Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.

Bahagia. Apa sih definisinya? Kayanya jadi tergantung kondisi. Bahagia adalah sehat bagi yang sakit, waktu luang bagi yang sibuk, serta berbagai keinginan manusia yang tanpa batas. Hari ini naik transportasi umum, esok ingin beli motor. Sudah terbeli motor, nabung untuk beli mobil. Tak pernah puas.

Setiap hari bumi disibukkan dengan manusia-manusia yang katanya mencari nafkah untuk membahagiakan diri dan keluarga, tapi terkadang lupa akan esensi bahagia itu sendiri. Tidak sedikit orang yang malah mendapat tekanan dan depresi dari pekerjaan. Belum lagi orang tua yang katanya banting tulang demi masa depan anaknya justru malah mengorbankan fase perkembangan anaknya. Serta fenomena sebaliknya yang sudah jadi kebiasaan dan mendapat kewajaran.

Seharusnya manusia bertanya dulu, tujuan dari bekerja itu untuk apa? Karena beberapa orang justru tidak merasakan adanya peningkatan kebahagiaan dari hasil jerih payah yang mereka dapatkan.

Hedonic treadmill

Istilah lama sih tapi kebanyakan orang mengelak sedang terkena sindrom itu. Tentang peningkatan materi yang kita dapat namun tidak sebanding dengan kebahagiaan yang kita rasakan. Stagnan. Seperti menaikkan kecepatan treadmill tapi tetap diam di tempat. Jika kemarin jalan-jalan hanya tamasya keliling kota, lalu hari ini bisa keliling dunia, namun rasanya tetap sama saja, itu indikasinya. Mungkin sebagian orang tidak menyadari karena peningkatan kualitas hidupnya juga naik secara bertahap, bukan orang yang kaya raya mendadak. Tapi ketika hal ini tidak diimbangi dengan syukur yang juga meningkat secara bertahap, maka kualitas syukur kita tetap akan di bawah.

Kalau kita mau menurunkan ego, menerima definisi bahwa bahagia hanyalah serangkaian permainan hormon serta emosi dalam tubuh yang mengakibatkan perasaan nyaman dan mungkin disertai sedikit senyum atau tawa. Maka seharusnya kebahagiaan itu tidak bisa dibandingkan, karena rasanya sama. Hanya standarnya saja yang berbeda. Karena frekuensi kehidupan setiap manusia juga akan berbeda.

Jadi, jika ada sebagian orang yang menyandarkan kebahagiaan pada materi. Atau mungkin kita tidak mengakui itu. Tapi masih keukeuh dengan lembur setiap hari demi sebuh gawai baru, kendaraaan terkini, atau rumah yang lebih besar. Seharusnya setelah kita mendapatkan apa yang kita inginkan, maka kebahagiaan kita pun akan bertambah. Seharusnya. Jika tidak?

Maka, bukan itu esensi bahagia. Karena bahagia adalah seberapa besar rasa syukur kita dengan apa yang kita miliki saat ini. Bukan menyandarkan pada cara bahagia orang lain. Apalagi menyandarkan pada apa yang belum kita punya. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Resah. Bukan hanya milik Payung Teduh saja. Hehehe. Setiap orang punya keresahan. Dan masing-masing punya cara menyelesaikan. Entah hanya melupakan atau justru memang mencari solusi. Dan saya memilih untuk menuliskan saja dulu. Bingung coyy kalau mau membawa perubahan mulai dari mana. Karena ini kasusnya jadi global dan melibatkan banyak pihak serta membutuhkan 'power' penguasa.

Just FYI, sekarang saya lagi mengajar di salah satu Bimbel di Kota Bandung. Saat jam istirahat saya dan salah satu teman berniat mencari sesuatu yang bisa kita makan, tanpa sengaja menemukan beberapa sampah yang berserakan. Teman saya itu kemudian berkomentar "Pengen sih ya mungutin, tapi bingung buang dimana. Hahaha" Salah juga sih kita juga menyerah amat ya sama kondisi. Tapi dari kasus sampah itu teman itu jadi bahas "Eh jadi di sekolah kita belajar apa ya? Ko buang sampah aja masih banyak yang sembarangan?"

Jadi mikir. Dapat apa aja ya selama di sekolah? Yang paling manfaat sih kimia karena terpakai sampai dunia kerja. Tentang buang sampah? Ada sih di PKN jaman SD sekalian tentang jika ada seorang nenek yang akan menyebrang, apa yang kamu lakukan? Meski sampai sekarang, lupa lho udah belum ya nyeberangin seorang nenek? Entah karena jarang ketemu nenek atau karena jangankan menolong nenek, nyeberang aja masih minta tolong. Hee

Sorenya ngajar lima orang murid. Yang dua diantaranya adalah siswa salah satu SMA negeri. Mereka satu sekolah dan satu kelas, jadi wajar kalau akrab dibanding 3 teman lain yang memang karena perempuan yang cenderung lebih diam juga karena mereka dari sekolah yang berbeda. 

Di tengah pelajaran, ketika mereka mencatat, salah satu siswa nanya "Ka, SPP sekolah itu buat apa?" 

Dijawablah sesederhana mungkin "Ya buat beli keperluan sekolah alat tulis atau event-event intern sekolah"

Lalu dia lanjutin "Jadi bukan buat bayar gaji guru?" Di situ saya udah merasa deg-degan. Ko arahnya aneh ya.

Saya jawablah karena mereka belajar di sekolah negeri "Ya bukanlah. Yang gaji guru kalian mah pemerintah"

Terus si anak nerusin obrolannya ke temennya itu, tapi masih bisa saya dengar "Oh berarti kita emang harus hormat sih ya"

???

Entah apa yang ada dalam fikiran mereka. Mudah-mudahan ini cuma suudzon saya doang. Kenapa saya berfikir "Jadi kalau kalian yang bayar, bisa seenaknya dan ga kalian hormati?"

Rasanya pengen langsung nasehatin saat itu juga. Pengen bilang kalau rejeki itu bukan ditentukan oleh siapa yang memberi kita gaji. Tapi, jadi banyak pertimbangan. Pengen cari analogi yang lebih bisa mereka terima sebagai anak SMA kelas X. Selain itu, disitu ada 3 murid lain dengan karakter berbeda dari si anak yang nanya ini. Oke. Tahan sampai bisa ngobrol empat mata.

Dua kejadian di hari yang bersamaan itu fix jadi bikin sok mikir tentang masa depan pendidikan Indonesia. Baru ngeuh seberapa terpuruknya sistem pendidikan ini ketika sudah terjun langsung dan melihat subjek pembelajar yang macam ini.

Beberapa hari berselang, teman saya yang seorang guru di salah satu SD Negeri memposting hasil screenshot dari status FB seorang siswanya. Isinya, sy sendiri sampai tak tega menuliskan. Anak itu mengumpat, menyebutkan nama teman saya itu yang diakhiri dengan cacian menggunakan nama binatang. Dan teman saya itu menceritakan bahwa si anak ini kesal karena dilarang bermain bola oleh teman saya itu. Parahnya lagi, si pelaku ternyata menggunakan akun temannya. Hhhh. Kalau saya ada di posisi teman saya itu, rasanya sudah ingin menyerah saja. Hahaha. Tapi teman saya ini memang orang yang cukup tough sehingga kita saya beri komentar semangat dia hanya membalas "jangar  (pusing), Wid" tanpa mengesankan bahwa ia terluka. Meski sebetulnya kita tidak tahu bagaimana perasaan ia sebenarnya.

Si pelaku ini masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tanpa mengesampingkan bahwa setiap orang punya kesempatan berubah, namun ini menunjukkan bahwa level pendidikan dasar saja sudah tersusupi hal macam ini. Serta melihat latar belakang siswa teman saya yang berbeda dengan kasus siswa saya yang secara status ekonomi di atas gurunya, saya jadi mengubah kesimpulan bahwa apa mereka lakukan ini bukan bergantung dari seberapa besar kekuatan materi yang mereka punya, namun ada hal lain yang lebih berpengaruh. Karena saya pernah menemukan seorang siswa yang berasal dari keluarga terpandang justru sangat menghargai gurunya. Dan saya menemukan jawaban ketika bertemu orang tuanya. Sepasang orang tua yang tetap bersahaja walau bisa saja dengan mudah ia tampil petantang-petenteng, dengan sabar dan serius mendengarkan penjelasan saya selaku wali kelasnya tentang perkembangan anaknya.

Saya ga bilang kalau output pendidikan jaman old macam angkatan saya sudah berhasil memberikan kontribusi yang baik bagi umat. Bisa jadi kami juga sebetulnya produk gagal yang meneruskan kegagalan sebelumnya.

Tapi, gini.

Dunia ini adalah tempat berbuat salah. Tapi bukan tempat untuk selalu mengulang kesalahan.

Cerita tadi terlihat sederhana bagi sebagian orang. Bahkan beberapa orang cenderung apatis sama hal yang tidak bisa diukur oleh angka kebenaran. Bahkan sekarang malah terkesan makin blur, ga ada sekat pemisah antara benar dan salah. Banyak orang yang akhirnya menetapkan grey area seperti gradasi yang kontinu. Dan kebanyakan orang berada di warna pertengahan untuk mencari aman. Tidak terlihat terlalu salah serta menghindari terlihat sok alim. Akhlak, budi pekerti, moral, karakter. Entah lah istilah yang tepat apa. Seolah menjadi terlupakan karena batasan kewajaran jadi makin runyam. "Wajar lah buang sampah sembarangan, tempat sampahnya aja ga ada". Semua sibuk mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukan atas dalih pemafhuman.

Esensi pendidikan tentang akhlak jadi terlupakan di tengah gempuran dan desakan hafalan dan rumus yang mungkin akan mereka lupakan setelah ujian. Padahal banyak ulama terdahulu yang ilmunya tidak diragukan lagi, belajar tentang adab lebih lama dibanding tentang ilmu.

Kadang setiap siswa atau bahkan kita saat sekolah dulu pernah bertanya, untuk apa rumus matematika yang kita pelajari ini? Apa akan terpakai saat terjun ke dunia kerja nanti? Bisa jadi memang tidak. Bahkan banyak yang akhirnya bekerja tidak sesuai dengan titel. Lalu apa yang kita dapat dari sekolah? Seharusnya ada. Kalau saja kita mau sedikit peka, konsep sekolah adalah laboratorium kehidupan harusnya memang tertanam.

Dan yang perlu diingat juga adalah anak memasuki sekolah setelah ia menerima pendidikan pertamanya. Setiap anak telah memiliki dasar karakter yang dibawa sebagai hasil pengasuhan orang tua dan lingkungan. Sedangkan sekolah bertugas mengembangkan karakter bawaan tersebut. Sekolah bukan ketok magic yang bisa diharapkan akan mengubah karakter anak yang dititipkan beberapa tahun saja. Itu pun jika dihitung hanya beberapa jam dalam sehari. Sisanya? Maka, perlu difikir ulang ketika menegur anak dengan kalimat "kamu udah disekolahin masih aja nakal".

Jika mau berpikir secara global lagi, pendidikan juga bukan tentang peran sekolah dan orang tua. Ada pengaruh yang lebih besar yang tidak bisa lagi mendapat pengawasan dari sekolah mau pun orang tua. Berbagai tontonan tanpa bobot tuntunan yang lagi-lagi lolos uji kelayakan untuk tayang. Belum lagi kebebasan akses media sosial yang memudahkan anak menemukan sosok 'idola' yang tak patut. Penggunaan media sosial yang tak bijak hingga menjadikannya sebagai ajang unjuk diri namun bukan dari sisi prestasi. PR kita bersama.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Ada semacam penyesalan karena tidak mengenal Islam dengan baik sejak dulu. Sok ikut-ikutan ikut bergerak membela hak kaum perempuan padahal ga ngerti sejarah feminisme itu seperti apa. Jadi ilfil sama diri sendiri. Sok pinter padahal isinya salah. Merasa terjajah padahal ga ada sama sekali yang mau menjajah. Kalau pun ada yang terjajah, itu bukan saya. Sehingga saya merasa menjadi korban dari arus yang memaksa saya membela sesuatu yang tidak saya fahami awal mulanya. Sedangkan saya, sebagai seorang muslim, sekarang sadar dan merasa bahwa agama ini menempatkan wanita pada tempat yang mulia. 
Jadi, kenapa kita harus berjuang untuk sesuatu yang sudah diatur sesuai dengan apa yang kita butuhkan.

Butuhkan ya. Bukan kita inginkan. Kadang ego manusia jadi melampaui batas dan sok tahu tentang apa yang terbaik untuk dirinya. Ia lupa pada Pencipta yang tentunya lebih tahu tentang apa yang Ia ciptakan ketimbang ciptaanya sendiri. Mungkin perempuan juga perlu menekan ego untuk memahahi bagaimana Islam menempatkan perempuan sesuai dengan perannya. Ya peran. Perempuan memiliki peran.

Isu yang paling sering diangkat para pegiat feminisme pasti tentang kesetaraan gender. Perempuan harus memiliki kesempatan berperan yang sama seperti laki-laki. Perempuan memiliki peran, tapi pastinya beda sama laki-laki. Sama halnya ketika pelajaran olahraga, apa kita jadi merasa tidak diberikan kesempatan yang sama karena guru memiliki standar penilaian jarak renang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan? Ya beda lah. Itu kan tentang kekuatan fisik. Nah maka dari itu kita harusnya menyadari bahwa kita memang diciptakan berbeda dengan mereka, bahkan susunan kromosomnya pun sudah berbeda. Nahh, kadang celah ini juga yang akhirnya menaikkan egoisme penganut kesetaraan untuk menggaungkan "janganlah perbedaan ini menjadi penghalang untuk berkarya". 

Kita diciptakan berbeda dengan kaum adam bukan sama sekali untuk membuktikan siapa yang lebih baik di atas siapa. Karena pada dasarnya kita hidup untuk saling melengkapi dan tidak bisa hidup tanpa salah satu. Lalu apa kita hidup hanya sebagai pelengkap? Big NO. 
Justru kita hidup untuk mengisi celah yang tidak dapat diisi oleh laki-laki hebat mana pun.

Laki-laki mana yang diberi kesempatan untuk mengandung dan melahirkan? Lahh itu kan kodrat. Sepertinya kita juga perlu mensyukuri bahwa kodrat itu mengandung suatu keistimewaan. Laki-laki mana yang diciptakan sepaket dengan sebauh organ yang disebut rahim yang berarti kasih sayang, yang menjadi cikal mengapa perempuan lebih mudah tersentuh dibanding laki-laki? Laki-laki mana yang tahan membopong badan yang melarnya melebihi berat badan bayi saat keluar? Laki-laki mana yang tahan dengan rasa sakit seperti berpuluh tulang dipatahkan dalam waktu bersamaan ketika melahirkan? Kalau ada perempuan yang menolak kodrat ini atas dasar mengapa hanya perempuan yang harus menanggung sakit? Mungkin ia lupa tentang keistimewaan dirinya atas kodrat yang diberikan yang pastinya akan disertai dengan kekuatan menanggung sakitnya.

Mengapa seorang Rasul yang laki-laki justru menyebutkan Ibu sampai tiga kali ketika ditanya kepada siapa kita perlu berbuat baik? Karena memang menjadi Ibu bukan tugas sepele. Kalau bekerja bertanggung jawab pada atasan yang memberi pekerjaan, maka menjadi Ibu langsung bertanggungjawab pada Yang Memberikan kita keturunan. Pernah denger kan kalau Ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Makanya suka heran ketika sama Ibu yang membuang anaknya, kalau ga niat ngurusnya, ya ga usah iseng bikin dong. Heee.

Terus peran perempuan hanya sebatas Ibu yang mengurus anak di rumah? Justru ketika menyadari peran Ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak, harusnya kita juga tahu bahwa Ibu juga yang akan memberikan pengaruh besar bagi anak. Maka persiapan yang dilakukan selama masih sendiri perlu dioptimalkan, ga salah juga kan ketika Mba Dian Sastro pernah kasih quote yang banyak diaamiini oleh para wanita tentang seorang wanita perlu berpendidikan tinggi karena mengingat ia akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Lalu apa lantas pendidikan tinggi itu hanya berhenti sebagai madrasah anak-anak? Saya rasa juga tidak. Setiap Ibu tetap harus memiliki manfaat bagi banyak orang tanpa harus mengorbankan pendidikan anak-anaknya sendiri. Teorinya sih begitu, meski sampai saat ini karena saya belum jadi Ibu (kecuali Ibu guru) dan masih dalam tahap pencarian bagaimana menjadi Ibu yang berhasil di rumah dan lingkungan.

Karena contohnya juga sudah banyak. Cut Nyak Dien yang dengan gagah berani melawan penjajah, terjun langsung lho itu. Dewi Sartika yang berhasil mendirikan sekolah. Dan tidak melupakan Hajar yang ditinggal bersama dengan Ismail di tengah padang pasir, dimana tumbuhan mau pun hewan aja ga ma hidup disitu. Tapi kemudian bisa menemukan air zam-zam yang menjadi cikal bakal komunitas Mekah pertama kali. Terbayang kalau Hajar dengan manja menolak ketika Ibrahim meninggalkan beliau, mungkin Mekah belum ada. Seorang Ibu bahkan bisa tertulis sebagai tokoh promotor peradaban.

Meski terkadang jadi miris ya kalau melihat KDRT pada perempuan itu masih ada. Yang katanya berperan besar tapi justru karena ada segelintir oknum laki-laki kurang faham, akhirnya menjadi korban. Masalahnya jadi kompleks karena kekerasan itu biasanya bermula dari trauma atau justru kebiasaan yang terbawa. Perlu banyak ngobrol dan baca lagi kalau tentang ini. Hehe.  

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Awal tahun masih penuh resolusi, dari setemeh 'ingin kurus' meski dengan tagline 'diet mulai besok' sampai 'dapat beasiswa ke luar negeri' tapi nilai TOEFL masih bikin miris. Dan yang tidak akan terlewat dari para gadis seperempat abad adalah M.E.N.I.K.A.H. Ibadah sepanjang sisa usia dengan persiapan terpanjang mulai dari perjuangan memperbaiki diri serta mencari orang yang 'pantas' (dan tentunya mau sama kita). Walau kriteria 'pantas' itu perlu dikembalikan kepada Allah, sebagai penentu. 
Tak perlu sikap sok tahu akan masa depan, kalau hanya berdasar pada prasangka atau perasaan.
Menikah ini ternyata urusannya bisa panjang, apalagi jika dihadapi dengan lingkungan yang 'kurang sehat'. Berdasar cerita teman, ada yang sampai pada tingkat stres dengan pertanyaan 'kapan nikah?' dari para tetangga yang lebih garang dari orang tua. Maksudnya justru orang tuanya yang dibuat gerah dengan berbagai sindiran tentang anaknya yang tak kunjung laku. Hiks sedih ya. 
Walau ibadah itu memang perlu disegerakan, tapi sikap terburu-buru juga khawatir mengundang keburukan lain di masa depan.
Kalau jumpa lingkungan dengan tingkat ke-kepo-an dan hasrat mengurusi orang lain yang sangat tinggi, memang membutuhkan usaha ekstra buat tutup telinga dan cuek aja sama komentar orang.  Karena dampak lingkungan itu sepertinya berpengaruh besar. Lingkungan dengan budaya 'tidak mau kalah' akan membentuk karakter demikian pada anggotanya, jika dia tidak punya prinsip yang kuat untuk jadi diri sendiri.

Kembali pada usaha menemukan si do'i. Sebagai manusia yang memiliki ego, kita juga pasti memiliki deretan kriteria tentang pasangan. Walau sebaiknya ketika menentukan kriteria ini juga perlu ngaca diri juga coy. Jangan sampai menyadari bahwa standar kita terlalu tinggi justru saat manusia lain seusia kita sudah berpasangan, sehingga peluang menemukan akan jadi berkurang. Ya walaupun sebenarnya jodoh itu sudah ditentukan. Tapi, biasanya yang namanya jodoh itu sesuai cerminan diri ko. So, yang sering terpesona dengan cerita negeri dongeng mah ya tolong dikondisikan dulu lah bahwa ini realita. Bukan berarti mengajarkan kita untuk asal-asalan, tapi selektif dan 'tampikan' itu adalah hal yang berbeda. You know 'tampikan'? Tampikan adalah kondisi dimana kamu dikasih A nolak karena bla bla bla, disodorin B nolak karena bla bla bla yang lain. Terlalu kaku dengan kriteria dan tidak mau berdamai dengan kekurangan lain. Kalau boleh agak sarkas sih, "ayolah, emang kamu sesempurna apa?" 

Pada akhirnya karena ditolak, si A berpindah ke lain hati karena paksaan dari orang tuanya yang sudah renta misalnya. Ada sebuah perasaan menyesal atau semacam "eh ko dia udah move on sih" dan perasaan lain yang seharusnya tidak diikuti karena itu bukan jadi bagian ranah hidup kita lagi. Lalu ketika kabar pernikahan si A berhembus, ikut kita hembuskan juga kabar "eh dulu si A pernah nembak aku gitu. Tapi aku tolak." Untuk tujuan apa? Supaya orang tau bahwa kita juga pernah laku? Supaya orang tau bahwa kita lebih tinggi dari orang yang berhasil ditaklukkan si A? Pikiran manusia tidak sesederhana itu. Bisa jadi orang malah kasian karena kita hanya terlihat seperti kucing kecil kehujanan di pojokan.
Berhentilah berbuat konyol tanpa pemikiran matang hanya untuk memuaskan ego pribadi. 
Pikirkan juga bagaimana kalau kamu ada di posisi pasangan A, kemudian mendengar kabar itu. Nyamankah? Lagipula,  coba untuk tidak melambungkan perasaan secara berlebihan. Bisa jadi justru si A berpaling karena pasangannya itu memang lebih istimewa. Dan dia tidak sama sekali menyesal ditolak oleh kita. Jadi kalau kita tiba-tiba berkoar demikian, sementara orang justru tahu bahwa kita tidak ada apa-apanya, yaa bayangkan saja sendiri malunya.

Atau kasus sebaliknya, ketika kita tahu bahwa si A yang sudah menikah atau sedang sebar undangan atau masih hanya sebatas kabar angin pernikahan, dulu sempat naksir teman kita. Lalu dengan pedenya, karena menganggap tidak akan menimbulkan perang dunia, maka dengan ringannya kita selipkan obrolan "eh, si A dulu pernah naksir kamu sebenarnya". Ya kalau teman kita bukan tipe orang yang mudah geer. Kalau gara-gara itu ternyata dia jadi kepikiran, menyesal kenapa dulu kodean si A tidak dia tanggapi. Meratapi nasib tidak jadi istri si A yang hari ini keman-mana pakai Fortuner.

Ihh ko nyinyir sih? Pernah kaya gitu ya? Iyaaa banget. Duluuu, jaman belum memikirkan orang lain. Seolah hanya diri sendiri yang hidup di dunia dan hanya hati ini yang harus dijaga. Yang lain ga punya hati atau kalo pun punya ga perlu dijaga juga perasaannya. Jadi, mulai sekarang kalau mau cerita-cerita sampah mulai dipikirkan lagi. Ada manfaatnya ga ya buat diri sendiri atau orang lain. Atau jangan-jangan hanya menabur benih keburukan bagi diri sendirir. #masihbelajar
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sumber : http://www.axltwentynine.com

Lagi wudhu malah nguping dua orang temen yg lagi bahas isi buku. Katanya jodoh itu semacam hadiah. Bonus untuk ketaatan kita menunggu sesuai syariatnya. Dengan syarat, kalau kita niat kita memperbaiki diri lurus untuk mencapai ridho Allah, bukan semata-mata supaya dapat jodoh yang baik. Terus salah satu temen baper. Katanya, nanti aku dapat hadiah ga ya?

Setelah selesai wudhu saya komen "kalau teteh ga dapat hadiah, mungkin teteh jadi hadiah buat orang lain". Seketika dua temen itu diem diiringi rengekan histeris "ahhh teh widya bikin melting". Ya kali sinar matahari musim kemarau.

Terus shalat, masuk kelas, nungguin siswa, ehh ternyata anak2 lagi pada pratek bereneng dan ga dateng. Terus ngelamun sama percakapan singkat tadi. Umur segini ga lepas-lepasnya dari topik jodoh. Disamping keinginan buat sekolah lagi, memuaskan diri dengan masa lajang, atau berjalan melihat indahnya ayat kauniah Allah di belahan bumi lain. Kalimat "inget umur kalau perempuan" rasanya jadi bikin mimpi-mimpi itu harus dikubur. Wait. No. Tepatnya ditunda. Sampai nemu orang yang bisa punya mimpi sama dan mewujudkannya bersama. Idealnya.

Realitanya? Hidup kaya sinetron. Kalau flat ga akan ada yang mau nonton. Rating ga bakal naik kalau alur terlalu monoton.

Ambil kasarnya, rata-rata orang menikah pada umur 25. Jadi mereka punya waktu 25 tahun sebelum bertemu jodohnya. Kalau pake konsep good men are only for good women, katanya jodoh itu semacam cermin diri kita. Sebelum nemu si jodoh, coba flashback masa lalu kita? Udah yakin jadi orang baik? Terus kalo ga baik, kita masih berhak ga sih dapat orang baik?

Beberapa orang dengan lingkungan baik, ditambah pola pengasuhan orang tua yang ciamik tumbuh jadi orang yang tak pernah takut dengan jodoh. Kaum yang yakin bahwa jodohnya akan datang dari kaumnya lagi. Tapi, lagi-lagi itu idealnya.

Realitanya? Film Kiamat Sudah Dekat yang dimainin sama Andre Taulany memang beneran ada lho di dunia nyata. Ternyata beberapa orang baik dikirim bukan untuk semata-mata melahirkan dan meneruskan garis keturunan orang baik. Sebagiannya bertemu dengan orang yang belum sama baiknya. Dengan catatan orang yang belum baik itu punya niatan tulus memperbaiki diri ya.

Si mantan badung yang sedang berusaha jadi lebih baik malah ditakdirkan mendapat sesuatu yang mungkin belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Itu bentuk kasih sayang Allah dan juga amanah bagi si baik untuk menuntun pasangannya sama-sama ke surga yang selevel dengannya. Sebab katanya, karena surga yang bertingkat-tingkat, bisa jadi kita ga berada si surga yang sama dengan orang yang kita cintai. Yang level atas bisa nengok ke level bawah. Tapi, sayangnya bidadari di level atas pastinya juga tetep menang cantik dibanding manusia. Jadi bisa jamin kalo si doi ada di atas tetep mau nengok kita yang ada di bawah? Hiksss.

Jadi ya gitu. Kalau nemu pasangan yang tingkat ilmunya beda. Ga usah dicemooh atau sekadar komen "Ihh ko si a mau sama si b yang ga setingkat gitu ya ilmunya". Kita ga pernah tau perjuangan qiyamullail si b itu kaya gimana. Kita ga pernah tau dalamnya niat si b buat jadi orang yang lebih baik itu kaya gimana.
Bisa jadi Allah memberi si a amanah dan si b hadiah

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb