Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.

Saya tulis ini kemarin pagi sekitar jam 9. Tapi baru posting hari ini, karena baru ada koneksi internet. Hehe.



Tidak ada yang istimewa dari angka dua puluh dua. Kecuali deretan dua angka yang sama, dan kedua angka itu adalah angka dua. Biasa saja. Kecuali kalau ada yang mengingat kalau nomor rumah saya adalah dua puluh dua. Atau kalau anda adalah penonton sepakbola dan menghitung jumlah pemain yang ada di lapangan, itu juga dua puluh dua. Dan satu lagi, umur saya hari ini tepat dua puluh dua.

Ya, dengan kata lain saya sedang berulang tahun. Tapi itu tidak penting. Umur yang semakin bertambah mungkin juga merubah pola pikir setiap orang. Kalau dulu, sewaktu kecil atau remaja, hari ulang tahun seolah menjadi hari yang istimewa. Namun paradigma itu ternyata berubah. Hari ulang tahun tak ada bedanya dengan hari lain. Hanya saja mungkin kita akan mengingat bahwa beberapa tahun ke belakang, pada tanggal itu, ada seorang perempuan yang rela berjuang untuk melahirkan kita ke bumi. Dan ada seorang lelaki dan mungkin beberapa kerabat lelaki dan perempuan itu yang menunggu tangisan kita di luar ruang persalinan. Dan kita, si bayi asing yang baru saja menghirup oksigen bumi, setelah sembilan bulan berenang dalam plasenta, mendapat dua orang yang tiba-tiba menyayangi kita. Padahal saya yakin mereka tidak pernah mengenal kita sebelumnya. Maha Suci Allah yang telah menumbuhkan kasih sayang dalam hati sepasang orang tua. Dan dengan tanpa pamrih mereka merawat kita. Melantunkan adzan dan iqomah di kedua telinga kita, mungkin diiringi rasa haru. Menyusui dan menyuapi kita hingga akhirnya kita bisa makan sendiri, dan terkadang makan di luar rumah tanpa mengingat mereka yang sedang menunggu kita hanya karena ingin makan bersama kita. Menemani kita belajar berjalan. Mengangkat  dan menghibur kita dengan kalimat “tuh lihat, kodoknya loncat” saat kita menangis karena jatuh. Meskipun setelah besar, kita berbohong pergi belajar bersama agar bisa keluar rumah untuk bermain. Masih banyak lagi saja ya. Sudah banyak orang yang menulis tentang orang tua, tanpa kita tahu apakah si penulis ternyata sudah bisa berbakti pada orang tuanya atau malah meninggalkan mereka demi karir di kota lain. Saya juga tidak tahu bagaimana indikator birul walidain itu sendiri. Yang pasti setelah dua puluh dua tahun tinggal bersama dan merepotkan Bapak Suharman dan Ibu Sugiarti, saya belum merasa menjadi anak yang berbakti. Belum. Karena saya masih dan sedang berusaha (Semoga tidak menjadi riya).

Tidak ada yang istimewa juga dari rencana hidup saya di umur dua puluh dua. Yang pasti saya ingat dari kecil, hal yang selalu saya ingat dengan umur dua puluh dua adalah lulus kuliah. Dan semoga itu bisa terlaksana. Semoga saya bisa dapat gelar S.Pd sebelum usia saya masuk ke angka dua puluh tiga (Insyaallah). Lainnya tidak ada. Saya bukan tipe orang yang berani bermimpi. Hihi. Saya tidak berani bermimpi untuk memiliki sebuah usaha sendiri di umur dua puluh dua. Saya tidak berani bermimpi untuk bisa menggaji orang di umur dua puluh dua. Saya tidak berani bermimpi untuk bisa sukses di umur dua puluh dua. Jangan mengira kalau sekarang saya sudah bisa melakukan itu semua. Hahaha. Karena hanya seorang motivator yang akan menulis dengan gaya seperti itu. Hihi. Sedangkan saya Cuma mahasiswa (tingkat akhir) biasa kok. Dan ini juga bukan buku bestseller, hanya blog pribadi.
Tahu yang istimewa dari saya? Ahh jangan ditulis disini. Nanti dikira sombong. Biar kalian lihat saja sendiri (ini malah terkesan lebih sombong). Kado terunik di ulang tahun ini adalah tampil Seminar Kimia dadakan dan jadi penampil pertama nanti hari Jumat. Dan lagi-lagi tampil bareng Aang setelah kemarin tampil Simulasi Pembelajaran bareng sahabat gila itu. Kado yang lain adalah tidak mendapat ucapan sama sekali dari orang yang dulu sempat jadi istimewa. Ah mungkin ia sudah lupa. Kalau begitu saya lupakan saja dia.

Alaahh dan sekarang, ketika saya sedang menulis ini, tiba-tiba Ibu saya datang dan mengecup kedua pipi, dilanjutkan dengan kening, dan mengusap kepala saya sambil bilang “Selamat ulang taun teh. Semoga sukses dan bertemu laki-laki yang bertanggung jawab, soleh dan sayang sama teteh dan Mamah.” Tentu saja beliau bilang dalam Bahasa Sunda. Sengaja saya sudah terjemahkan. Amin, Mah. Dan jujur saya tidak terlalu suka ketika orang-orang mendoakan seperti yang Ibu saya doakan terkahir itu. Bukan saya tidak suka didoakan. Tapi isi doa itu malah membuat saya sedih. Aneh? Ah tidak. Saya hanya tidak suka ketika orang-orang mendoakan saya tentang jodoh. Karena saya tidak mau memikirkan masalah itu. Saya lebih senang ketika orang mendoakan kesuksesan, kesehatan, uang yang banyak, perlindungan dari Allah, disayang Allah, atau keberkahan. Teman saya Siwi malah mendoakan semoga saya semakin mahir dalam urusan ranjang. Yang ini paling saya suka. Akhir-akhir ini saya memang kurang tidur (hahaha). Bahkan malam ketika pergantian umur, saya hibernasi dari pulang kuliah. (Saya ngerti ko maksud doa teman saya itu. Emang gila juga dia.)

Cape dari pagi sampe sore nunggu Papah Momo untuk bimbingan Seminar. Dan pulang kehujanan, sendirian, dan dalam kondisi pilek. Tau apa yang saya rasakan waktu di angkot? Dingin, ngantuk, dan tidak bisa leluasa bergerak karena angkotnya penuh. Tau apa yang saya lakukan? Awalnya buka twitter, nimbrung di beberapa obrolan teman yang nongol di timeline, habis itu tidur. Macet soalnya. Saya juga tidak tahu pasti apakah ketika saya tidur, kondisi mulut saya terbuka atau tertutup. Karena ketika saya tidur, hidung saya mampet. Dan kalau hidung sudah mampet, bagaimana mau bernapas? Alhasil ... entahlah. Yang pasti ketika saya bangun, air liur saya tidak menetes kok.  Ah bodo amat gimana itu posisi waktu tidur di angkot kemarin. Yang pasti. Asli. Tersiksa banget. Mau minta jemput ke Bapak biar cepet sampai, malu. Padahal udah beberapa kali bales SMS dari Bapak udah pake kode, bilang masih di kampus, dan udah mau pulang. Udah dikirim tiga kali SMS itu. Tapi masih enggak ngerti. Ya sudahlah. Lagian kalo dijemput juga tetap kehujanan. Meskipun jadi lebih cepat sampai rumah. Jadi curhat.

Ada yang mau ikut doain saya? Boleh. Asal jangan doain masalah jodoh ya. Hmm, boleh sih doain jodoh. Asal doanya gini.

“Berikan Widya jodoh orang soleh (kalo bisa ikhwan tapi preman), bertanggung jawab, sukses, sayang sama Widya dan keluarganya, orang Malang, anak Pertambangan ITB, dan umurnya lebih tua 4-5 taun”

Sip. Apa? Siapa orang itu? Enggak tahu. Saya juga ngarang. Tidak menjurus ke seseorang. Karena setiap kriteria yang saya inginkan itu berasalan. Seperti kenapa orang Malang? Karena saya pengen tinggal disana. Kalau pun tidak menetap, setidaknya tinggal selama seminggu juga boleh. Nah kalau saya dapat jodoh orang Malang, kemungkinan saya akan tinggal disana atau diajak mudik kesana.
Kalau tentang Pertambangan, enggak tahu kenapa. Keren aja. Berasa cowok banget. Kalau masalah ITB, saya pengen suami saya lebih pinter dari saya. Meski sebenarnya tidak menutup kemungkinan kalau orang ITB tidak lebih pintar atau masih banyak orang pintar yang tidak kuliah di ITB. Hmm boleh lah bukan ITB. UGM, UI, atau ITS juga boleh. 

 Kalau umur lebih tua itu supaya dia lebih dewasa, tidak egois, dan kalau kata Mamah sebagai orang Jawa sih bisa ngemong. Kalau yang lain selain yang dijelaskan sih itu standar. Setiap perempuan juga pasti ingin pendamping yang seperti itu.

Oke. Selamat ulang taun, Widya. Semoga cepat lulus dan cepat beli Fortuner. Hahaha
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Sebagian orang mungkin akan bilang kalau saya ‘cablak’. Atau ceplas-ceplos dan ga tau aturan. Doyan komentar, tanpa cari tahu dulu lebih jauh tentang suatu perkara. Kan katanya kalo mahasiswa berpendapat harus berdasarkan bukti dan teori yang mendukung. (haha, ngebetein banget pasti ngobrol sama orang kaya gini). Kalo saya cenderung akan langsung berkomentar begitu melihat suatu permasalahan. Bahkan kadang saya mengomentari sesuatu yang belum terjadi, alias hanya khayalan saya belaka. Tapi saya percaya, apa yang kita bayangin, sebetulnya terjadi di belahan dunia lain, entah pada siapa. Dan tenang saja. Keinginan saya untuk berkomentar hanya akan lancar ketika saya nulis. Jadi, jangan suruh saya untuk memberikan komentar secara lisan. Apalagi di suatu forum resmi dan semua pandangan yang mengarah pada diri kita. Saya bakal gagu. Tanya deh temen saya, apa saya pernah ikut ngomong kalo MUMAS Himpunan? Haha. Meskipun saya sadar itu adalah forum yang disediakan untuk mengungkapkan aspirasi, tapi saya selalu saja merasa ‘takut ditolak’ forum. Dan bagi saya, tidak akan ada yang menolak saya di tulisan.

Hmm, prolog yang panjang. Maksudnya supaya siapa pun yang baca tulisan ini hingga akhir, dia ga akan merasa terintimidasi, depresi, atau parahnya hingga bunuh diri. Oh salah. Maksud saya, dia ga akan merasa kalo apa yang saya tulis ini sepenuhnya benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini hanya opini saya. Dan selagi masih ada orang yang mampu mengambil hikmah dari tulisan orang lain, tanpa melihat siapa yang nulis, tapi apa yang ditulis, berarti masih ada orang bijak di dunia ini.

Oke masuk topik. Haha. Kali ini saya mau nulis tentang fenomena ‘ikhwan’. Saya kasih tanda kutip dulu ya. Kesananya biasa aja ko. Mari samain persepsi dulu. Kalo secara bahasa yang benar, dan yang saya tahu dari teman, ikhwan itu artinya saudara laki-laki. Tapi bagi saya dan (mungkin) beberapa teman ngobrol di kampus, ikhwan itu laki-laki yang soleh. Hmm, kalo kita lihat sekilas, bisa kita umpamakan kalo ustadz itu ikhwan. Tapi kalo preman pasar itu bukan ikhwan. Itu Cuma sekilas lho. Kan kita juga ga tahu kalau ternyata itu preman sebenernya seorang mahasiswa soleh yang lagi nyamar buat penelitian skripsinya. (tuh kan ngayal lagi).

Jujur aja, jaman SD hingga kelas 3 SMP, saya masih ga bisa bedain mana kata yang berarti laki-laki dan mana yang perempuan. Ikhwan atau akhwat ya. Hingga akhirnya waktu kelas 3 SMP, ada seorang teman laki-laki saya yang bernama Ikhwan. Dari situ saya ga pernah kebalik-balik lagi buat ngartiin ikhwan sama akhwat. Meskipun imbasnya, kalo sekarang saya nulisin ikhwan di jejaring sosial, beberapa teman saya akan menyangka (beberapa orang malah menggoda) kalau ikwan yang saya saya maksud itu teman saya jaman SMP. Duhh, padahal maksud saya ya ikhwan yang saya artiin di atas.

Lingkungan kampus saya yang (mungkin juga paling) religius di Bandung memaksa saya untuk tahu dan bergaul dengan para ikhwan ini. Teman-teman seangkatan saya malah jarang yang ikhwan.  Tapi kalo liat angkatan di atas saya, beuhh ampir semua deh kayanya. Nah, dari sini lah saya mulai mengenal dunia ikhwan. Dikit sih. Abis mereka ga mau dideketin lebih jauh. Haha.

Mulai dari panggilan ane-ente yang menurut saya.. emang penting ya pake panggilan itu? Ga bisa pake saya-anda, aku-kamu, gue-elo, urang-maneh, atau aing-sia bahkan (sadis amat ya). Heii, Men. Bangsa kita masih kaya akan bahasa kaleee. Saya juga tau apa dalil yang mengatakan kalau panggilan ini sebenarnya disunahkan oleh Rasul gitu? Atau cuma kepengenan mereka aja? Tapi bagi saya pake panggilan ane-ente itu kaya pake hp Blackberry. Terkesan (sok) eksklusif. Nah kan? Dulu sempet iseng baca sebuah novel. Di novel itu diceritain ada kumpulam orang-orang soleh yang sedang mendiskusikan bagaimana caranya berdakwah di lingkungan kampus yang heterogen. Tercetuslah untuk membuat upaya agar mereka lebih bisa dekat dengan target dakwah mereka dan.. menghilangkan kesan eksklusif. Sedangkan realitanya, justru saya melihat mas-mas ini sedang menanamkan kesan eksklusif. Ga percaya? Bisa jadi, orang-orang di luar perkumpulan anda, enggan berdiskusi atau sekedar bertanya masalah agama pada anda yang ahli agama ini, karena mereka ‘risih’ gaul sama panggilan ane-ente.

Hal lain adalah kebiasaan ... “hey, akhi. Lama tak jumpa. Kaifahaluk?” (terus mereka pelukan). Saya sempet garuk-garuk sendiri liat dua ikhwan ini. Kalo itu adalah ungkapan kasih sayang, tapi menurut saya itu menggelikan. Bagi perkumpulan anda, hal itu mungkin biasa saja (atau bahkan mungkin dianjurkan). Tapi bagi orang-orang di luar perkumpulan anda, itu sama aja kaya ngeliat dua cowok lagi jalan di mall sambil pegangan tangan.

Di luar dua fenomena ‘aneh’ itu sih, kadang saya justru kangen sama sosok ikhwan. Hihi (muna banget ya). Di lingkungan kampus atau temen SMA, ga susah lah nyari imam buat solat berjamaah. Meski harus pake adegan tuduh-tuduhan atau dorong-dorongan dulu segala, yang pasti akhirnya ada yang maju. 

Saya pernah hadir di sebuah reuni, ceritanya kita mau solat maghrib berjamaah. Yang cewek-cewek udah pada ngajakin cowok-cowok nih, dan pergi ambil air wudhu. Masuk ke mesjid, dan nunggu ... Lama amat. Dipanggil lagi deh ampe kita kesel sendiri dan akhirnya masuk seorang temen cowok. Guru saya yang waktu hadir di reuni itu, iseng bilang “ini pada kemana sih anak cowok? dipanggil-panggil dari tadi juga suruh jadi imam, malah ga nongol-nongol”. Temen cowok saya itu dengan polosnya jawab “pada ga mau jadi imam, Bu”. Husnudzonnya saya, wahh ini cowok emang ngerti agama. Takut sama tanggung jawab seorang imam. Tapi suudzonnya saya, deuhh nih cowok-cowok ga hapal surat pendek apa ya. Itu kan hanya pikiran suudzon yang melampaui batas. Haha. Yang paling mungkin adalah mereka malu kalo disuruh baca ayat Al-Qur’an pake suara keras tanpa teknik dan tajwid yang baik.

Jadi kalo disuruh milih antara ikhwan atau cowok yang ga bisa jadi imam solat, saya milih mana? Ya ikhwan lahh. Tapi ikhwan yang ga pake panggilan ane-ente dan ga pake adegan pelukan kaya Teletubbies kalo ketemu ikhwan lainnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Setiap pagi, beliau selalu mendorong roda birunya berkeliling. Hmm, entah hingga daerah mana saja. Yang pasti sekitar jam 7 menuju 7.30, roda itu selalu melewati depan rumah. Tetangga depan rumah saya adalah pelanggan setia penjual bubur itu. Maklum, penghuninya hanya sepasang kakek dan nenek yang mungkin sudah malas untuk repot-repot membuat sarapan. Sesekali saja saya atau adik ikut nimbrung membeli juga. Itu pun kadang, ibu yang membelikannya. Pernah suatu ketika, saya membeli sendiri. Dan, beliau meracik bubur sambil bercerita tentang anaknya yang sedang menempuh bangku kuliah. Dua kali, tiga kali, beliau selalu bercerita hal yang sama. Heyy, saya sudah pernah dengar cerita itu. Batin saya dalam hati tanpa berani bilang langsung. Takut menyinggung perasaannya. Saya akhirnya menceritakan hal itu pada Ibu. Bertanya apakah saat Ibu membeli bubur itu, penjualnya juga selalu bercerita hal yang sama. Ibu tersenyum sambil menjelaskan kalau penjual bubur itu memang selalu menceritakan hal yang sama saat melayani pembeli, meskipun itu pembeli yang sama dengan hari kemarin.
                Kemarin, saya berangkat ke kampus agak siang. Karena memang jadwal kuliah pertama saya pukul 1 siang. Saya duduk tepat di belakang supir angkot jurusan Cijerah-Sederhana yang akan mengantarkan saya hingga Pasteur dan sambung lagi dengan angkot menuju Lembang. Karena jalanan yang padat merayap itu, cukup membuat saya jenuh juga, saya iseng mendengarkan lagu lewat headset. Dan sempat tidak menyadari ketika supir angkot (yang lagi-lagi berusia sekitar 50-an) itu ternyata mengajak saya mengobrol. Awalnya dia bertanya saya hendak kemana. Saya menjawab saya akan melanjutkan dengan angkot Lembang. Soalnya saya kira dia hendak mencari jalan lain untuk mencari jalan yang lebih lancar. Kemudian dia bertanya lagi, apakah saya hendak kuliah atau kerja. Saya jawab lagi kuliah. Disusul dengan beberapa pertanyaan seputar semester berapa, kuliah dimana, jurusan apa, dan persiapan skripsi. Kemudian, dia tiba-tiba bercerita tentang anaknya yang juga sedang kuliah. Waktu itu saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut tentang anaknya itu, karena saya memang harus segera turun dari angkot untuk sambung dengan angkot lain.
                Di angkot Lembang menuju kampus, saya melamunkan supir angkot dan penjual bubur itu. Sekarang saya baru sadar, betapa anak adalah sumber semangat bagi para orang tuanya membanting tulang. Mungkin rasa lelah yang dirasakan penjual bubur itu seketika sirna saat dia bisa membanggakan anaknya yang sedang kuliah. Maka ia selalu menceritakan hal itu pada pembelinya. Bagi sebagian orang, menyekolahkan anaknya hingga bangku kuliah atau bahkan hingga gelar Ph.D mungkin hal yang biasa saja. Tapi bagi supir angkot dan penjual bubur itu, hal tersebut bisa jadi sebuah kebanggan besar dalam hidupnya. “Hanya dengan mendorong gerobak atau di belakang kemudi angkot, saya bisa memberikan harapan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak saya” Itu mungkin yang dipikirkan kedua orang itu. Atau “Meskipun saya seorang supir angkot atau penjual bubur, anak saya bisa memiliki prestasi hingga sampai di bangku kuliah”
                Sebagian anak mungkin risih ketika orang tuanya menceritakan keberhasilan atau prestasi anaknya di depan saudara atau kerabatnya. Anak tersebut pasti bilang “Buat apa sih Bu, Pak, bilang-bilang ke orang-orang. Nanti dikira sombong”. Tapi saya sudah belajar dari kedua orang tadi. Terlepas dari penilaian di mata Allah, bahwa tujuan orang tua melakukan hal tersebut bukan lantaran ia ingin menyombongkan diri. Melainkan ia merasa bangga terhadapa anaknya tersebut.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Saya adalah anak pertama. Keinginan orang tua lagi. Hehe. Maksudnya, menurut Ibu saya sih, kedua orang tua saya menginginkan anak perempuan untuk anak pertama mereka. Meski mereka tidak berani mengucapkan itu sebelum saya lahir. Takut anaknya laki-laki. Barulah mereka jujur satu sama lain, setelah saya benar-benar ada.
                Sebagai anak pertama dan dengan jarak tujuh tahun dengan kelahiran adik, saya merasa kenyang dengan kasih sayang. Terutama kasih sayang seorang ... Bapak. Meski dengan kehidupan kami yang sederhana. Bapak. (eh sumpah lah, kenapa tiba-tiba saya pengen nangis waktu nulis kata terakhir tadi). Pekerjaan beliau menuntutnya untuk tidak bisa libur kecuali libur nasional. Makanya, Cuma saat itu saja beliau bisa ada di rumah berkumpul bersama kami.
                Ada sebuah kebiasaan yang biasa kami lakukan kala tanggal merah pada kalender itu tiba. Hmm, bukan kebiasaan juga sih. Hanya beberapa kali. Tapi cukup membuat saya akan selalu mengingat jejak-jejak perjalanan sederhana yang kami lewati berdua. (heiii, sekarang beneran nangis saya. Hahaha). Waktu itu saya masih SD, sekitar kelas satu atau dua gitu. Adik saya masih sangat bayi untuk bisa diajak jalan-jalan. Jadinya biasanya hanya kami berdua yang jalan-jalan.
                Waktu itu, Idul Adha, kami berdua mengunjungi salah satu sanak saudara di daerah Maleber. Dekat rel kereta. Saya adalah tipe anak yang gampang bosan. Dan pasti saya akan merengut kalau sudah bosan. Ditambah lagi saya ini anak yang pendiam sehingga tidak bisa bermain dengan saudara-saudara yang lain, meski mereka sudah mengajak dengan paksa. Hehe. Waktu itu, beliau (bapak) mengajak saya jalan-jalan di sekitar rumah dan menuju ... stasiun? Stasiun Andir. Bagi yang orang Bandung atau sering melewati daerah Maleber, pasti tidak asing dengan Stasiun yang sekarang tidak lagi beroperasi karena jaraknya dengan jalan yang terlalu dekat.
Pagi di ex Stasiun Andir
                Beliau kemudian mengajak saya naik KRD menuju Cicalengka. Saya yang memang suka dengan kereta, langsung mengiyakan. Meski kami tidak punya kepentingan apa-apa. Sampai di Stasiun Cicalengka, kami hanya makan, dan pulang lagi menuju Stasiun Andir.
                Lain harinya, saya mengajak Bapak untuk melakukan hal serupa. Saya tidak tahu perasaan beliau. Mungkin beliau sebetulnya malas melakukannya lagi. Tapi, beliau mau. Sampai di Stasiun Andir, kami lihat jadwal. Ternyata kereta yang sedang menuju Stasiun Andir adalah kereta menuju Padalarang. Kata Bapak, perjalanan menuju Padalarang pendek. Dan tidak seindah pemandangan perjalanan ke Cicalengka. Saya cemberut lagi. Akhirnya, kami naik juga kereta menuju Padalarang. Tapi dari Padalarang, kami tidak langsung menuju Andir. Tapi ke Cicalengka terlabih dahulu, dan baru menuju Andir. Kalau saya bayangkan sekarang, ko Bapak mau? Haha
                Tidak ada yang istimewa dari KRD yang membawa kami “kekeretaan”. Begitu kami menyebut aktivitas yang mungkin bagi sebagian orang aneh. KRD yang biasa digunakan sebagai trasnportasi orang-orang di sekitar Kota Bandung menuju Kota Bandung-nya, kami jadikan mainan. Kereta itu bukanlah kereta dengan tempat duduk berhadapan seperti kereta pada umumnya. Kereta itu hanya memiliki tempat duduk di kedua sisinya. Dan kosong melongpong di bagian tengah. Tapi jangan bayangkan di bagian tengah itu kita bisa selonjoran atau gelar tikar. Bagian tengah itu akan penuh sesak oleh penumpang dan.. lalu lalang pedagang, pengamen, serta copet mungkin. Kalau kami naik dari Stasiun pertengahan seperti Andir, jangan harap dapat tempat duduk. Tapi kalau naik dari Stasiun ujung seperti Padalarang atau Cicalengka, pilihlah tempat duduk dimana kau suka. Di situlah saya bisa duduk, menghadap jendela, dan melihat-lihat pemandangan sambil sesekali bertanya pada Bapak.
                Kebiasaan ini hendak ditularkan pada adik saya. Setelah dia agak besar, kalau tidak salah saya sudah masuk SMP atau SD kelas enam. Kami bertiga memulai perjalanan dari Stasiun Andir. Dan untungnya kereta saat itu akan menuju Cicalengka. Sehingga kami tidak perlu melakukak double route. Tapi baru saja sampai di Stasiun Cikudapateuh, adik saya minta turun. Katanya keretanya ga nyaman. Banyak pedagang dan pengamen yang bikin dia pusing. Hedehhh. Beda bakat kali ya. Haha. Dan kebiasaan kami pun terhenti sampai di situ. Seiring dengan saya yang beranjak besar dan menemukan teman main baru.
                Waktu itu, perjalanan itu terasa menyenangkan hanya dari sisi anak-anak saya saja. Tapi sekarang, saya merasa itu sebuah bentuk kasih sayang. Meski saya tidak bisa mengingat setiap pemandangan yang dilewati, tapi saya masih bisa melihat hamparan sawah dan gunung kapur dalam ingatan. Meski sekarang saya lupa urutan stasiun yang akan kami lewati (dulu hapal banget). Tapi saya tidak akan lupa untuk menceritakan kisah ini pada anak saya nanti.
                Dan sekarang, saya rindu dengan masa-masa itu. Sampai sekarang pun, saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya tanpa Bapak. Dulu, saya pernah iri sama seorang teman karena ketika dia pulang ke rumah, diam-diam Ayahnya mencium keningnya saat ia tidur. Saya mengutarakan rasa iri saya pada teman itu. Dan tau apa yang dia bilang? “Bapak kamu mungkin ga pernah cium kening kamu. Tapi dia nganter-jemput kamu tiap hari, Wid” Huwaaa. Saya ga bisa bilang apa-apa lagi.
                Kemarin hingga saat ini bahkan, saya masih selalu menyalahkan keadaan saya yang tidak bisa pake motor kalau kondisi darurat sedang menimpa. Tapi kadang saya bersyukur juga dengan kepercayaan yang belum bisa Allah berikan itu. Mungkin Allah sedang memberikan saya waktu plus-plus dengan Bapak. Sebelum saya, si anak sulung perempuan ini diambil seseorang. Sebelum saya benar-benar menemukan imam pengganti beliau. Ya Allah, boleh saya minta imam saya nanti memiliki sikap penyayang, pengertian, dan tanggung jawab seperti beliau? Tapi enggak pake kumis ya. ^^v
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb