Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.

Akhirnyaa ada ide lagi buat nulis. Haa. Di sela-sela menunggu kegiatan PPL dimulai.

Tadi sore (selepas maghrib sebetulnya) saya mengajar private anak SMP. Baru Kelas 7. Dan di sela-sela belajar, biasa kalau selalu ada sesi curhat. Supaya enggak ngantuk juga. Waktu selepas maghrib itu kan memang cocok untuk tidur-tiduran di kasur sambil twitteran atau sekedar dengerin radio. Ini malah disuruh belajar. Yaa siapa yang tidak bosan. Hehe.

Di curhatnya itu, dia cerita tentang kejadian tadi pagi yang hampir membuat dia telat masuk sekolah. Membuat dia menggerutu pada Ayahnya dalam perjalanan. Meski menurut pengakuan sang anak, Ayahnya malah bilang “ehh, ya ga boleh bilang gitu dong”. Jadii, ceritanya tadi pagi itu dia ke sekolah diantar ayahnya dan mendapati jalanan terhenti. Ternyata ada serombongan kawalan polisi. Awalnya dia tidak tahu apa yang dikawal polisi itu. Sampai beberapa meter dia mengamati dan ternyata.... serombongan orang yang sedang naik sepeda. Hah? Naik sepeda dikawal polisi? Iya. Meskipun tidak tahu pasti, tapi menurut dia itu adalah rombongan pejabat penting yang sedang melaksanakan program Jumat Bersepeda yang diagagas Walkot Bandung. Ckck. Dan dengan kesal kemudian dia menggerutu “lebay amat ampe dikawal gitu. Padahal rakyatnya udah telah mau masuk sekolah”. Hohoho. Saya jadi tergelitik sendiri. Kritikan semacam itu bisa juga keluar dari anak Kelas 7 SMP. Kritikan terhadap sebuah kebijakan yang ternyata dalam pelaksanaanya malah tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Hmm

Dan ... yang masih saya kurang paham adalah kenapa ya pejabat-pejabat itu senang sekali diistemewakan? Tidak semua sih. Banyak juga dari mereka yang bersikap merakyat.

Jadi ingat kejadian beberapa minggu lalu, saat saya harus kuliah jam 1 siang. Seperti biasa saya pergi jam 11 dari rumah. Jarak yang jauh dan antisipasi macet membuat saya harus menyediakan waktu ekstra untuk perjalanan yang ‘hanya’ sekedar ke kampus. Yang menurut teman saya, sama seperti waktu tempuh Setiabudhi dengan kota asalnya, Subang. Ohh Bandung, mengapa engkau sekarang sudah mirip Jakarta?

Tidak biasanya macet di daerah Halteu (Jl. Abdurahman Saleh) menjadi luar biasa panjang dan lama. Menurut sopir angkot arah sebaliknya sih, macetnya sampai Padjadjaran. Banyak juga yang menyerah dan akhirnya memilih untuk turun dan berjalan kaki. Termasuk saya akhrinya. Tapi tidak mungkin juga kalau saya harus berjalan kaki sampai kampus. Akhirnya saya putuskan untuk jalan kaki hingga menemukan angkot yang harus saya naiki selanjutnya, jurusan Lembang. Meski sudah turun dan jalan kaki, tetap saja membuat saya harus menghubungi dosen meminta izin untuk datang telat. Dan alhamdulillah diizinkan. Sampai di kampus pun jadi jam 1.30 yang biasanya hanya sekitar jam 12.30 atau paling lambat juga jam 12.45. Saya pun bingung ketika menjelaskan alasan mengapa saya datang terlambat. Karena terkesan konyol dan mengada-ada. Tapi memang itu lah adanya. Macet yang sampai mengakibatkan semua siswa yang masuk sekolah shift siang hari itu disebabkan oleh ... pemakaman salah satu ‘orang penting’ yang dimakamkan di Sirnaraga. Dengan jumlah pengantar dan juga kendaraannya yang banyak hingga membuat berita macet itu ramai di social media. Komentar lucu dari sopir yang saya naiki adalah “Euhh ini orang udah meninggal aja nyusahin orang banyak orang. Gimana waktu hidup” sambil bercanda juga sih. Hehe.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340) ~ngutip dari websitenya rival saya, Oki Setiana Dewi.

Jangan-jangan pertanyaan yang jadi judul tulisan ini bakal ditanyain juga. Oh enggak. Tidak ada dasarnya. Saya juga enggak mau dituduh merubah hadits. Ya habis, jejaring sosial itu bisa jadi ladang amal atau malah lumbung dosa juga sih.

Sejak kapan fenomena jejaring sosial yang mengangkat pamor internet ini mulai menjamur , tidak tahu pasti. Saya bukan pengamat teknologi. Tapi setuju kan kalau saya bilang gara-gara facebook orang jadi melek internet?

Pagi itu saya iseng buka timeline twitter. Masih mesem-mesem ingin tahu kelanjutan tentang Taman Jomblo. Tanggapannya lucu-lucu. Dan parahnya Kang Emil malah suka nimpalin mention dari warganya itu. Mulai dari pertanyaan apa taman jomblo itu bisa menampung semua jomblo se-Bandung Raya sampai masukan untuk melarang orang berpacaran di Taman Jomblo. Alasannya bukan lantaran pemandangan pacaran itu menganggu atau dilarang agama. Tapi katanya orang yang berpacaran di Taman Jomblo itu serakah. Makan lahan orang. Haduhh. Tapi itu lah jejaring sosial. Setiap orang bebas berpendapat, bahkan bisa langsung disampaikan ke pemimpinnya. Kalau sudah begini, jangan-jangan peran ‘wakil rakyat’ juga bisa diganti dengan jejaring sosial.

Tapi kadang kebebasan ini juga bisa ‘menganggu’ orang lain. Mata saya tidak sengaja membaca twit salah seorang teman ke pacarnya yang juga teman saya. Dan parahnya lagi isi mention itu seolah menandakan kalau mereka sedang bermasalah. Bukan seolah sih. Memang begitu. Orang awam yang tidak kenal mereka saja pasti bisa tahu kalau mereka adalah dua sejoli yang sedang mengalami masalah dalam hubungan mereka. Atau mantan dua orang sejoli yang baru saja putus dan ramai saling menyalahkan. Hadeuhh, mood saya untuk mencari informasi tentang Taman Jomblo jadi turun. Beberapa hari yang lalu juga begitu. Bahkan timeline saya penuh sama ocehan mereka berdua. Apa saya unfollow saja ya dua orang ini? Tidak enak juga. Masalahnya keduanya teman saya. Hadeuhh.

Sejujurnya saya juga pernah mengalami hal serupa. Galau akibat cinta, tugas kuliah, atau sulitnya mencari sesuap nasi. Tapi, teu kitu oge meureun. Meuni nepi ka pasea dina twitter mah. (Tapi, tidak sampai begitu juga kali. Sampai berantem di twitter.) Masih mending kalau yang diposting itu hal yang menyenangkan. Baru dilamar misalnya. Kan yang baca jadi ikut senang dan semakin ingin cepat nikah (*lho?). Seketika juga saya jadi geli sendiri kalau mengingat berapa kali saya update tentang kegundahan hati. Berharap sang penyebab gundah membaca curahan hati dan mau mengerti.  Tapi yang ada sang penyebab gundah itu malah mengejak saya. Katanya “kok facebook udah kaya dinding ratapan. Berhasil tuh orang Y***** bikin wall. Emang bener dipake meratap kok sama yang punya”. Meskipun sempat kesel juga sama ini orang, tapi memang ada benarnya. Dan setelah saya pikir ulang setelah gundah itu tidak lagi muncul. Saya jadi ilfil sendiri.
Pertama, malu lah kalau masalah kita terkespos oleh orang lain. Artis saja tidak mau masalahnya masuk infotainment.
Kedua, masih mending kalau sang penyebab galau itu mengerti. Lahh kalau dia hanya mesem-mesem aja, ketawa, atau malah tersenyum kecut kemudian ilfil. Rugi kita juga. Soalnya kalau saya perhatikan, laki-laki itu cenderung menggunakan pikirannya dibanding perasaannya. Jadi kalau dia membaca postingan seorang perempuan, ya tidak akan berpengaruh terhadap perasaannya. Lain lagi kalau sang penyebab gundah itu laki-laki yang ‘tidak biasa’ ya atau malah laki-lakinya yang ikut gundah seperti yang saya obrolkan di atas.
Memang sepertinya, jejaring sosial itu memunculkan tren baru. Galau rame-rame. Jadi kalau yang lagi galau, sebaiknya hindari jejaring sosial dulu deh. Daripada tambah galau. Mending nonton komedi, baca buku, atau ambil air wudhu terus baca qur’an deh. (Ihh, solehah banget kan saya? Haha)

Sebetulnya memang tidak semua orang menggunakan jejaring sosialnya untuk galau. Beberapa orang yang dulunya menganggap facebook itu bid’ah malah sekarang  mengeroyok facebook sebagai media dakwah. Yang ini positif dibanding yang membuatnya sebagai media galau. Jadi kalau yang lagi galau, buka jejaring sosial, baca postingan dakwah, langsung deh tiba-tiba pengen jadi relawan ke daerah timur tengah (yang ini berlebihan dan rasanya kejauhan).

Ada lagi yang menggunakan sebagai media eksis. Foto sana-sini. Tag tempat sana-sini. Menunjukkan betapa sibuk dan gaulnya diri mereka. Saya juga sempat kok melakukan hal itu untuk beberapa saat. Saat pertama kali mencoba jejaring sosial baru. Tapi lama kelamaan bosan juga. Lagian yang tidak saya habis pikir, sempat-sempatnya mereka update dulu ketika berada di suatu tempat. Menurut saya kemungkinan mereka tidak bisa menikmati kehidupan nyata mereka. Saya saja merasa tidak ada waktu untuk sekedar update atau posting foto kalau sedang berada di suatu  tempat. Mungkin karena saya menikmati lingkungan itu. Setuju? Lebih parahnya dan tidak habis pikir, path malah menyediakan tombol untuk tidur dan bangun. Malah sampai ada komentar segala kalau kita tidur terlalu larut, bangun terlalu siang, atau tidur terlalu sebentar. Kenapa seolah path itu jadi lebih cerewet dari pacar?


Ya sudahlah ya. Kembali pada diri masing-masing saja. Sejujurnya sikap seperti apa pun dalam jejaring sosial yang saya tuliskan di sini, tidak lepas juga dari saya. Maksudnya jangan anggap saya tidak pernah galau atau ngeluh atau posting foto di suatu tempat pada jejaring sosial. Maksud saya ya, setidaknya kita lebih bisa tahu waktu dan menjaga ‘nafsu’ untuk terus-menerus tergantung pada jejaring sosial yang ada di dunia maya. Apalagi sampai lupa pada dunia nyata dan jadi orang yang kurang bermanfaat karena waktunya hanya dihabiskan untuk hal yang kurang ‘penting’. Ini juga masukan untuk saya. Karena kalau waktu libur, tanpa kegiatan, hawa tempat tidur sangat menggoda untuk didiami sambil terus-menerus melototin timeline.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  September 2022 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ▼  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ▼  January 2014 (2)
      • Duhh, Orang Penting
      • Digunakan Untuk Apa Social Media-mu?
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb