Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.

Ada semacam penyesalan karena tidak mengenal Islam dengan baik sejak dulu. Sok ikut-ikutan ikut bergerak membela hak kaum perempuan padahal ga ngerti sejarah feminisme itu seperti apa. Jadi ilfil sama diri sendiri. Sok pinter padahal isinya salah. Merasa terjajah padahal ga ada sama sekali yang mau menjajah. Kalau pun ada yang terjajah, itu bukan saya. Sehingga saya merasa menjadi korban dari arus yang memaksa saya membela sesuatu yang tidak saya fahami awal mulanya. Sedangkan saya, sebagai seorang muslim, sekarang sadar dan merasa bahwa agama ini menempatkan wanita pada tempat yang mulia. 
Jadi, kenapa kita harus berjuang untuk sesuatu yang sudah diatur sesuai dengan apa yang kita butuhkan.

Butuhkan ya. Bukan kita inginkan. Kadang ego manusia jadi melampaui batas dan sok tahu tentang apa yang terbaik untuk dirinya. Ia lupa pada Pencipta yang tentunya lebih tahu tentang apa yang Ia ciptakan ketimbang ciptaanya sendiri. Mungkin perempuan juga perlu menekan ego untuk memahahi bagaimana Islam menempatkan perempuan sesuai dengan perannya. Ya peran. Perempuan memiliki peran.

Isu yang paling sering diangkat para pegiat feminisme pasti tentang kesetaraan gender. Perempuan harus memiliki kesempatan berperan yang sama seperti laki-laki. Perempuan memiliki peran, tapi pastinya beda sama laki-laki. Sama halnya ketika pelajaran olahraga, apa kita jadi merasa tidak diberikan kesempatan yang sama karena guru memiliki standar penilaian jarak renang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan? Ya beda lah. Itu kan tentang kekuatan fisik. Nah maka dari itu kita harusnya menyadari bahwa kita memang diciptakan berbeda dengan mereka, bahkan susunan kromosomnya pun sudah berbeda. Nahh, kadang celah ini juga yang akhirnya menaikkan egoisme penganut kesetaraan untuk menggaungkan "janganlah perbedaan ini menjadi penghalang untuk berkarya". 

Kita diciptakan berbeda dengan kaum adam bukan sama sekali untuk membuktikan siapa yang lebih baik di atas siapa. Karena pada dasarnya kita hidup untuk saling melengkapi dan tidak bisa hidup tanpa salah satu. Lalu apa kita hidup hanya sebagai pelengkap? Big NO. 
Justru kita hidup untuk mengisi celah yang tidak dapat diisi oleh laki-laki hebat mana pun.

Laki-laki mana yang diberi kesempatan untuk mengandung dan melahirkan? Lahh itu kan kodrat. Sepertinya kita juga perlu mensyukuri bahwa kodrat itu mengandung suatu keistimewaan. Laki-laki mana yang diciptakan sepaket dengan sebauh organ yang disebut rahim yang berarti kasih sayang, yang menjadi cikal mengapa perempuan lebih mudah tersentuh dibanding laki-laki? Laki-laki mana yang tahan membopong badan yang melarnya melebihi berat badan bayi saat keluar? Laki-laki mana yang tahan dengan rasa sakit seperti berpuluh tulang dipatahkan dalam waktu bersamaan ketika melahirkan? Kalau ada perempuan yang menolak kodrat ini atas dasar mengapa hanya perempuan yang harus menanggung sakit? Mungkin ia lupa tentang keistimewaan dirinya atas kodrat yang diberikan yang pastinya akan disertai dengan kekuatan menanggung sakitnya.

Mengapa seorang Rasul yang laki-laki justru menyebutkan Ibu sampai tiga kali ketika ditanya kepada siapa kita perlu berbuat baik? Karena memang menjadi Ibu bukan tugas sepele. Kalau bekerja bertanggung jawab pada atasan yang memberi pekerjaan, maka menjadi Ibu langsung bertanggungjawab pada Yang Memberikan kita keturunan. Pernah denger kan kalau Ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Makanya suka heran ketika sama Ibu yang membuang anaknya, kalau ga niat ngurusnya, ya ga usah iseng bikin dong. Heee.

Terus peran perempuan hanya sebatas Ibu yang mengurus anak di rumah? Justru ketika menyadari peran Ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak, harusnya kita juga tahu bahwa Ibu juga yang akan memberikan pengaruh besar bagi anak. Maka persiapan yang dilakukan selama masih sendiri perlu dioptimalkan, ga salah juga kan ketika Mba Dian Sastro pernah kasih quote yang banyak diaamiini oleh para wanita tentang seorang wanita perlu berpendidikan tinggi karena mengingat ia akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Lalu apa lantas pendidikan tinggi itu hanya berhenti sebagai madrasah anak-anak? Saya rasa juga tidak. Setiap Ibu tetap harus memiliki manfaat bagi banyak orang tanpa harus mengorbankan pendidikan anak-anaknya sendiri. Teorinya sih begitu, meski sampai saat ini karena saya belum jadi Ibu (kecuali Ibu guru) dan masih dalam tahap pencarian bagaimana menjadi Ibu yang berhasil di rumah dan lingkungan.

Karena contohnya juga sudah banyak. Cut Nyak Dien yang dengan gagah berani melawan penjajah, terjun langsung lho itu. Dewi Sartika yang berhasil mendirikan sekolah. Dan tidak melupakan Hajar yang ditinggal bersama dengan Ismail di tengah padang pasir, dimana tumbuhan mau pun hewan aja ga ma hidup disitu. Tapi kemudian bisa menemukan air zam-zam yang menjadi cikal bakal komunitas Mekah pertama kali. Terbayang kalau Hajar dengan manja menolak ketika Ibrahim meninggalkan beliau, mungkin Mekah belum ada. Seorang Ibu bahkan bisa tertulis sebagai tokoh promotor peradaban.

Meski terkadang jadi miris ya kalau melihat KDRT pada perempuan itu masih ada. Yang katanya berperan besar tapi justru karena ada segelintir oknum laki-laki kurang faham, akhirnya menjadi korban. Masalahnya jadi kompleks karena kekerasan itu biasanya bermula dari trauma atau justru kebiasaan yang terbawa. Perlu banyak ngobrol dan baca lagi kalau tentang ini. Hehe.  

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Awal tahun masih penuh resolusi, dari setemeh 'ingin kurus' meski dengan tagline 'diet mulai besok' sampai 'dapat beasiswa ke luar negeri' tapi nilai TOEFL masih bikin miris. Dan yang tidak akan terlewat dari para gadis seperempat abad adalah M.E.N.I.K.A.H. Ibadah sepanjang sisa usia dengan persiapan terpanjang mulai dari perjuangan memperbaiki diri serta mencari orang yang 'pantas' (dan tentunya mau sama kita). Walau kriteria 'pantas' itu perlu dikembalikan kepada Allah, sebagai penentu. 
Tak perlu sikap sok tahu akan masa depan, kalau hanya berdasar pada prasangka atau perasaan.
Menikah ini ternyata urusannya bisa panjang, apalagi jika dihadapi dengan lingkungan yang 'kurang sehat'. Berdasar cerita teman, ada yang sampai pada tingkat stres dengan pertanyaan 'kapan nikah?' dari para tetangga yang lebih garang dari orang tua. Maksudnya justru orang tuanya yang dibuat gerah dengan berbagai sindiran tentang anaknya yang tak kunjung laku. Hiks sedih ya. 
Walau ibadah itu memang perlu disegerakan, tapi sikap terburu-buru juga khawatir mengundang keburukan lain di masa depan.
Kalau jumpa lingkungan dengan tingkat ke-kepo-an dan hasrat mengurusi orang lain yang sangat tinggi, memang membutuhkan usaha ekstra buat tutup telinga dan cuek aja sama komentar orang.  Karena dampak lingkungan itu sepertinya berpengaruh besar. Lingkungan dengan budaya 'tidak mau kalah' akan membentuk karakter demikian pada anggotanya, jika dia tidak punya prinsip yang kuat untuk jadi diri sendiri.

Kembali pada usaha menemukan si do'i. Sebagai manusia yang memiliki ego, kita juga pasti memiliki deretan kriteria tentang pasangan. Walau sebaiknya ketika menentukan kriteria ini juga perlu ngaca diri juga coy. Jangan sampai menyadari bahwa standar kita terlalu tinggi justru saat manusia lain seusia kita sudah berpasangan, sehingga peluang menemukan akan jadi berkurang. Ya walaupun sebenarnya jodoh itu sudah ditentukan. Tapi, biasanya yang namanya jodoh itu sesuai cerminan diri ko. So, yang sering terpesona dengan cerita negeri dongeng mah ya tolong dikondisikan dulu lah bahwa ini realita. Bukan berarti mengajarkan kita untuk asal-asalan, tapi selektif dan 'tampikan' itu adalah hal yang berbeda. You know 'tampikan'? Tampikan adalah kondisi dimana kamu dikasih A nolak karena bla bla bla, disodorin B nolak karena bla bla bla yang lain. Terlalu kaku dengan kriteria dan tidak mau berdamai dengan kekurangan lain. Kalau boleh agak sarkas sih, "ayolah, emang kamu sesempurna apa?" 

Pada akhirnya karena ditolak, si A berpindah ke lain hati karena paksaan dari orang tuanya yang sudah renta misalnya. Ada sebuah perasaan menyesal atau semacam "eh ko dia udah move on sih" dan perasaan lain yang seharusnya tidak diikuti karena itu bukan jadi bagian ranah hidup kita lagi. Lalu ketika kabar pernikahan si A berhembus, ikut kita hembuskan juga kabar "eh dulu si A pernah nembak aku gitu. Tapi aku tolak." Untuk tujuan apa? Supaya orang tau bahwa kita juga pernah laku? Supaya orang tau bahwa kita lebih tinggi dari orang yang berhasil ditaklukkan si A? Pikiran manusia tidak sesederhana itu. Bisa jadi orang malah kasian karena kita hanya terlihat seperti kucing kecil kehujanan di pojokan.
Berhentilah berbuat konyol tanpa pemikiran matang hanya untuk memuaskan ego pribadi. 
Pikirkan juga bagaimana kalau kamu ada di posisi pasangan A, kemudian mendengar kabar itu. Nyamankah? Lagipula,  coba untuk tidak melambungkan perasaan secara berlebihan. Bisa jadi justru si A berpaling karena pasangannya itu memang lebih istimewa. Dan dia tidak sama sekali menyesal ditolak oleh kita. Jadi kalau kita tiba-tiba berkoar demikian, sementara orang justru tahu bahwa kita tidak ada apa-apanya, yaa bayangkan saja sendiri malunya.

Atau kasus sebaliknya, ketika kita tahu bahwa si A yang sudah menikah atau sedang sebar undangan atau masih hanya sebatas kabar angin pernikahan, dulu sempat naksir teman kita. Lalu dengan pedenya, karena menganggap tidak akan menimbulkan perang dunia, maka dengan ringannya kita selipkan obrolan "eh, si A dulu pernah naksir kamu sebenarnya". Ya kalau teman kita bukan tipe orang yang mudah geer. Kalau gara-gara itu ternyata dia jadi kepikiran, menyesal kenapa dulu kodean si A tidak dia tanggapi. Meratapi nasib tidak jadi istri si A yang hari ini keman-mana pakai Fortuner.

Ihh ko nyinyir sih? Pernah kaya gitu ya? Iyaaa banget. Duluuu, jaman belum memikirkan orang lain. Seolah hanya diri sendiri yang hidup di dunia dan hanya hati ini yang harus dijaga. Yang lain ga punya hati atau kalo pun punya ga perlu dijaga juga perasaannya. Jadi, mulai sekarang kalau mau cerita-cerita sampah mulai dipikirkan lagi. Ada manfaatnya ga ya buat diri sendiri atau orang lain. Atau jangan-jangan hanya menabur benih keburukan bagi diri sendirir. #masihbelajar
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sumber : http://www.axltwentynine.com

Lagi wudhu malah nguping dua orang temen yg lagi bahas isi buku. Katanya jodoh itu semacam hadiah. Bonus untuk ketaatan kita menunggu sesuai syariatnya. Dengan syarat, kalau kita niat kita memperbaiki diri lurus untuk mencapai ridho Allah, bukan semata-mata supaya dapat jodoh yang baik. Terus salah satu temen baper. Katanya, nanti aku dapat hadiah ga ya?

Setelah selesai wudhu saya komen "kalau teteh ga dapat hadiah, mungkin teteh jadi hadiah buat orang lain". Seketika dua temen itu diem diiringi rengekan histeris "ahhh teh widya bikin melting". Ya kali sinar matahari musim kemarau.

Terus shalat, masuk kelas, nungguin siswa, ehh ternyata anak2 lagi pada pratek bereneng dan ga dateng. Terus ngelamun sama percakapan singkat tadi. Umur segini ga lepas-lepasnya dari topik jodoh. Disamping keinginan buat sekolah lagi, memuaskan diri dengan masa lajang, atau berjalan melihat indahnya ayat kauniah Allah di belahan bumi lain. Kalimat "inget umur kalau perempuan" rasanya jadi bikin mimpi-mimpi itu harus dikubur. Wait. No. Tepatnya ditunda. Sampai nemu orang yang bisa punya mimpi sama dan mewujudkannya bersama. Idealnya.

Realitanya? Hidup kaya sinetron. Kalau flat ga akan ada yang mau nonton. Rating ga bakal naik kalau alur terlalu monoton.

Ambil kasarnya, rata-rata orang menikah pada umur 25. Jadi mereka punya waktu 25 tahun sebelum bertemu jodohnya. Kalau pake konsep good men are only for good women, katanya jodoh itu semacam cermin diri kita. Sebelum nemu si jodoh, coba flashback masa lalu kita? Udah yakin jadi orang baik? Terus kalo ga baik, kita masih berhak ga sih dapat orang baik?

Beberapa orang dengan lingkungan baik, ditambah pola pengasuhan orang tua yang ciamik tumbuh jadi orang yang tak pernah takut dengan jodoh. Kaum yang yakin bahwa jodohnya akan datang dari kaumnya lagi. Tapi, lagi-lagi itu idealnya.

Realitanya? Film Kiamat Sudah Dekat yang dimainin sama Andre Taulany memang beneran ada lho di dunia nyata. Ternyata beberapa orang baik dikirim bukan untuk semata-mata melahirkan dan meneruskan garis keturunan orang baik. Sebagiannya bertemu dengan orang yang belum sama baiknya. Dengan catatan orang yang belum baik itu punya niatan tulus memperbaiki diri ya.

Si mantan badung yang sedang berusaha jadi lebih baik malah ditakdirkan mendapat sesuatu yang mungkin belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Itu bentuk kasih sayang Allah dan juga amanah bagi si baik untuk menuntun pasangannya sama-sama ke surga yang selevel dengannya. Sebab katanya, karena surga yang bertingkat-tingkat, bisa jadi kita ga berada si surga yang sama dengan orang yang kita cintai. Yang level atas bisa nengok ke level bawah. Tapi, sayangnya bidadari di level atas pastinya juga tetep menang cantik dibanding manusia. Jadi bisa jamin kalo si doi ada di atas tetep mau nengok kita yang ada di bawah? Hiksss.

Jadi ya gitu. Kalau nemu pasangan yang tingkat ilmunya beda. Ga usah dicemooh atau sekadar komen "Ihh ko si a mau sama si b yang ga setingkat gitu ya ilmunya". Kita ga pernah tau perjuangan qiyamullail si b itu kaya gimana. Kita ga pernah tau dalamnya niat si b buat jadi orang yang lebih baik itu kaya gimana.
Bisa jadi Allah memberi si a amanah dan si b hadiah

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Merdeka itu katanya bebas. Bebas menentukan pilihan, berpendapat, dan kebebasan lain yang intinya kaya nuntut hak kita sama lingkungan sekitar. Tapi, perasaan memiliki hak itu kadang malah menggiring kita jadi orang yang 'seenaknya'.

Merdeka dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kadang luput karena biasanya cuma glanced dalam pikiran tapi males aja buat dipikir lebih lanjut. Karena toh orang lain juga melakukan hal yang sama.
Terkadang kesalahan itu jadi terwajarkan karena banyak dilakukan.

  • Merdeka dari pertanyaan basa-basi yg (sedikitnya) bikin orang sakit hati.
Seperti "kapan lulus?", "udah kerja belum?", "kapan nikah?", "udah isi belum?". Kedengarannya sepele ya. Kayanya udah jadi pertanyaan pertama kalo ketemu temen lama. Tapi sebetulnya yg sepele itu malah jadi berdampak besar bagi si korban. Saya bukan tipe orang yang gampang baper sih kalo ditanya tentang kapan nikah misalnya. Hehehe. Tapi dari curhatan teman, ternyata pertanyaan semacam itu malah jadi beban bagi mereka. Kasian kan. Kalo pun ga bisa nyumbang kebahagiaan, seengaknya berusaha tidak jadi penyebab mereka jadi murung. Ga mau kan orang jadi menghindar ketemu kita gara-gara takut ditanya tentang itu.

  • Merdeka dari pernyataan basa-basi yang bikin enek.
Saya mulai menggunakan komen "wahh have fun ya. Semoga selamat sampai tujuan dan kembali dengan selamat" untuk mengganti "oleh-oleh dong" kalo liat orang lagi liburan. Dan mengganti "traktir dong" dengan doa yang (insyaallah) tulus kalo tau ada orang yang lagi ulang tahun. Kedengeran peres ya? Hehe. Emang kenapa kalo pake basa-basi yang lumrah dipake orang? Memang ga apa-apa. Setiap orang punya pilihan. Bagi saya yang ulang tahun itu harusnya dikasih kado, bukan malah suruh traktirin orang. Jadi kita bersyukur atas jatah umurnya yang makin berkurang gitu? Hehe. Terlalu sarkas sih ya itu. Canda.

  • Merdeka dari segala perasaan yang jadi bibit penyakit hati.
Tinggi hati, merasa lebih baik dari orang lain, ingin dipuji, ingin diakui, ingin diberi, iri dengan apa yang orang lain miliki, pamer dengan apa yang kita miliki, dan segala macam perasaan manusiawi yang sering banget nyempil kaya cabe di gigi. Kebanyakan ga kerasa kalo sedang memelihara si rasa yang salah itu.

Selalu mencari pembenaran diri, padahal hati nurani kadang udah negur sendiri.
"Ga boleh iri sama rejeki orang lain" kata si baik. "Ih salah siapa coba dia hobinya posting seolah pamer. Bikin yang lain mupeng. Punya suami ganteng mah umpetin aja. Emang mau suaminya direbut orang" kata si jahat? kadang seolah benar ya. Padahal salah sendiri punya medsos. Udah tau pasti ada negatifnya. Terus masih sok ngambil kerjaan malaikat buat ngejudge orang.


Ya gitu lah pokoknya. Kadang emang susah buat melihat sesuatu dari sisi positifnya. Lebih mudah buat menyalahkan kondisi atau orang lain. 

Jadi sadar aja, seberapa merdeka diri kita? Ternyata diri ini juga masih terjajah oleh perasaan ga etis. Dan bahkan tanpa sadar jadi menjajah orang lain lewat perkataan atau perlakuan.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Merasa lebih cantik, lebih kaya, lebih pintar. Jatohnya? Sombong. It's easy to be categorized.

Pernah ga merasa jadi orang yang lebih sibuk di kantor? Ketika jam istirahat selesai bunyi, si bos langsung aja ngasih seabreg kerjaan tanpa peduli perut yang masih penuh sama makanan yang belum sampa usus halus. Sementara yang lain masih leyeh-leyeh di mushola menikmati sajadah agak empuk tapi sedikit bau karena jarang dilaundry, dengan dalih dzikir dulu bentar. Padahal mah, lagi menikmati sepoi AC sambil nyuri tidur barang 5 menit.

Dan kita kerja dengan gerutuan dan emosi berkecamuk. Kenapa si A santai banget, sementara si aku 'dikerjain' mulu? Apa cuma aku yang kerjanya eucreug (sunda : benar) sampai ga ada yang lain yang bisa nyaingin? Haha. Menghibur diri dikit. Merasa kenapa gaji sama, tapi capenya beda?

Pada awalnya ngerasa ga apa-apa lah. Yang penting kerjaan saya. Perihal orang lain kerjanya asal, yang penting saya memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Meski di tengah, akhirnya goyah, cape sendiri karena yang lain berasa ga bantuin, terus koar di rapat. Dalihnya banyak. Boro-boro dapat penghargaan atau seenggaknya hiburan dan ucapan terima kasih. Intinya cuma satu komen dari si bos "situ ikhlas ga sih kerja sibuk dibanding orang lain?" Jleb banget. Untung aja bosnya ga saklek dan ngebungkus kalimatnya jadi terdengar lebih apik. Walau sebetulnya sindiran itu lebih nusuk dibanding kata frontal.


"Kamu enak. Ga ngalamin kan AC rusak dan kita kaya sauna? Sekalinya ganti, pake kipas angin yang berisiknya bikin pecah konsentrasi"
"Dulu saya pelatihan nginepnya di penginapan biasa, boro-boro deh ada acara rekreasi. Ada doorprise aja udah bersyukur."


Gitu deh. Membanding-bandingkan fasilitas yang didapat pegawai baru dengan apa yang dia dapat pada masanya. Helloowww, kalau mau ditelisik. Harusnya bersyukur lah. Berarti perusahaan tempat situ numpang hidup itu memikirkan kesejahteraan dan kenyamanan pegawainya.
Nyuruh orang lain bersyukur itu ga perlu jadi bikin diri sendiri malah kufur nikmat.

Jadi gitu ya. Coba berkaca diri. Sudah seberapa ikhlas dengan apa yang kita lakukan di tempat kerja. Ikhlas itu tolak ukurnya susah. Diem dan ga cerita sama orang lain tentang kebaikan diri tapi merasa diri sudah lebih baik dari orang lain? Itu sombong juga ga sih? Hehehe.

Merasa lelah itu wajar. Manusiawi ko. Tapi rasanya ga perlu juga jadi menyalahkan orang lain yang terlihat 'lebih santai' karena bisa aja dia hanya pintar menyembunyikan kerepotannya. Karena setiap pekerjaan itu amanah, maka belajar ikhlas menerima amanah.
Katanya amanah itu tidak akan jatuh ke tangan yang salah. Entah karena kita memang dianggap mampu melakukan, atau justru lewat amanah kita jadi belajar.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb