Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.


Merdeka itu katanya bebas. Bebas menentukan pilihan, berpendapat, dan kebebasan lain yang intinya kaya nuntut hak kita sama lingkungan sekitar. Tapi, perasaan memiliki hak itu kadang malah menggiring kita jadi orang yang 'seenaknya'.

Merdeka dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang kadang luput karena biasanya cuma glanced dalam pikiran tapi males aja buat dipikir lebih lanjut. Karena toh orang lain juga melakukan hal yang sama.
Terkadang kesalahan itu jadi terwajarkan karena banyak dilakukan.

  • Merdeka dari pertanyaan basa-basi yg (sedikitnya) bikin orang sakit hati.
Seperti "kapan lulus?", "udah kerja belum?", "kapan nikah?", "udah isi belum?". Kedengarannya sepele ya. Kayanya udah jadi pertanyaan pertama kalo ketemu temen lama. Tapi sebetulnya yg sepele itu malah jadi berdampak besar bagi si korban. Saya bukan tipe orang yang gampang baper sih kalo ditanya tentang kapan nikah misalnya. Hehehe. Tapi dari curhatan teman, ternyata pertanyaan semacam itu malah jadi beban bagi mereka. Kasian kan. Kalo pun ga bisa nyumbang kebahagiaan, seengaknya berusaha tidak jadi penyebab mereka jadi murung. Ga mau kan orang jadi menghindar ketemu kita gara-gara takut ditanya tentang itu.

  • Merdeka dari pernyataan basa-basi yang bikin enek.
Saya mulai menggunakan komen "wahh have fun ya. Semoga selamat sampai tujuan dan kembali dengan selamat" untuk mengganti "oleh-oleh dong" kalo liat orang lagi liburan. Dan mengganti "traktir dong" dengan doa yang (insyaallah) tulus kalo tau ada orang yang lagi ulang tahun. Kedengeran peres ya? Hehe. Emang kenapa kalo pake basa-basi yang lumrah dipake orang? Memang ga apa-apa. Setiap orang punya pilihan. Bagi saya yang ulang tahun itu harusnya dikasih kado, bukan malah suruh traktirin orang. Jadi kita bersyukur atas jatah umurnya yang makin berkurang gitu? Hehe. Terlalu sarkas sih ya itu. Canda.

  • Merdeka dari segala perasaan yang jadi bibit penyakit hati.
Tinggi hati, merasa lebih baik dari orang lain, ingin dipuji, ingin diakui, ingin diberi, iri dengan apa yang orang lain miliki, pamer dengan apa yang kita miliki, dan segala macam perasaan manusiawi yang sering banget nyempil kaya cabe di gigi. Kebanyakan ga kerasa kalo sedang memelihara si rasa yang salah itu.

Selalu mencari pembenaran diri, padahal hati nurani kadang udah negur sendiri.
"Ga boleh iri sama rejeki orang lain" kata si baik. "Ih salah siapa coba dia hobinya posting seolah pamer. Bikin yang lain mupeng. Punya suami ganteng mah umpetin aja. Emang mau suaminya direbut orang" kata si jahat? kadang seolah benar ya. Padahal salah sendiri punya medsos. Udah tau pasti ada negatifnya. Terus masih sok ngambil kerjaan malaikat buat ngejudge orang.


Ya gitu lah pokoknya. Kadang emang susah buat melihat sesuatu dari sisi positifnya. Lebih mudah buat menyalahkan kondisi atau orang lain. 

Jadi sadar aja, seberapa merdeka diri kita? Ternyata diri ini juga masih terjajah oleh perasaan ga etis. Dan bahkan tanpa sadar jadi menjajah orang lain lewat perkataan atau perlakuan.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Merasa lebih cantik, lebih kaya, lebih pintar. Jatohnya? Sombong. It's easy to be categorized.

Pernah ga merasa jadi orang yang lebih sibuk di kantor? Ketika jam istirahat selesai bunyi, si bos langsung aja ngasih seabreg kerjaan tanpa peduli perut yang masih penuh sama makanan yang belum sampa usus halus. Sementara yang lain masih leyeh-leyeh di mushola menikmati sajadah agak empuk tapi sedikit bau karena jarang dilaundry, dengan dalih dzikir dulu bentar. Padahal mah, lagi menikmati sepoi AC sambil nyuri tidur barang 5 menit.

Dan kita kerja dengan gerutuan dan emosi berkecamuk. Kenapa si A santai banget, sementara si aku 'dikerjain' mulu? Apa cuma aku yang kerjanya eucreug (sunda : benar) sampai ga ada yang lain yang bisa nyaingin? Haha. Menghibur diri dikit. Merasa kenapa gaji sama, tapi capenya beda?

Pada awalnya ngerasa ga apa-apa lah. Yang penting kerjaan saya. Perihal orang lain kerjanya asal, yang penting saya memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Meski di tengah, akhirnya goyah, cape sendiri karena yang lain berasa ga bantuin, terus koar di rapat. Dalihnya banyak. Boro-boro dapat penghargaan atau seenggaknya hiburan dan ucapan terima kasih. Intinya cuma satu komen dari si bos "situ ikhlas ga sih kerja sibuk dibanding orang lain?" Jleb banget. Untung aja bosnya ga saklek dan ngebungkus kalimatnya jadi terdengar lebih apik. Walau sebetulnya sindiran itu lebih nusuk dibanding kata frontal.


"Kamu enak. Ga ngalamin kan AC rusak dan kita kaya sauna? Sekalinya ganti, pake kipas angin yang berisiknya bikin pecah konsentrasi"
"Dulu saya pelatihan nginepnya di penginapan biasa, boro-boro deh ada acara rekreasi. Ada doorprise aja udah bersyukur."


Gitu deh. Membanding-bandingkan fasilitas yang didapat pegawai baru dengan apa yang dia dapat pada masanya. Helloowww, kalau mau ditelisik. Harusnya bersyukur lah. Berarti perusahaan tempat situ numpang hidup itu memikirkan kesejahteraan dan kenyamanan pegawainya.
Nyuruh orang lain bersyukur itu ga perlu jadi bikin diri sendiri malah kufur nikmat.

Jadi gitu ya. Coba berkaca diri. Sudah seberapa ikhlas dengan apa yang kita lakukan di tempat kerja. Ikhlas itu tolak ukurnya susah. Diem dan ga cerita sama orang lain tentang kebaikan diri tapi merasa diri sudah lebih baik dari orang lain? Itu sombong juga ga sih? Hehehe.

Merasa lelah itu wajar. Manusiawi ko. Tapi rasanya ga perlu juga jadi menyalahkan orang lain yang terlihat 'lebih santai' karena bisa aja dia hanya pintar menyembunyikan kerepotannya. Karena setiap pekerjaan itu amanah, maka belajar ikhlas menerima amanah.
Katanya amanah itu tidak akan jatuh ke tangan yang salah. Entah karena kita memang dianggap mampu melakukan, atau justru lewat amanah kita jadi belajar.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Itu kutipan hadits yang saya sendiri lupa siapa yang meriwayatkannya. Hehe. Tulisan macam apa.

Tapi ada beberapa hal menarik yang akhirnya ingin saya bahas tentang hadits itu dan berkaitan dengan sesuatu yang sedang hits bin kekinian yang alhamdulillah sifatnya baik.

Manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, bersih, baik. Dan beruntung rasanya bagi manusia yang dilahirkan dalam keluarga yang baik, meski tidak menjamin akan mati dalam kondisi baik pula.

Lingkungan. Iya. Pengaruhnya besar.

Lantas apa manusia yang sempat tidak baik tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, hijrah, atau apa itu namanya. Seneng sih ketika banyak orang beramai-ramai mengkampanyekan ini. Penghafal qur'an sekarang ga kalah pamor sama penyanyi papan atas. Onlineshop gamis syari mudah ditemui dibanding yang jualan baju kurang bahan dan jahitan.

Sempet terpikir tentang .... esensi hijrah itu apa?

Saya sendiri bukan orang yang menggaung-gaungkan kata itu dengan selalu menulis dalam hashtag postingan medsos.
Kenapa?

Apa artinya saya tidak berkeinginan memperbaiki diri?

Kembali pada fitrah manusia, apa seorang maling tidak ingin punya pekerjaan yang lebih baik dan lebih mulia?

Beberapa orang, seperti saya, alhamdulillah mendapat lingkungan yang baik dengan teman-teman yang selalu mengingatkan dalam kebaikan. Sementara saya sendiri? Saya justru malu. Seolah saya menjadi duri dalam daging yang terlihat baik dari luar lalu dalamnya? Allah yang telah menutupi aib setiap hambanya pasti lebih tahu.

Tentang hijrah dan tektekbengek tentang memperbaiki diri yang sudah jadi fitrah manusia itu juga jadi banyak penyebabnya.

Beberapa orang mencoba hijrah karena terbawa kawan. Ada juga yang memang mendapat pencerahan sendiri karena pengalaman baik maupun buruk. Meski ada juga niat terselubung yang menurut saya jadi 'rada kurang pas' ... katanya supaya jodohnya baik. Kalau saya mau sewot "helloowww pernah denger ungkapan orang baik untuk orang baik ga? Terus menurut situ Allah menilai baik itu dari sisi mananya? Dari taubat yang baru sekejap terus langsung dapat bonus?"

Meski sebetulnya sah-sah saja dan banyak orang yang baru saja berhijrah lalu dapat jodoh orang yang kapasitas baiknya jauh di atas dia. Meski saya belum sempat tanya apa waktu dia berniat hijrah lillahitaala atau karena ... ya sudah lah.

Perjuangan untuk jadi baik juga memang tak mulus. Belum lagi tentang orang yang merasa sinis dan nyinyir dengan perubahan diri. Apalagi bagi sebagian orang yang pernah merasa disakiti.

Rasanya susah mempercayai kalo orang yang dulu bermaksiat bersama, kini malah jadi sok bijak dan full nasihat.

Rasanya tak perlu mengurusi orang macam ini. Mereka juga tak akan kebagian pahala dari perubahan diri. Soalnya saya pernah mengalaminya sih. Hahaha. Karena sakit hati, semua kebaikan yang ada dalam dirinya jadi tertutup kabut kebencian. Cieee. Jadi tidak bisa objektif dalam menilai.

Tapi sebetulnya kalau dipikir merugi juga. Memelihara benci hanya akan meuai penyakit hati. Karena ternyata hanya diri kita yang menilai begitu. Sementara yang dibenci tetap bahagia dengan kehidupannya dan sama sekali tidak meraa terusik. Orang lain juga tidak jadi ikut membenci.

Jadiiii, yang sedang hijrah istiqomah aja lahhh. Tidak perlu repot memikirkan penilaian orang. Karena penilaian yang paling benar itu hanya dari Allah. Kan Dia yang lebih tahu niat dan usaha kita.
Yang belum (macam si aku)?

Sok atuh segera dijemput yang namanya hidayahnya itu. Jangan sampai lebih cepat dijemput maut. Dan yang pasti mah ... jangan nyinyir sama orang yang lagi jadi baik atau belum nemu jalan buat baik. Saling mendoakan dalam kebaikan aja. Biar Malaikat juga mendoakan yang baik.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sumber : abbiummi.com
Pernahkah anda melihat seorang siswa yang mogok sekolah? Entah karena terjerumus pergaulan remaja atau asik dengan dunia sendirinya lewat bermain games. Atau seorang anak yang memberontak orang tua, pergi dari rumah dengan alasan cinta atau cita-cita yang tak direstui?

Sekilas, anda mungkin jengah melihat ulah mereka yang tak tahu diuntung, menyia-nyiakan kesempatan, waktu muda hanya untuk kesenangan sesaat. Namun, selang beberapa tahun kemudian, anda bisa melihat kehidupan mereka berjalan baik dan kembali normal seperti orang lain pada umumnya. Seperti masa lalu yang telah mereka alami tak berpengaruh pada apa yang mereka jalani saat ini.

Bagi saya itu lah titik kritis. Titik dimana anda begitu merasa terpuruk dan bagi anda, orang di sekitar hanya bisa menyalahkan tanpa bisa memahami kondisi psikologi anda yang butuh dorongan dan dukungan.

Merasa menjadi bagian roda paling bawah, tak terperhatikan, atau justru menjadi pusat perhatian karena ketidakmampuan. Dipandang orang bukan karena prestasi, tapi karena anda melihat sorot prihatin dan iba dalam mata mereka. Pasti lah bukan keadaan yang membuat anda menjadi termotivasi, seperti yang anda harapkan.

Saya percaya bahwa setiap orang akan memiliki titik kritisnya masing-masing. Dan tak ada yang tahu kapan datang. Seperti seorang pedagang yang tidak tahu kapan bangkrut atau seorang pengusaha yang tidak tahu kapan rugi. Sebagian besar mengalaminya pada masa muda. Dan selamatlah anda ketika mendapati titik kritis anda berada pada masa itu. Karena artinya, masih banyak waktu untuk memperbaiki.

Lalu bagaimana bila kondisi itu datang justru ketika teman anda sedang menikmati gelimangan prestasi hasil kerja keras mereka? Sementara anda sedang terseok, mencoba bangun dari keruntuhan yang begitu dramatis. Jatuh dari podium yang tanpa anda sadari, punya pondasi yang rapuh, sehingga mudah roboh saat anda merayakan euphoria kemenangan.

Atau itu cara Allah menegur anda karena kesombongan yang sempat anda miliki. Atau justru Allah sedang membelai lembut anda dengan kasih sayang tanpa batas yang hanya bisa anda miliki kalau anda juga punya sabar yang juga tanpa batas.

Titik kritis bukan satu kondisi mudah untuk dipanjat kembali. Walau kadang beberapa orang tetap tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Mereka bilang bahwa semua orang bisa kembali merangkak, asal memiliki tekad yang kuat. Sementara anda merasa bahwa posisi anda saat ini jauh di bawah yang mereka sangka. Kalau begitu, percayalah kembali bahwa Allah akan mengangkat lebih tinggi lagi seseorang yang telah jatuh dari jurang dibandingkan seseorang yang hanya dijatuhkan ke dasar kolam renang.

Semua orang pernah jatuh. Setiap orang juga memberikan saran ketika anda jatuh. Tidak perlu pesimis dengan saran orang lain yang tidak bekerja pada anda. Karena setiap orang punya cara sendiri untuk bangun. Mungkin anda belum menemukan cara yang tepat. Tetap melangkah ke depan sembari mencari jalan lain. Tak perlu risau dengan kicauan orang. Yang perlu dilakukan hanyalah melakukan yang terbaik dari apa yang anda bisa dan menjadi yang terbaik menurut versi anda sendiri.

Mengutip quotes dari Tere Liye
Biji buah yang dimasukkan ke dalam lubang, kemudian ditimbun tanah, mungkin merasa hidupnya sudah gelap sekali. Sendirian. Untuk esok-lusa, dia akhirnya menyaksikan, tubuhnya tumbuh, membesar, tinggi, kuat, menjulang kemudian bisa menatap sekitar yang begitu indah. Bermanfaat bagi sekelilingnya. 
Begitulah kehidupan kita. Barangsiapa yang merasa merana sekali, seperti dimasukkan dalam lubang gelap masalah kehidupan. Maka, insya Allah, boleh jadi Allah sedang mempersiapkan kita agar jadi pohon yang tinggi menjulang besok lusa. Bermanfaat bagi sekitarnya. - Tere Liye
Lalui saja titik kritis itu. Toh, hanya akan beberapa jenak saja. Seperti seorang remaja yang kehilangan arah kemudian menjadi anak yang membanggakan.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Tulisan ini terbit di hipwee community tanggal 15 Juli 2016. Dapet rekor baru nih di hipwee community, dalam sehari terbit hampir nembus 500 shares. Hihi. Gini aja girang. Soalnya mengingat tulisan sebelumnya mentok di 98 dan ga nambah-nambah lagi kayanya. Tulisan ini copy-paste banget ko sama yang di hipwee, cuma disana plus foto penambah keindahan gitu. Buat yang mau baca versi sana mangga ini linknya. Buat yang mau baca disini aja, juga silahkan.

Belum menikah saat yang lain sudah itu terlihat asing bagi sebagian orang. Padahal kami menganggapnya wajar dan tidak menjadikannya suatu beban. Kami sadar bahwa kehidupan setiap orang beragam. Standar bahagianya pun jadi bermacam-macam. Kalau kebanyakan wanita Indonesia menikah di bawah umur 25, itu hanya karena budaya. Tidak ada aturan tertulis batasan maksimal seorang wanita harus melepas masa lajangnya.

Bagi kami pertanyaan semacam itu menjadi hiburan sekaligus alarm alam. Kami yang menjawab dengan hanya senyuman bukan tidak tahu harus menjawab apa. Kami hanya bingung mulai dari mana harus menjelaskan. Tenang saja. Kami tetap wanita yang akan selalu ingat akan kodratnya. Kami tetap bercita-cita menggenapkan naluri,  menjadi istri juga seorang ibu.

Pergi ke pesta tanpa pasangan memang pilihan kami
Kami senang menerima undangan atau hanya sekadar kabar pernikahan. Kami juga tetap hadir dan turut bahagia. Namun, kedatangan kami yang seorang diri kadang malah mengundang tatapan aneh. Seolah kami adalah badut pesta yang lupa membawa hiasan merah di hidungnya.
Kami hanya mau jadi diri sendiri tanpa perlu terjebak dalam kepura-puraan. Bukan enggan dengan kawan dari lawan jenis. Kami dengan senang hati menerima ajakan, tapi juga tidak mau berpusing ria mencari karena menganggap itu sebuah keharusan. Bagi kami datang dengan orang tua atau teman wanita juga tak masalah. Toh sang pengantin juga tetap senang hati dengan doa dan kehadiran, bukan melihat dengan siapa kami datang.

Kami sadar bahwa pernikahan bukan sekadar hubungan untuk meneruskan garis keturunan
Foto bayi yang lucu dan potret keluarga bahagia bukannya tidak menggelitik kami untuk menyegerakan. Saat kami turut berkomentar betapa lucunya anak pertama kalian, kami juga sedang membayangkan akan seperti apa milik kami nantinya.
Sejatinya pernikahan menjadi ikatan sakral yang hanya akan dipisahkan oleh ajal. Karena itu, seperti yang sudah dilakukan orang-orang, kami juga berhati-hati dalam memutuskan. Kami tak mau kemudian hanya menjadi orang tua yang mengorbankan anak-anak demi mempertahankan ego semata. Kami sedang mempersiapkan diri menjadi orang tua terbaik bagi generasi yang akan lebih baik dari kami nantinya. Tentunya upaya yang kami lakukan akan sia-sia jika kami tak menemukan orang yang juga melakukan persiapan.

Tak perlu risau, kami tetap bisa tampil muda dan segar
Kebebasan kami dari repotnya mengurus tetek bengek urusan rumah tangga membuat kami punya waktu yang lebih leluasa. Kami tak perlu repot mengurus suami pada pagi hari dan bisa mandi dalam bathtub dengan aromaterapi. Saat weekend, kami juga bebas seharian memanjakan diri di salon tanpa perlu ijin siapa pun.
Bukan kami sedang bersorak atas kerepotan pernikahan. Kami hanya ingin kalian sadar bahwa kami tahu kok cara merawat diri dan tampil cantik. Jadi tolong berhenti memberikan tips kecantikan untuk mencari pasangan. Tolong langsung bawakan saja calonnya.

Bukannya pemilih, kami hanya perlu waktu mencari orang asing yang akan diajak berbagi
Tak bisa dipungkiri bahwa laki-laki yang akan mendampingi nanti adalah orang asing pada mulanya. Mereka bukan orang tua atau saudara kandung yang biasa kami ajak bercanda. Kami perlu waktu menyeseuaikan selama pacaran atau bahkan taaruf yang singkat itu. Berbagai perbedaan akan kami pelajari dan kami terus membuka mata dan telinga untuk tahu tentang dia lebih banyak. Karena kami tahu, setelah menikah kami harus menutupnya rapat-rapat agar tak terusik gosip-gosip tetangga.
Pernikahan bukan sekadar berbagi kamar atau lemari bersama. Kami tahu menerima kehadiran orang lain di sebelah saat bangun pagi akan selalu menimbulkan sensasi kaget yang aneh untuk beberapa hari. Ya, mungkin kami juga perlu mencari orang asing dengan ritme dan tempo dengkuran yang bisa menyeimbangi.

Kami akan menikah pada waktunya
Jangan anggap kesendirian kami sebagai bentuk antipati kami pada sebuah hubungan pernikahan. Kami sadar dan tahu betul tentang ibadah untuk menggenapkan setengah agama itu. Kami tetap memikirkan. Kami juga bukan kaum yang memandang sinis pada mereka yang memutuskan menikah dengan mudah. Kami tetap turut bahagia saat melihat kawan merubah statusnya.
Kami hanya perlu waktu yang tidak sama dengan mereka. Berbagai alasan mulai dari karir hingga sekolah lagi bukan sebagai alibi, namun memang itulah kami. Bukankah kita semua diajarkan untuk menghargai setiap ideologi?

Doakan saja

Kami tetap akan menghargai berbagai guyonan untuk cepat menikah. Kami hanya tidak ingin dipandang kasihan. Akan lebih baik kalimat pertanyaan “kapan menikah?” diganti dengan doa “mudah-mudahan cepat menikah ya”. Itu akan terdengar lebih menyejukkan dan lebih bisa kami terima.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb