Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.



Hidup itu tentang pilihan. Dan setiap pilihan itu kadang mengundang kedilematisan. Basi ya. Tapi ungkapan itu tidak akan jadi basi selama manusia masih hidup.Karena pilihan hanya ada di dunia. Ketika sudah mati, barulah manusia tidak memiliki pilihan. Kecuali mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia pilih ketika hidup.

Memilih untuk jadi orang baik atau orang jahat. Memilih rizki halal atau rizki haram. Memilih jodoh baik atau jodoh kurang baik. Ehh malah nyerempet kesitu. Maaf kebiasaan. Mehh

Bermula dari renungan saya ketika tanpa sengaja membaca status facebook salah satu teman KKN saya. Anggya namanya. Dia mengungkapkan yang kira-kira isinya tentang kegundahan dia untuk memilih lulus cepat atau banyak pengalaman selama kuliah. Idealnya sih hampir semua orang pasti memilih untuk banyak pengalaman (dan juga lulus cepat). Tapi apa praktisnya semudah itu?

Saya bukan tipe orang yang suka dengan tantangan atau mencoba hal baru. Masalah beli miuman atau jajan saja. Biasanya saya akan beli jus strawberry atau jajan ke warung yang sama. Saya selalu takut kecewa ketika membeli minuman atau jajan ke warung yang berbeda. Untung saja sekarang, di bangku kuliah, saya punya teman yang selalu penasaran terhadap sesuatu hal. Salah satunya makanan baru misalnya. Jadinya saya jadi terbawa. Haha. Itu baru masalah sepele. Karena hidup bukan hanya tentang memilih jajanan.

Hmm, kalau ada diantara kalian yang pernah membaca bio twitter saya, mungkin akan sedikit tau tentang keinginan saya yang satu ini. Iya. Saya sedang mencoba untuk menyukai tantangan. Tanpa memikirkan apa hasilnya. Yang penting proses yang saya jalani alias pengalaman yang saya peroleh. Lagi-lagi pengalaman.

Saya ambil contoh masalah pemilihan tempat KKN. Saya sengaja memilih tempat terdekat dengan rumah. Bisa dibilang KKN di rumah sih. Karena memang satu kelurahan dengan rumah saya. Hanya saja yang menjadi fokus program waktu itu bukan di RW lingkungan rumah. Karena waktu itu program yang diusung tentang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang memang tidak ada di lingkungan rumah.

Sebagian orang akan bilang “Ihh apaan sih. KKN di rumah. Enggak ada pengalamannya?”. Lagi-lagi lagi tentang pengalaman. Saya mengiyakan. Memang mungkin pengalaman yang diperoleh dari KKN di sekitar rumah jauh jauh lebih sedikit ketimbang KKN di tempat jauh atau pedalaman. Tapi saya mau membela diri. Tahu apa yang membuat saya memilih tempat KKN dekat? Alasan pertama, memang itu tuntutan (bukan tuntutan juga sih. Lebih tepatnya saran yang sangat diharapkan untuk dikabulkan) orang tua. Alasan mereka supaya kalau dekat, biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit. Meski setelah dijalani, rasanya sama saja. Haha. Alasan kedua, memang datang dari saya. Saya adalah tipe orang yang mudah home sick. Jangankan untuk berminggu-minggu di tempat orang lain. Baru saja satu malam menginap di kosan atau rumah teman, pasti ada satu kali saya bilang “kangen rumah ih”. Alasan ketiga yang cukup jadi alibi saya ketika orang mencibir saya adalah pengalaman itu bisa diperoleh dari lingkungan sekitar kita. Kenapa harus jauh-jauh ingin mengabdi pada daerah orang lain, sementara masih ada masalah yang harus dibenahi di daerah sendiri?

Saya tidak tahu apa ketiga alasan yang saya sebut di atas itu bisa dibenarkan, bisa diterima, atau memang hanya sekedar alasan dari seorang yang takut akan tantangan.

Contoh lain yang sedang saya hadapi saat ini adalah masalah pemilihan tempat PPL. Ada yang belum tahu PPL. Singkatnya itu seperti kuliah praktek atau kuliah lapangan bagi para calon guru. Jadi ngapain? Ya ngajar. Di sekolah-sekolah yang sudah ditentukan oleh kampus. Dan kita memilih ingin masuk sekolah mana. Beberapa teman sengaja memilih sekolah bagus. Sekolah favorit. Sekolah elit. Atau bahkan sekolah internasional. Kalau sekolah internasional, saya bukan tidak tertarik. Tapi kemampuan bahasa inggris saya memang kurang baik. Jadi tidak mungkin saya memilih sekolah internasional.

Lagi-lagi dalam hal ini saya memilih sekolah tempat saya menimba ilmu saat SMA. Bukan sekolah favorit. Letaknya di pinggiran kota. Nun jauh dari peradaban sana. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Lulusan setiap tahun yang bisa masuk PTN favorit bisa dihitung jari. Meskipun lulusannya di UPI (kampus saya) hampir ada di setiap jurusan. Ya berarti lumayan juga ya. Bukannya saya sedang menjelek-jelekkan almamater saya sendiri. Karena memang begitu lah kenyatannya. Meski dalam hati kecil saya, ada keinginan untuk memajukan sekolah saya itu. Lagi-lagi entah kenapa. Saya terlanjur jatuh cinta pada SMA saya itu. Perasaan jatuh cinta ini tidak saya rasakan pada SMP atau SD saya (SD lumayan cinta juga sih. Lebih tepatnya bangga, karena SD saya termasuk sekolah favorit. Hehe).

Oke. Kembali ke masalah kedilematisan. Tentu saja sebagian orang akan mengatakan seperti ketika saya memilih tempat KKN. Meski ada juga beberapa orang yang mengatakan saya beruntung. Mungkin juga mereka itu seperti saya, takut tantangan. Entahlah. Alasan mengapa saya memilih SMA sendiri hampir sama dengan alasan saya memilih tempat KKN. Tapi justru sekarang lebih dilema ketimbang pemilihan tempat KKN. Masalahnya ini PPL. Jalur yang akan sangat berhubungan dengan masa depan saya yang calon guru ini.

Ketika saya bercerita pada orang tua saya, Ibu saya malah berpendapat kalau saya kurang bersyukur pada kemudahan-kemudahan yang Allah beri. Mengingat pemilihan tempat PPL dan KKN itu penuh perjuangan. Lagi-lagi saya mengiyakan apa yang Ibu saya bilang. Saya berpikir ulang kalau semua ini adalah keputusan Allah yang pasti sudah jadi yang terbaik untuk saya menurut Allah. Bisa jadi ketika saya ditempatkan di sekolah lain, saya malah tidak bisa melewatinya. Meski kadang saya berpikir lagi, apakah tantangan itu ditemukan atau diciptakan? Nah ini yang belum saya tahu jawabannya. Saya sempat berpikir kalau pola pikir orang tua saya itu seperti saya. Takut akan tantangan. Takut mencoba hal baru. Selalu memilih jalan termudah. Saya bukan sedang menyalahkan orang tua saya. Karena mungkin sebagian besar orang tua akan punya punya pikiran ‘kolot’ yang sama. Setidaknya ini cukup menjadi pelajaran untuk saya ke depannya agar menjadi orang tua yang lebih baik untuk anak-anak saya. Menanamkan keberanian terhadap anak-anak saya.

Contoh lain dari pola pikir orang tua saya dalam masalah pemilihan sekolah. Orang tua saya berpikir bahwa sekolah dimana saja ya sama saja. Mau di sekolah favorit atau sekolah ecek-ecek, tergantung muridnya. Itu juga yang mungkin akhirnya membuat saya masuk sekolah yang biasa-biasa saja, meskipun nilai saya waktu itu cukup untuk masuk sekolah favorit. Kalau masalah ini, ketakutan orang tua saya bukan pada takut kalau saya tidak bisa mengikuti pelajaran. Tapi lebih kepada ketakutan tidak bisa membiayai biaya sekolah di sekola favorit. Ckck. Yang ini ironis ya. Meski akhirnya setelah saya, yang dulu punya prestasi yang cukup tapi bersekolah di sekolah biasa-biasa saja, hanya bisa masuk kampus yang biasa-biasa saja. Tidak sesuai dengan ekspekatsi orang tua. 

Akhirnya saya pula yang bisa merubah pola pikir orang tua saya itu. Saya katakan bahwa sekolah dimana saja sama saja itu memang betul. Selama yang bersekolah adalah anak yang juga biasa-biasa saja. Tapi ketika anak itu punya potensi dan semangat yang tinggi, hal ini akan jadi kesulitan ketika anak itu bersekolah di sekolah yang biasa-biasa saja. Dengan persaingan yang biasa-biasa saja, anak tersebut akan mudah puas dengan apa yang dia raih. Tolak ukur anak tersebut akan rendah mengingat pesaingnya adalah anak yang biasa-biasa saja. Ketika anak itu melihat ke luar dan bersaing dengan murid sekolah favorit, jadilah seperti saya. Yang saya syukuri adalah akhirnya orang tua saya mengerti. Mereka juga akhirnya berniat menyekolahkan adik saya di sekolah favorit sekarang. Baru niat orang tua. Tergantung nilai adik saya juga. Tapi setidaknya saya senang ketika bisa merubah pola pikir itu. Bukan karena saya merasa puas bisa mengalahkan orang tua sendiri. Tapi karena saya menyayangi orang tua saya, keluarga saya, dan diri saya sendiri.

Panjang banget ceritanya. Hehe. Itu sepanggal kisah saya tentang pilihan. Juga tentang tantangan.

Yang saya rasakan saat tingkat akhir ini ya menyesal. Menyesal tidak bisa memanfaatkan kesempatan saat jadi mahasiswa untuk bisa ke luar negeri gratis, jadi ketua salah satu organisasi, memperluas jaringan, dan ... masih banyak lagi.

Lagi-lagi tentang pilihan. Hidup itu memang pilihan. Pilihan untuk jadi orang yang biasa atau luar biasa. Tapi memang tidak akan ada orang yang luar biasa tanpa orang yang biasa. Heu. Jadi ini pembelaan saya ketika saya memang dihasilkan untuk jadi orang yang biasa saja? Mungkin. Tapi yang masih saya syukuri adalah kesadaran diri saya kalau saya adalah orang yang biasa dan bertekad bahwa saya akan mendidik anak-anak dan murid-murid yang akan jadi orang yang luar biasa.

Biarkan saya, ketika saya menjadi seorang Ibu, mengelus kepala anak-anak saya sambil berkata “Nak, Ibumu ini hanya orang biasa. Merasa dididik dengan cara yang gagal. Tapi jangan pula salahkan orang yang mendidik Ibumu ini. Karena dengan didikannya, Ibumu ini jadi punya masa depan yang sesuai dengan cita-cita Ibu. Menjadi seorang guru. Cara termudah untuk bisa bermanfaat untuk orang lain. Nak, kamu harus jadi yang lebih baik ya. Wujudkan berbagai cita-cita Ibu yang tidak bisa Ibu raih. Jadi dokter. Jadi pramuagri. Jadi penulis. Atau pilih lah apa pun cita-cita sesuai keinginanmu selama itu masih bisa memberi manfaat untuk orang lain.”

Dan ketika saya menjadi seorang guru, saya juga akan mengatakan hal yang sama. Ahh, rasanya jadi dilema juga. Mengingat nasihat guru tempo hari. Saat saya masih menjadi seorang murid. Semua guru menginginkan murid-muridnya agar menjadi yang lebih baik dibanding dirinya. Dulu saya anggap itu hanya nasihat biasa. Sekarang ketika saya akan menjadi guru, saya baru tahu kalau nasihat itu memang betul-betul beliau sampaikan dari hati. Disertai doa juga.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Euheum. Tulisan ini tidak memiliki niat apa-apa. Tidak untuk membuka kenangan atau cerita lama lagi. Karena kenangan ya hanya kenangan. Tidak bisa terulang. Kalau terulang, bukan kenangan namanya. Tapi lebih tepat disebut masa depan yang tertunda. Lewat tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan terima kasih pada seseorang yang dulu sempat membuat saya merasa istimewa dan diistemewakan. Namanya ... sebutin jangan? Inisialnya saja ya. Kalau teman SMA saya pasti tahu siapa dia. Sebut saja dia Bunga. Eh salah. Sebut saja dia D.

D itu teman dekat saya. Pacar? Ya bisa dibilang begitu. Dulu tapi. Sekarang kita sudah punya kehidupan masing-masing. Dan yang saya syukuri, kami masih berhubungan baik. Karena tidak sedikit orang yang pernah pacaran kemudian putus, malah jadi musuhan. Mungkin karena kami saling menghormati prinsip hidup kami masing-masing sekarang. Kapan ceritanya? oh ya. Kita mulai
Cerita ini konyol sih. Ada lucunya. Ada romantisnya. Saya terpikir untuk menuliskan cerita ini karena tulisan Pidi Baiq tentang Dilan. Saya juga jadi ingin menceritakan bahwa saya juga pernah mengalami cerita lucu nan romantis. Hahaha

Pernah ingat tidak, dulu ada undian dari salah satu merk snack, sebut saja Taro. Haha. Disebut. Hadiahnya macam-macam. Dan cara untuk mengikuti undian itu adalah mengumpulkan poin yang ada dalam kemasan snack itu. Kalau tidak salah sekarang juga ada lagi.

 Waktu itu saya belum punya handphone. D sudah. Kebayang tidak anak SMA pacaran, tapi yang satu belum punya handphone. Kadang D nelpon ke rumah lewat telpon umum di depan rumahnya. Itu pun kadang sambil diganggu tetangga-tetangga dia yang lewat yang juga teman SMA saya sih. Sebel juga kadang. Malah kadang saya harus ngobrol dulu sama temennya kalau temannya itu lagi usil. Atau mendengarkan teriakan-teriakan yang bikin saya ketawa-ketawa. 

Nah, dari situ lah  saya pengen punya handphone (kasihan banget kan saya). Karena tidak mungkin meminta pada orang tua, makanya saya berinisiatif untuk mengikuti undian itu, karena salah satu hadiahnya handphone. Jangan ketawa lho. Ini kan sedih. Setiap hari di sekolah saya pasti beli snack itu. Kebayang tidak sih bagaimana bosennya saya. Saya juga tidak tahu apakah D memperhatikan saya atau gimana, yang jelas dia memang pernah tanya “Kok perasaan jajannya itu mulu sih dari kemaren?” Saya Cuma bisa nyengir kuda. Kemudian dia nebak lagi “jangan-jangan ngumpulin poinnya pengen dapet handphone”. Saya nyengir lagi.

Beberapa hari kemudian (kalau tidak salah), setelah pelajaran sekolah selesai. Ketika saya membereskan buku ke dalam tas, teman dekat saya yang beda kelas (kelas dia sudah selesai duluan) teriak-teriak sambil menggedor-gedor kaca kelas saya menyuruh saya keluar kelas dan menghampirinya. Waktu saya keluar kelas dan ... hahaha. Saya melihat D dan teman-teman saya yang lain sedang asyik makan Taro .. sekardus. Saya melongo. Tidak tahu apa ini yang namanya romatis atau apa lah. Sikap D biasa saja. Dia tidak membungkus atau memberi pita pada kardusnya. Bahkan D dan teman-temannya sudah memakannya sebelum saya datang. D hanya menyuruh saya untuk ikut makan dan mewanti-wanti teman-temannya untuk tidak membuang bungkus Taro itu. Saya juga sempat membagi beberapa bungkus kepada teman sekelas dan meminta mereka untuk makan di tempat dan tidak membuang bungkusnya. Hihi. 


Setelah semua  bungkusnya terkumpul, saya lupa apa bungkus Taro itu dibawa saya atau dibawa D ya. Yang jelas, malam harinya D datang. Membantu saya memotong bagian kemasan yang harus dipotong untuk dikirimkan. Menghitung jumlah poin dari tiap kemasan yang ternyata cukup untuk ‘harga sebuah handphone’. Dan besoknya mengirimkannya. Meskipun tidak menang. Tapi akhirnya dari situ, orang tua saya akhirnya membelikan saya handphone juga. Mungkin karena mereka melihat kami asyik memotong-motong sampah yang awalnya mereka kira untuk tugas seni rupa.

Cerita sekardus Taro itu tidak akan pernah saya lupa dari seorang D. Romantis? Tidak juga sih. Tapi yaa seperti itu lah. Lucu. Unik. Sama seperti ketika saya meminta mushaf untuk hadiah ulang taun. Eh ternyata benar. Dia belikan. Dan sekarang masih saya baca. Semoga amalnya juga mengalir untuk yang memberikannya ya.

Sekali lagi, tulisan ini tidak memiliki niat apa-apa. Hanya ingin berbagi cerita dan mengucapkan terima kasih pada yang memberi cerita.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kenapa sih kegiatan mengomentari sesuatu itu begitu menyenangkan? Hahaha. Saya juga tidak tahu pasti. Yang jelas saya sudah pernah kena batunya gara-gara mengomentari salah satu teman. Tapi itu tidak membuat hobi saya itu jadi berhenti. Hehe. Saya juga tidak tahu pasti apa kegiatan saya  ini termasuk ghibah atau bukan. Dengan dalih tidak menyebutkan nama, saya mengambil kesimpulan sih tidak. Lagipula ketika saya mengomentari memang tidak menjurus pada seseorang tertentu saja. Biasanya saya menemukan fenomena itu pada beberapa orang atau situasi, dan barulah saya gabungkan dan sedikit ditambah dramatisasi. Atau saya melihat kejadian itu menimpa orang lewat alias orang yang tidak saya kenal. Tujuan saya pun bukan ingin melecehkan atau mencemarkan nama baik. Sekali lagi karena saya tidak pernah menyebutkan ‘nama’ orang tersebut. Kecuali bila memang ada orang yang merasa tersindir, ya itu sih balik ke diri orang itu. Mau disikapi seperti apa bila dikomentari. Apa mau marah, introspeksi, atau Cuma ketawa dan menganggap itu hanya sebagai sebuah lelucon. (lagi-lagi) prolog yang kepanjangan.

Tulisan ini berawal dari obrolan saya dengan adik saya di sela-sela menonton Astro Boy di hari Minggu. Memang tidak ada hubungannya dengan robot itu sih. Hanya sebagai latar waktu. Hihi. Diawali ketika saya dan adik saya ngobrol tentang ikhwan yang suka cipika-cipiki. Dulu saya pernah nulis juga tentang oknum ikhwan yang bikin saya ilfil itu. Berlanjut membayangkan dan melihat fenomena yang ada saat ini.

Yang ini tentang fenomena kaum pria (kisaran umur remaja sampai hampir dewasa) yang mengagumi girlband, khususnya girlband asal Indonesia yang personilnya satu desa. Tahu kan? Buat saya pria yang kagum sama artis wanita itu wajar. Tapi kalau sampai tidak absen di setiap penampilan idolanya itu sambil teriak “Oi oi oi” dan bawa apa sih namanya? Sticklight? Eh apa ya? Saya tidak tahu namanya. Itu lho yang mirip sedotan tapi bisa nyala. Sejujurnya saya akan langsung menolak bila tahu kalau suami saya ternyata ... salah satu dari mereka. Bukan karena saya cemburu. Alaahh, saya malah lebih rela kalau calon suami saya itu mengidolakan Anggun C Sasmi deh.

Yang satu lagi adalah hal yang bikin saya ifil di peringkat pertama. Aduhh, gimana bilangnya ya. Sebenarnya banyak perempuan suka dengan lelaki tipe seperti ini. Saya juga suka. Tapi tergantung bagaimana pria ini mendapatkan ‘itu’. Apa coba? Badan kekar. Jujur saya suka (banget malah). Melting deh kalau liat mereka lagi telanjang dada terus baru naik dari kolam renang. Makanya sekarang saya menghindari kolam renang umum. Selain memang saya lebih kesulitan berenang karena harus memakai kerudung dsb, pemandangan ini malah menambah deretan dosa saya. Meskipun ada juga beberapa wanita yang malah tidak menyukai atau malah risih sama cowok berbadan kekar. Tapi tahu apa yang buat saya ilfil? Gym. Tempat itu bisa jadi surga buat saya. Tapi saya langsung ilfil kalau tahu cowok kekar itu mendapatkan ke’kekar’annya hasil gym. Enggak tahu kenapa sih. Bagi saya cowok yang datang ke gym itu sama saja seperti cowok datang ke salon sambil bilang “Mba, akika mau spa bisa keles ya di sindang”. Ngebayanginnya aja saya udah merinding. Iya, saya tahu itu beda. Tapi memang ada hal yang tidak bisa dijelaskan logika. Ini hanya masalah selera. Buat saya kenapa sih cowok itu ga olahraga sendiri aja. Jogging kek. Berenang kek. Atau apa gitu yang bisa membentuk badan. Tapi tidak pake gym. 

Mengomentari orang lain juga tidak membuat saya merasa bahwa diri saya itu sempurna. Saya juga merasa ada beberapa kekurangan dalam diri saya yang membuat saya sendiri jadi ilfil. Salah satunya tahi lalat yang ada di pipi  ... kiri saya. Kata mantan pacar saya dulu sih, itu bikin saya jadi mirip Revalina S Temat. Hee. Dulu sih saya senyum-senyum aja. Menghargai kegombalan dia (maaf ya D*i). Meskipun dalam hati saya bilang “Duh, udah enggak sih menghibur. Saya ngerasa kok ini bikin saya tambah jelek”.

Yang lain lagi adalah susunan gigi saya yang berantakan. Yang membuat saya jadi kurang pede kalau ketawa dan enggak pernah ngeliatin gigi kalau difoto. Hoo.

Dan yang saya ingat lagi adalah tentang hobi saya tidur. Hanya beberapa orang mungkin yang mengetahui dan menyadari hobi saya ini. Kalau hari Senin tiba, pasti saya akan terlihat lesu dan selalu menguap di kampus. Beberapa teman pasti akan bertanya “Kenapa wid? Begadang ya?” Saya Cuma bisa “hehe”. Padahal bila itu terjadi adalah artinya kemungkinan besar saya tidak tidur siang pada hari Minggu. Haha. Mungkin ada satu orang yang menyadari hobi saya yang satu ini. Karena dia yang paling sering nelpon ke rumah lah, makanya dia tahu hobi saya itu. Teman SMA saya ini sampai menjuluki saya Hamtaro gara-gara kalau dia nelpon ke rumah, pasti orang rumah bilang saya sedang tidur. Haha.

Hal lain dari dampak hobi saya itu adalah saya jadi sering ketiduran di angkot. Meski sudah diwanti-wanti orang tua untuk tidak tidur di angkot, ya namanya juga ngantuk. Tetap saja ketiduran. Waktu ada iklan salah satu permen yang bikin baju kepompong, saya ketawa dan membersitkan ide untuk membuat baju serupa. Tapi sayangnya saya naik angkot, bukan naik bis yang bisa ngegantungin baju itu. Soalnya anda tahu bagaimana ekspresi anda ketika anda tertidur di angkot? Tidak tahu kan? Say juga begitu. Yang paling saya khawatirkan adalah apa mulut saya terbuka atau tertutup ketika tidur. Makanya sebisa mungkin saya akan mencari posisi seaman mungkin kalau mata saya sudah tidak bisa diajak kompromi di angkot.
Tapi .....

Bagaimana pun diri kita, yang jelas apa pun dalam diri kita itu yang membuat kita menjadi unik. Berbeda dengan yang lain. Lagipula ketika saya bertemu dengan pria dengan salah satu kriteria yang bikin saya ilfil itu, juga tidak akan membuat saya kemudian jadi menjauh dan tidak mau kenal. Dan semoga bila anda, yang membaca ini, merasa tersindir atau tersinggung, tidak memutuskan tali silaturahmi dan menjauh dari saya. Karena bagi saya itu lah anda. Dan begini lah saya. Kita tidak perlu mengubah diri kita supaya SEMUA ORANG menyukai. Karena hal itu tidak mungkin. Akan ada saja orang yang bersikap negatif terhadap kita. Itu lah dunia. Rasul aja yang begitu baik dan sempurna, tetap ada yang tidak menyukai. Karena saya yakin, berapa pun jumlah kekurangan yang anda miliki, pasti akan ada satu laki-laki atau perempuan yang akan memandang anda sebagai orang yang istimewa. Hmm, jodoh anda? Bukan. Maksud saya,ya, setidaknya bapak atau ibu anda. Haha.
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments


Sejak Kang Emil yang jadi Walikota Bandung, saya jadi sedikit tahu tentang program-program yang sedang dilakukan atau direncanakan oleh Kota Bandung. Punya wakil rakyat yang update di social media memang jadi kelebihan tersendiri. Yang saya rasakan adalah jadi lebih dekat dengan warganya. Warganya jadi kenal sosok pemimpinnya dan itu tadi, tahu program-program yang sedang dilakukan. Karena menurut saya social media itu jadi wahana publikasi yang baik. Malah bila dibandingkan dengan halaman web biasa. Meskipun bukan warga Bandung, tapi aktifitas saya sehari-hari yang kebanyakan dihabiskan di Kota Bandung (kuliah di UPI) malah membuat saya merasa lebih memiliki Kota Bandung dibanding Kota Cimahi. Maklum juga tinggal di daerah perbatasan antara dua pemerintahan itu susah-susah gampang. Secara administratif saya warga Cimahi. Tapi secara jarak, rumah saya malah lebih dekat ke pusat Kota Bandung.

Balik ke Kang Emil. Beliau ini masih muda. Lulusan ITB. Jurusan apa ya? Planologi gitu? Hmm enggak tahu. Lupa. Lagian memang tidak ada hubungan yang pasti juga sih antara almamater dengan kemampuan memimpin. Lagi pengen aja bilang kalau beliau dulu kuliah di ITB. Hmm, boleh enggak sih sebenernya kalau saya nulis kaya gini di blog? Takut saya kena Undang-Undang ITE. Hmm, anggap boleh aja ya.

Kehadiran Kang Emil di jejaring sosial memang jadi mempermudah warganya untuk tahu banyak tentang beliau. Dan yang pasti jadi bisa menyampaikan keluhan atau aspirasinya dengan lebih mudah. Meskipun ada juga yang malah jadi disalahartikan. Karena ada juga warga yang kehilangan anaknya lapor ke walikota. Saya ketawa aja. Apa warga itu nyuruh Kang Emil buat nyari anaknya? Tapi Kang Emil memberikan respon kok. Dia tembuskan laporan warga itu ke pihak terkait yang bisa membantu orang itu. Ada juga yang  memberikan laporan perihal kesulitan ia untuk move on dari mantan pacar. Deuhhh, yang ini kerjaan orang iseng kali ya. Dan saya juga lupa apa Kang Emil memberi respon atau tidak. Tapi kalau Kang Emil sedang tidak sibuk dan ternyata merangkap psikolog cinta sih, sepertinya direspon.

Nah itu lah Kang Emil. Dari twitter beliau juga saya jadi tahu kalau Kota Bandung sekarang sedang menjalankan program untuk memasang wifi di area pubilk. Saya kurang tahu apa namanya. Yang jelas terobosannya bagus. Padahal Cimahi sebagai Cyber City saja tidak pernah terdengar program semacam ini. Atau mungkin saya tidak tahu. Program ini disambut baik oleh masyarakat. Apalagi targetnya adalah taman kota. Program semacam ini memang sebenarnya sudah banyak diterapkan di luar sana sejak dulu. Tapi kalau di Indonesia, saya kurang tahu. Masalahnya kebutuhan masyarakat Indonesia akan koneksi internet juga meningkat aakhir-akhir ini saja. Itu pun karena maraknya berbagai macam jejaring sosial. Karena sepertinya orang Indonesia lebih sering mengakses itu dibandingkan mempergunakannya untuk urusan pendidikan atau pekerjaan. Tapi tak apa lah Di luar untuk apa kepentingan setiap masyarakat yang akan menggunakan wifi di taman kota nantinya, ada sisi positif dari program ini. Yaitu mengajak masyarakat untuk kembali mengunjungi taman kota. Padahal kita tahu bahwa jaman dulu, taman kota itu jadi primadona untuk tempat berlibur di akhir pekan. Kalau sekarang taman kota malah dibiarkan tidak terurus dan malah banyak yang jadi menimbulkan kesan angker. Mungkin karena sampah dimana-mana dan pepohonan yang terlalu rimbun. Bisa juga karena yang ngurus juga malas untuk mengurus karena kurang pengunjung. Ya setiap orang kan juga membutuhkan apresiasi atas apa yang sudah dilakukannya. Dan bagi yang ngurus taman, orang datang berkunjung ke taman yang sudah ia urus bisa jadi bentuk penghargaan itu. Dan tentu saja ikut merawat dan menjaga taman ya. Jangan buang sampah sembarangan atau melakukan aksi vandalisme. Program ini juga mendorong masyarakat untuk hidup sehat. Tahu kan kalau di taman itu banyak tanaman yang bisa jadi sumber oksigen. Nah, menolong orang untuk hidup sehat juga sebuah kebaikan dan insyaallah ada pahalanya.

Dan ternyata program wifi ini tidak hanya untuk di taman kota. Tapi juga di tempat ibadah. ??? Kalau yang ini malah jadi mengundang kontroversi hati. Termasuk hati saya. Saya juga kurang sependapat kalau wifi ini dipasang di tempat ibadah. Hmm, apa hal ini akan mengundang orang untuk datang ke tempat ibadah? Bisa saja. Tapi kalau niatnya untuk menggunakan akses internet dan bukan untuk beribadah? Wahh saya kurang paham bagaimana hukumnya. Ada juga yang berasalan kalau semua itu tergantung niat dari umat yang datang ke tempat ibadah itu. Membantu orang untuk meluruskan niat itu sebuah kebaikan. Tapi kalau membiarkan niat orang berbelok atau yang lebih parah membelokkan niat seseorang? Saya rasa itu bukan kebaikan. Bisa saja kan ada orang yang memiliki niat awal dzikir atau ngaji di mesjid. Ketika buka handphone dan tanpa sengaja menyalakan koneksi wifi, kemudian menyadari ada koneksi internet, dan malah cek timeline atau searching jawaban tugas sekolah. Searching jawaban tugas sekolah sebenarnya juga baik. Tapi (lagi-lagi) saya tidak tahu mana yang lebih disukai Allah antara dzikir dengan mencari tugas sekolah. 

Saya malah akan membayangkan bagaimana kalau mesjid itu jadi penuh oleh orang-orang dengan gadget di tangannya dan sibuk dengan benda itu. Meskipun bisa saja orang itu baca Al-Qur’an digital. Tapi saya lebih suka kalau orang membaca lewat versi cetak. Lebih kerasa dan lebih adem aja bacanya. Karena setidaknya tidak akan ada orang yang melihat dia sedang mengaji lewat gadget dan berpendapat “sombong banget. mentang-mentang bisa pake aplikasi Al-Qur’an digital”. Apalagi kalau ternayata orang itu sedang memakai koneksi internet. Syukur-syukur untuk niat baik, tapi kalau untuk niat buruk. Ah saya rasa, keberadaan wifi di tempat ibadah itu akan mengurangi kesakralan dan kesucian dari tempat ibadah itu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya tulis ini kemarin pagi sekitar jam 9. Tapi baru posting hari ini, karena baru ada koneksi internet. Hehe.



Tidak ada yang istimewa dari angka dua puluh dua. Kecuali deretan dua angka yang sama, dan kedua angka itu adalah angka dua. Biasa saja. Kecuali kalau ada yang mengingat kalau nomor rumah saya adalah dua puluh dua. Atau kalau anda adalah penonton sepakbola dan menghitung jumlah pemain yang ada di lapangan, itu juga dua puluh dua. Dan satu lagi, umur saya hari ini tepat dua puluh dua.

Ya, dengan kata lain saya sedang berulang tahun. Tapi itu tidak penting. Umur yang semakin bertambah mungkin juga merubah pola pikir setiap orang. Kalau dulu, sewaktu kecil atau remaja, hari ulang tahun seolah menjadi hari yang istimewa. Namun paradigma itu ternyata berubah. Hari ulang tahun tak ada bedanya dengan hari lain. Hanya saja mungkin kita akan mengingat bahwa beberapa tahun ke belakang, pada tanggal itu, ada seorang perempuan yang rela berjuang untuk melahirkan kita ke bumi. Dan ada seorang lelaki dan mungkin beberapa kerabat lelaki dan perempuan itu yang menunggu tangisan kita di luar ruang persalinan. Dan kita, si bayi asing yang baru saja menghirup oksigen bumi, setelah sembilan bulan berenang dalam plasenta, mendapat dua orang yang tiba-tiba menyayangi kita. Padahal saya yakin mereka tidak pernah mengenal kita sebelumnya. Maha Suci Allah yang telah menumbuhkan kasih sayang dalam hati sepasang orang tua. Dan dengan tanpa pamrih mereka merawat kita. Melantunkan adzan dan iqomah di kedua telinga kita, mungkin diiringi rasa haru. Menyusui dan menyuapi kita hingga akhirnya kita bisa makan sendiri, dan terkadang makan di luar rumah tanpa mengingat mereka yang sedang menunggu kita hanya karena ingin makan bersama kita. Menemani kita belajar berjalan. Mengangkat  dan menghibur kita dengan kalimat “tuh lihat, kodoknya loncat” saat kita menangis karena jatuh. Meskipun setelah besar, kita berbohong pergi belajar bersama agar bisa keluar rumah untuk bermain. Masih banyak lagi saja ya. Sudah banyak orang yang menulis tentang orang tua, tanpa kita tahu apakah si penulis ternyata sudah bisa berbakti pada orang tuanya atau malah meninggalkan mereka demi karir di kota lain. Saya juga tidak tahu bagaimana indikator birul walidain itu sendiri. Yang pasti setelah dua puluh dua tahun tinggal bersama dan merepotkan Bapak Suharman dan Ibu Sugiarti, saya belum merasa menjadi anak yang berbakti. Belum. Karena saya masih dan sedang berusaha (Semoga tidak menjadi riya).

Tidak ada yang istimewa juga dari rencana hidup saya di umur dua puluh dua. Yang pasti saya ingat dari kecil, hal yang selalu saya ingat dengan umur dua puluh dua adalah lulus kuliah. Dan semoga itu bisa terlaksana. Semoga saya bisa dapat gelar S.Pd sebelum usia saya masuk ke angka dua puluh tiga (Insyaallah). Lainnya tidak ada. Saya bukan tipe orang yang berani bermimpi. Hihi. Saya tidak berani bermimpi untuk memiliki sebuah usaha sendiri di umur dua puluh dua. Saya tidak berani bermimpi untuk bisa menggaji orang di umur dua puluh dua. Saya tidak berani bermimpi untuk bisa sukses di umur dua puluh dua. Jangan mengira kalau sekarang saya sudah bisa melakukan itu semua. Hahaha. Karena hanya seorang motivator yang akan menulis dengan gaya seperti itu. Hihi. Sedangkan saya Cuma mahasiswa (tingkat akhir) biasa kok. Dan ini juga bukan buku bestseller, hanya blog pribadi.
Tahu yang istimewa dari saya? Ahh jangan ditulis disini. Nanti dikira sombong. Biar kalian lihat saja sendiri (ini malah terkesan lebih sombong). Kado terunik di ulang tahun ini adalah tampil Seminar Kimia dadakan dan jadi penampil pertama nanti hari Jumat. Dan lagi-lagi tampil bareng Aang setelah kemarin tampil Simulasi Pembelajaran bareng sahabat gila itu. Kado yang lain adalah tidak mendapat ucapan sama sekali dari orang yang dulu sempat jadi istimewa. Ah mungkin ia sudah lupa. Kalau begitu saya lupakan saja dia.

Alaahh dan sekarang, ketika saya sedang menulis ini, tiba-tiba Ibu saya datang dan mengecup kedua pipi, dilanjutkan dengan kening, dan mengusap kepala saya sambil bilang “Selamat ulang taun teh. Semoga sukses dan bertemu laki-laki yang bertanggung jawab, soleh dan sayang sama teteh dan Mamah.” Tentu saja beliau bilang dalam Bahasa Sunda. Sengaja saya sudah terjemahkan. Amin, Mah. Dan jujur saya tidak terlalu suka ketika orang-orang mendoakan seperti yang Ibu saya doakan terkahir itu. Bukan saya tidak suka didoakan. Tapi isi doa itu malah membuat saya sedih. Aneh? Ah tidak. Saya hanya tidak suka ketika orang-orang mendoakan saya tentang jodoh. Karena saya tidak mau memikirkan masalah itu. Saya lebih senang ketika orang mendoakan kesuksesan, kesehatan, uang yang banyak, perlindungan dari Allah, disayang Allah, atau keberkahan. Teman saya Siwi malah mendoakan semoga saya semakin mahir dalam urusan ranjang. Yang ini paling saya suka. Akhir-akhir ini saya memang kurang tidur (hahaha). Bahkan malam ketika pergantian umur, saya hibernasi dari pulang kuliah. (Saya ngerti ko maksud doa teman saya itu. Emang gila juga dia.)

Cape dari pagi sampe sore nunggu Papah Momo untuk bimbingan Seminar. Dan pulang kehujanan, sendirian, dan dalam kondisi pilek. Tau apa yang saya rasakan waktu di angkot? Dingin, ngantuk, dan tidak bisa leluasa bergerak karena angkotnya penuh. Tau apa yang saya lakukan? Awalnya buka twitter, nimbrung di beberapa obrolan teman yang nongol di timeline, habis itu tidur. Macet soalnya. Saya juga tidak tahu pasti apakah ketika saya tidur, kondisi mulut saya terbuka atau tertutup. Karena ketika saya tidur, hidung saya mampet. Dan kalau hidung sudah mampet, bagaimana mau bernapas? Alhasil ... entahlah. Yang pasti ketika saya bangun, air liur saya tidak menetes kok.  Ah bodo amat gimana itu posisi waktu tidur di angkot kemarin. Yang pasti. Asli. Tersiksa banget. Mau minta jemput ke Bapak biar cepet sampai, malu. Padahal udah beberapa kali bales SMS dari Bapak udah pake kode, bilang masih di kampus, dan udah mau pulang. Udah dikirim tiga kali SMS itu. Tapi masih enggak ngerti. Ya sudahlah. Lagian kalo dijemput juga tetap kehujanan. Meskipun jadi lebih cepat sampai rumah. Jadi curhat.

Ada yang mau ikut doain saya? Boleh. Asal jangan doain masalah jodoh ya. Hmm, boleh sih doain jodoh. Asal doanya gini.

“Berikan Widya jodoh orang soleh (kalo bisa ikhwan tapi preman), bertanggung jawab, sukses, sayang sama Widya dan keluarganya, orang Malang, anak Pertambangan ITB, dan umurnya lebih tua 4-5 taun”

Sip. Apa? Siapa orang itu? Enggak tahu. Saya juga ngarang. Tidak menjurus ke seseorang. Karena setiap kriteria yang saya inginkan itu berasalan. Seperti kenapa orang Malang? Karena saya pengen tinggal disana. Kalau pun tidak menetap, setidaknya tinggal selama seminggu juga boleh. Nah kalau saya dapat jodoh orang Malang, kemungkinan saya akan tinggal disana atau diajak mudik kesana.
Kalau tentang Pertambangan, enggak tahu kenapa. Keren aja. Berasa cowok banget. Kalau masalah ITB, saya pengen suami saya lebih pinter dari saya. Meski sebenarnya tidak menutup kemungkinan kalau orang ITB tidak lebih pintar atau masih banyak orang pintar yang tidak kuliah di ITB. Hmm boleh lah bukan ITB. UGM, UI, atau ITS juga boleh. 

 Kalau umur lebih tua itu supaya dia lebih dewasa, tidak egois, dan kalau kata Mamah sebagai orang Jawa sih bisa ngemong. Kalau yang lain selain yang dijelaskan sih itu standar. Setiap perempuan juga pasti ingin pendamping yang seperti itu.

Oke. Selamat ulang taun, Widya. Semoga cepat lulus dan cepat beli Fortuner. Hahaha
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  September 2022 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ▼  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ▼  November 2013 (5)
      • Dilematisnya Hidup
      • Sekardus Taro
      • IKhwan, Girlband, dan Gym (emang gak ada hubungann...
      • Wi-fi di Mesjid
      • 22
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb