Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.

Tulisan ini terbit di hipwee community tanggal 15 Juli 2016. Dapet rekor baru nih di hipwee community, dalam sehari terbit hampir nembus 500 shares. Hihi. Gini aja girang. Soalnya mengingat tulisan sebelumnya mentok di 98 dan ga nambah-nambah lagi kayanya. Tulisan ini copy-paste banget ko sama yang di hipwee, cuma disana plus foto penambah keindahan gitu. Buat yang mau baca versi sana mangga ini linknya. Buat yang mau baca disini aja, juga silahkan.

Belum menikah saat yang lain sudah itu terlihat asing bagi sebagian orang. Padahal kami menganggapnya wajar dan tidak menjadikannya suatu beban. Kami sadar bahwa kehidupan setiap orang beragam. Standar bahagianya pun jadi bermacam-macam. Kalau kebanyakan wanita Indonesia menikah di bawah umur 25, itu hanya karena budaya. Tidak ada aturan tertulis batasan maksimal seorang wanita harus melepas masa lajangnya.

Bagi kami pertanyaan semacam itu menjadi hiburan sekaligus alarm alam. Kami yang menjawab dengan hanya senyuman bukan tidak tahu harus menjawab apa. Kami hanya bingung mulai dari mana harus menjelaskan. Tenang saja. Kami tetap wanita yang akan selalu ingat akan kodratnya. Kami tetap bercita-cita menggenapkan naluri,  menjadi istri juga seorang ibu.

Pergi ke pesta tanpa pasangan memang pilihan kami
Kami senang menerima undangan atau hanya sekadar kabar pernikahan. Kami juga tetap hadir dan turut bahagia. Namun, kedatangan kami yang seorang diri kadang malah mengundang tatapan aneh. Seolah kami adalah badut pesta yang lupa membawa hiasan merah di hidungnya.
Kami hanya mau jadi diri sendiri tanpa perlu terjebak dalam kepura-puraan. Bukan enggan dengan kawan dari lawan jenis. Kami dengan senang hati menerima ajakan, tapi juga tidak mau berpusing ria mencari karena menganggap itu sebuah keharusan. Bagi kami datang dengan orang tua atau teman wanita juga tak masalah. Toh sang pengantin juga tetap senang hati dengan doa dan kehadiran, bukan melihat dengan siapa kami datang.

Kami sadar bahwa pernikahan bukan sekadar hubungan untuk meneruskan garis keturunan
Foto bayi yang lucu dan potret keluarga bahagia bukannya tidak menggelitik kami untuk menyegerakan. Saat kami turut berkomentar betapa lucunya anak pertama kalian, kami juga sedang membayangkan akan seperti apa milik kami nantinya.
Sejatinya pernikahan menjadi ikatan sakral yang hanya akan dipisahkan oleh ajal. Karena itu, seperti yang sudah dilakukan orang-orang, kami juga berhati-hati dalam memutuskan. Kami tak mau kemudian hanya menjadi orang tua yang mengorbankan anak-anak demi mempertahankan ego semata. Kami sedang mempersiapkan diri menjadi orang tua terbaik bagi generasi yang akan lebih baik dari kami nantinya. Tentunya upaya yang kami lakukan akan sia-sia jika kami tak menemukan orang yang juga melakukan persiapan.

Tak perlu risau, kami tetap bisa tampil muda dan segar
Kebebasan kami dari repotnya mengurus tetek bengek urusan rumah tangga membuat kami punya waktu yang lebih leluasa. Kami tak perlu repot mengurus suami pada pagi hari dan bisa mandi dalam bathtub dengan aromaterapi. Saat weekend, kami juga bebas seharian memanjakan diri di salon tanpa perlu ijin siapa pun.
Bukan kami sedang bersorak atas kerepotan pernikahan. Kami hanya ingin kalian sadar bahwa kami tahu kok cara merawat diri dan tampil cantik. Jadi tolong berhenti memberikan tips kecantikan untuk mencari pasangan. Tolong langsung bawakan saja calonnya.

Bukannya pemilih, kami hanya perlu waktu mencari orang asing yang akan diajak berbagi
Tak bisa dipungkiri bahwa laki-laki yang akan mendampingi nanti adalah orang asing pada mulanya. Mereka bukan orang tua atau saudara kandung yang biasa kami ajak bercanda. Kami perlu waktu menyeseuaikan selama pacaran atau bahkan taaruf yang singkat itu. Berbagai perbedaan akan kami pelajari dan kami terus membuka mata dan telinga untuk tahu tentang dia lebih banyak. Karena kami tahu, setelah menikah kami harus menutupnya rapat-rapat agar tak terusik gosip-gosip tetangga.
Pernikahan bukan sekadar berbagi kamar atau lemari bersama. Kami tahu menerima kehadiran orang lain di sebelah saat bangun pagi akan selalu menimbulkan sensasi kaget yang aneh untuk beberapa hari. Ya, mungkin kami juga perlu mencari orang asing dengan ritme dan tempo dengkuran yang bisa menyeimbangi.

Kami akan menikah pada waktunya
Jangan anggap kesendirian kami sebagai bentuk antipati kami pada sebuah hubungan pernikahan. Kami sadar dan tahu betul tentang ibadah untuk menggenapkan setengah agama itu. Kami tetap memikirkan. Kami juga bukan kaum yang memandang sinis pada mereka yang memutuskan menikah dengan mudah. Kami tetap turut bahagia saat melihat kawan merubah statusnya.
Kami hanya perlu waktu yang tidak sama dengan mereka. Berbagai alasan mulai dari karir hingga sekolah lagi bukan sebagai alibi, namun memang itulah kami. Bukankah kita semua diajarkan untuk menghargai setiap ideologi?

Doakan saja

Kami tetap akan menghargai berbagai guyonan untuk cepat menikah. Kami hanya tidak ingin dipandang kasihan. Akan lebih baik kalimat pertanyaan “kapan menikah?” diganti dengan doa “mudah-mudahan cepat menikah ya”. Itu akan terdengar lebih menyejukkan dan lebih bisa kami terima.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ini kali kedua saya nulis tentang media sosial. Dulu nulis "Digunakan Untuk Apa Media Sosialmu?" Sekarang setelah lama ikut-ikutan, jadi merasa kalau media sosial membawa banyak pengaruh. Positif dan negatif.

Positifnya jalur informasi jadi punya banyak lajur. Berita bunuh diri di pusat kota bisa lebih dulu disebar orang lewat status di media sosial, ketimbang wartawan beneran yang harus nulis berita secara rinci dan akurat.

Positifnya yang lain setiap orang punya lahan buat berekspresi, tanpa kudu ngirim dulu opini, yang belum tentu sesuai kriteria redaksi.

Positifnya lagi orang berbondong-bondong jadi artis dadakan, jadi selebgram lah, selebtwit lah, artis vlog, sampai yang paling negatif jadi tuna susila online pun ada. Ga perlu mangkal di Taman Lawang kan. *duhh, salah bahas

Kata artis senior sih, dulu jadi artis susah, harus bertalenta, sekarang banyak medianya lewat ajang pencari bakat. Jaman itu juga sudah lewat. Punya banyak followers sudah jadi modal untuk bisa diendorse sama produk kacangan sampai jutaan.

Selamet yeee buat ente-ente yang bisa manfaatin medsosnya buat cari uang tambahan lewat jualan online. Positif sekalee, ketimbang orang-orang yang cuma jadi korban medsos macem ane. Hiks.
Sementara yang saya rasain selama 'bermain' medsos itu jadi banyak negatifnya. Hahaha. Jangan marah ya. Emang dasarnya otak saya itu lebih banyak isi negatifnya, makanya harus ketemu yang negatif juga biar jadi positif *ga nyambung.

Negatif pertama, menghabiskan waktu.
Pernah coba ngitung berapa menit yang dihabiskan dalam sehari untuk membuka medsos? Di luar aplikasi chatting ya. Saat libur, kalau dikalkulasikan, saya bisa lebih dari 2 jam mantengin TL berbagai medsos. Hehehe. Mudah-mudahan kita semua diajuhkan dari api neraka karena waktu senggang ya. Masih banyak hal bermanfaat yang bisa dikerjakan ternyata. Hiks.

Negatif kedua, memunculkan penyakit hati
Mantan follow kita. Padahal dalam hati punya dendam terselubung yang membumbung gara-gara doi berhutang belum dibayar. Atas nama 'tidak enak' akhirnya difolback juga. Akibatnya punya celah untuk stalking, berujung tangis yang melengking. Karena liat foto doi yang sudah nikah bersama teman sebangku jaman masih ceking.

Belum lagi rasa iri, dengki hati, jika melihat postingan teman beli mobil baru, pake tas mahal, atau rajin liburan ke luar negeri. Mending kalau cuma ngelus dada, nah kalau minta suami yang cuma kuli, apa namanya kalau ga ngaca diri?
Sementara dia lupa bersyukur punya suami yang selalu pulang ke rumah dan bantu kerjaan istri. Daripada suami yang bahagiain harta, tapi juga tebar pesona sama nona-nona. Jadi suudzon. Tuh kan nambah lagi penyakit hatinya.

Negatif ketiga, salah memilih idola
Sudah dibahas di atas, bahwa medsos memunculkan artis dadakan, yang tentu saja manusia. *ya ya lah. Tak pernah lepas dari khilaf dan dosa. Tapiiii, pilih lah yang sekiranya lebih banyak memberi contoh baik. Bukan idola yang doyannya pamer barang mahal dan bikin ngiler terus menggiring kita sama konsumerisme. Mending pamer barang doang. Kalau sampe pamer body juga. Hmm. Idola sempurna hanyalah Rasulullah *gaya kan saya.

Negatif keempat, jadi follower yang sebenarnya kudet
Tak perlu pasang iklan untuk pomosi wisata baru sekarang. Cukup posting foto dengan angle pas, upload. Orang akan datang, apalagi ditambah mereka akan jadi agen iklan gratisan (foto, upload). Rantai yang diciptakan postingan akan lebih dahsyat dari rantai mulut ke mulut. *naon sih

Meskipun sebenernya miris, pengen dibilang gaul sampai harus ikut-ikutan. Jelajah lah sudut lain kota atau bahkan Indonesia, masih banyak hal indah yang belum terjamah.
Karena yang lebih kekinian itu bukan follower, tapi discover.

Negatif kelima, tanpa sadar jadi ingin pujian
Punya tempat makan baru? Ga perlu gaji chef mahal. Pasti laku. Dengan catatan, tempatnya upload-able, makanan ga enak ga masalah. Dan tunggu saja tempat anda akan penuh dengan reservasi dan waiting list. Karena jaman sekarang yang penting bisa diliat orang. Ada kebanggan tersendiri ketika postingan kita bertabur like dan tanggapan. Apalagi kalau sampai mantan ikut komentar "kamu cantikan". *jlebbb

Belum lagi masih ada lho sebagian orang yang 'pamer' aktivitas ibadahnya di medsos. Hmm, mungkin semua tergantung niat ya. Sebagai pembaca ga boleh juga sih langsung ngejudge kalo doi punya niatan riya. Tapi jadi balik ke poin negatif kedua, bikin pembaca suudzon. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
"Linggih heula atuh ka rorompok"
Itu adalah basa-basi dalam sunda yang jika diartikan menjadi "Mampir dulu ke gubuk". Rorompok itu bahasa halus yang digunakan untuk menunjukkan rumah sendiri. Kalau untuk rumah orang lain ya bukan rorompok lagi. Istilah rorompok itu digunakan sebagai bentuk kerendahan hati.


Rendah hati itu bagus, malah harus. Supaya terhindar dari sifat takabur yang memberangus.

Tapi kok saya heran ya.
Beberapa orang punya rasa rendah hati yang terlalu merendah bahkan hingga mencium dasar dari kerendahan harga dirinya sendiri.


Jadi begini. Ini cerita tentang beberapa orang di negeri seberang yang punya sifat serakah dibalut kemunafikan. Yang katanya mereka akan menjadi pemimpin masa depan, tapi sudah terlihat bibit-bibit pemanfaatan kekayaan yang bukan haknya.
Dengan tega mencuri hak yang sudah jelas dilabeli "untuk orang miskin" demi menimbun rupiah dalam kantong pribadi.

Cerita tentang penjahat berjas kelas kakap yang hasilnya milyaran tak usah lah diceritakan. Negeri itu sudah terkenal akan korupnya, ketimbang alam indahnya.
Tapi masih ada saja, yang katanya, calon pemimpin masa depan itu, yang dengan percaya dirinya mengaku berhak atas tunjangan (red.beasiswa *biar langsung jleb) orang miskin, tapi garasi rumah di kampungnya nampung 2 mobil keluaran terbaru yang masih mulus. Itu hanya pemisalan ya. Karena biasanya pemisalan itu suka berlebihan, walau sering juga lebih miris di kenyataannya.
Mudah-mudahan saja mereka peka dengan sebagian kawan lain yang dengan sibuk mengajukan penangguhan karena tak mampu bayar sesuai deadline meski sudah hilir mudik kerja sampingan.


Itu hanya sebagian cerita lho. Masih beragam ternyata rakyat di negeri seberang itu. Mulai dari gengsi gede pake motor mahal, tapi kasih makan bbm yang bersubsidi paling besar. Sampai pura-pura lumpuh demi menadah belas kasihan orang-orang di jalan. Ada juga penipuan berkedok panti asuhan.

Intinya sih begini. Pandai-pandai mengukur diri. Kapan merasa cukup miskin, kapan merasa cukup kaya, jangan sampai terbalik.

Saya menulis ini juga sekadar berbagi sekaligus mengaca diri. Sudahkan saya terhindar dari sifat demikian? Jangan-jangan pernah atau suatu saat nanti akan, karena kepepet  nafsu dunia keadaan. Yang belum mudah-mudahan jangan sampai kejadian. Yang sudah mudah-mudahan dimaafkan.

Nasihat itu memang awalnya sakit. Susah masuk ke naluri. Biasanya cuma pengen bikin tanggapan pake emosi.

Dan yang pasti nasihat juga bahan cambukan untuk yang menyampaikan.




Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  September 2022 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ▼  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ▼  July 2016 (3)
      • Hanya Karena Kami Masih Sendiri, Bukan Berarti Kam...
      • Dualisme Media Sosial
      • Berpura-pura Miskin
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb