo ustadz itu ikhwan. Tapi kalo preman pasar itu bukan ikhwan. Itu Cuma sekilas lho. Kan kita juga ga tahu kalau ternyata itu preman sebenernya seorang mahasiswa soleh yang lagi nyamar buat penelitian skripsinya. (tuh kan ngayal lagi).

Jujur aja, jaman SD hingga kelas 3 SMP, saya masih ga bisa bedain mana kata yang berarti laki-laki dan mana yang perempuan. Ikhwan atau akhwat ya. Hingga akhirnya waktu kelas 3 SMP, ada seorang teman laki-laki saya yang bernama Ikhwan. Dari situ saya ga pernah kebalik-balik lagi buat ngartiin ikhwan sama akhwat. Meskipun imbasnya, kalo sekarang saya nulisin ikhwan di jejaring sosial, beberapa teman saya akan menyangka (beberapa orang malah menggoda) kalau ikwan yang saya saya maksud itu teman saya jaman SMP. Duhh, padahal maksud saya ya ikhwan yang saya artiin di atas.

Lingkungan kampus saya yang (mungkin juga paling) religius di Bandung memaksa saya untuk tahu dan bergaul dengan para ikhwan ini. Teman-teman seangkatan saya malah jarang yang ikhwan.  Tapi kalo liat angkatan di atas saya, beuhh ampir semua deh kayanya. Nah, dari sini lah saya mulai mengenal dunia ikhwan. Dikit sih. Abis mereka ga mau dideketin lebih jauh. Haha.

Mulai dari panggilan ane-ente yang menurut saya.. emang penting ya pake panggilan itu? Ga bisa pake saya-anda, aku-kamu, gue-elo, urang-maneh, atau aing-sia bahkan (sadis amat ya). Heii, Men. Bangsa kita masih kaya akan bahasa kaleee. Saya juga tau apa dalil yang mengatakan kalau panggilan ini sebenarnya disunahkan oleh Rasul gitu? Atau cuma kepengenan mereka aja? Tapi bagi saya pake panggilan ane-ente itu kaya pake hp Blackberry. Terkesan (sok) eksklusif. Nah kan? Dulu sempet iseng baca sebuah novel. Di novel itu diceritain ada kumpulam orang-orang soleh yang sedang mendiskusikan bagaimana caranya berdakwah di lingkungan kampus yang heterogen. Tercetuslah untuk membuat upaya agar mereka lebih bisa dekat dengan target dakwah mereka dan.. menghilangkan kesan eksklusif. Sedangkan realitanya, justru saya melihat mas-mas ini sedang menanamkan kesan eksklusif. Ga percaya? Bisa jadi, orang-orang di luar perkumpulan anda, enggan berdiskusi atau sekedar bertanya masalah agama pada anda yang ahli agama ini, karena mereka ‘risih’ gaul sama panggilan ane-ente.

Hal lain adalah kebiasaan ... “hey, akhi. Lama tak jumpa. Kaifahaluk?” (terus mereka pelukan). Saya sempet garuk-garuk sendiri liat dua ikhwan ini. Kalo itu adalah ungkapan kasih sayang, tapi menurut saya itu menggelikan. Bagi perkumpulan anda, hal itu mungkin biasa saja (atau bahkan mungkin dianjurkan). Tapi bagi orang-orang di luar perkumpulan anda, itu sama aja kaya ngeliat dua cowok lagi jalan di mall sambil pegangan tangan.

Di luar dua fenomena ‘aneh’ itu sih, kadang saya justru kangen sama sosok ikhwan. Hihi (muna banget ya). Di lingkungan kampus atau temen SMA, ga susah lah nyari imam buat solat berjamaah. Meski harus pake adegan tuduh-tuduhan atau dorong-dorongan dulu segala, yang pasti akhirnya ada yang maju. 

Saya pernah hadir di sebuah reuni, ceritanya kita mau solat maghrib berjamaah. Yang cewek-cewek udah pada ngajakin cowok-cowok nih, dan pergi ambil air wudhu. Masuk ke mesjid, dan nunggu ... Lama amat. Dipanggil lagi deh ampe kita kesel sendiri dan akhirnya masuk seorang temen cowok. Guru saya yang waktu hadir di reuni itu, iseng bilang “ini pada kemana sih anak cowok? dipanggil-panggil dari tadi juga suruh jadi imam, malah ga nongol-nongol”. Temen cowok saya itu dengan polosnya jawab “pada ga mau jadi imam, Bu”. Husnudzonnya saya, wahh ini cowok emang ngerti agama. Takut sama tanggung jawab seorang imam. Tapi suudzonnya saya, deuhh nih cowok-cowok ga hapal surat pendek apa ya. Itu kan hanya pikiran suudzon yang melampaui batas. Haha. Yang paling mungkin adalah mereka malu kalo disuruh baca ayat Al-Qur’an pake suara keras tanpa teknik dan tajwid yang baik.

Jadi kalo disuruh milih antara ikhwan atau cowok yang ga bisa jadi imam solat, saya milih mana? Ya ikhwan lahh. Tapi ikhwan yang ga pake panggilan ane-ente dan ga pake adegan pelukan kaya Teletubbies kalo ketemu ikhwan lainnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Setiap pagi, beliau selalu mendorong roda birunya berkeliling. Hmm, entah hingga daerah mana saja. Yang pasti sekitar jam 7 menuju 7.30, roda itu selalu melewati depan rumah. Tetangga depan rumah saya adalah pelanggan setia penjual bubur itu. Maklum, penghuninya hanya sepasang kakek dan nenek yang mungkin sudah malas untuk repot-repot membuat sarapan. Sesekali saja saya atau adik ikut nimbrung membeli juga. Itu pun kadang, ibu yang membelikannya. Pernah suatu ketika, saya membeli sendiri. Dan, beliau meracik bubur sambil bercerita tentang anaknya yang sedang menempuh bangku kuliah. Dua kali, tiga kali, beliau selalu bercerita hal yang sama. Heyy, saya sudah pernah dengar cerita itu. Batin saya dalam hati tanpa berani bilang langsung. Takut menyinggung perasaannya. Saya akhirnya menceritakan hal itu pada Ibu. Bertanya apakah saat Ibu membeli bubur itu, penjualnya juga selalu bercerita hal yang sama. Ibu tersenyum sambil menjelaskan kalau penjual bubur itu memang selalu menceritakan hal yang sama saat melayani pembeli, meskipun itu pembeli yang sama dengan hari kemarin.
                Kemarin, saya berangkat ke kampus agak siang. Karena memang jadwal kuliah pertama saya pukul 1 siang. Saya duduk tepat di belakang supir angkot jurusan Cijerah-Sederhana yang akan mengantarkan saya hingga Pasteur dan sambung lagi dengan angkot menuju Lembang. Karena jalanan yang padat merayap itu, cukup membuat saya jenuh juga, saya iseng mendengarkan lagu lewat headset. Dan sempat tidak menyadari ketika supir angkot (yang lagi-lagi berusia sekitar 50-an) itu ternyata mengajak saya mengobrol. Awalnya dia bertanya saya hendak kemana. Saya menjawab saya akan melanjutkan dengan angkot Lembang. Soalnya saya kira dia hendak mencari jalan lain untuk mencari jalan yang lebih lancar. Kemudian dia bertanya lagi, apakah saya hendak kuliah atau kerja. Saya jawab lagi kuliah. Disusul dengan beberapa pertanyaan seputar semester berapa, kuliah dimana, jurusan apa, dan persiapan skripsi. Kemudian, dia tiba-tiba bercerita tentang anaknya yang juga sedang kuliah. Waktu itu saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut tentang anaknya itu, karena saya memang harus segera turun dari angkot untuk sambung dengan angkot lain.
                Di angkot Lembang menuju kampus, saya melamunkan supir angkot dan penjual bubur itu. Sekarang saya baru sadar, betapa anak adalah sumber semangat bagi para orang tuanya membanting tulang. Mungkin rasa lelah yang dirasakan penjual bubur itu seketika sirna saat dia bisa membanggakan anaknya yang sedang kuliah. Maka ia selalu menceritakan hal itu pada pembelinya. Bagi sebagian orang, menyekolahkan anaknya hingga bangku kuliah atau bahkan hingga gelar Ph.D mungkin hal yang biasa saja. Tapi bagi supir angkot dan penjual bubur itu, hal tersebut bisa jadi sebuah kebanggan besar dalam hidupnya. “Hanya dengan mendorong gerobak atau di belakang kemudi angkot, saya bisa memberikan harapan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak saya” Itu mungkin yang dipikirkan kedua orang itu. Atau “Meskipun saya seorang supir angkot atau penjual bubur, anak saya bisa memiliki prestasi hingga sampai di bangku kuliah”
                Sebagian anak mungkin risih ketika orang tuanya menceritakan keberhasilan atau prestasi anaknya di depan saudara atau kerabatnya. Anak tersebut pasti bilang “Buat apa sih Bu, Pak, bilang-bilang ke orang-orang. Nanti dikira sombong”. Tapi saya sudah belajar dari kedua orang tadi. Terlepas dari penilaian di mata Allah, bahwa tujuan orang tua melakukan hal tersebut bukan lantaran ia ingin menyombongkan diri. Melainkan ia merasa bangga terhadapa anaknya tersebut.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  September 2022 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ▼  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ▼  October 2013 (2)
      • IKhwan Oh Ikhwan
      • Anak = Sumber Semangat
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb