Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.

Gara-gara acara Master Chef atau acara-acara kuliner a.k.a makanan, sekarang jadi makin berjamur lah itu mulai dari warteg (kalau warteg dari dulu sih ya), kafe, sampai restoran yang nyediain kobokan. Menunya juga jadi beragam. Dari mulai makanan ikan asin plus sambal sampai makanan Korea yang ikut-ikutan jamuran, eh maksudnya menjamur. Gara-gara artis Korea juga kali ya yang udah duluan makan itu, jadi penggemarnya pengen nyobain juga.

Lahh, kenapa jadi kesitu?

Pernah makan steak? Yang belum pernah, enggak usah nangis, setelah baca ini langsung cari ya. Saat liat papan menu atau menu dalam bentuk apa pun lah. Mau buku kek. Pasti suka liat berbagai macam steak yang tersedia. Bukan tentang cara masaknya bagaimana, tapi bagian daging mana yang akan dimasak dan dimakan sama kita.

Waktu itu sempet enggak peduli lah sama yang kaya gitunya. Yang saya tahu cuma katanya yang paling enak itu tenderloin. Enggak tahu juga kenapa. Nah, gara-gara acara Master Chef juga yang pernah menyiarkan episode tentang steak, saya penasaran juga searching tentang bedanya tenderloin, sirloin, dlllllll.

Deskripsinya sih lupa apa bedanya. Hehe. Yang pasti saya dapet gambarnya. Lupa sumbernya darimana. Yang pinter atau berbakat jadi tukang daging kayanya ngerti kenapa bagian tubuh yang ini lebih enak atau sebaliknya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Menjadi mahasiswa Kimia UPI itu susah-susah gampang. Maksudnya lebih banyak susah daripada gampangnya. Susah yang pertama karena materi kimia yang termasuk ilmu eksak butuh pikiran yang lebih sistematis dibanding seni atau sastra. Dan butuh pemahaman lebih dalam dibanding ilmu sosial. Bukan bermaksud merendahkan ilmu lain. Alasan saya memilih kimia juga karena saya tidak bisa menggambar, tidak pandai berimajinasi, dan tidak terlalu jago menghapal.

Pada awal masuk kuliah banyak juga mahasiswa yang merasa terjebak di kimia atau di UPI-nya. Biasanya mereka menjadikan kimia UPI sebagai pilihan kedua. Makanya agak kepaksa saat menjalaninya untuk pertama kali. 

Orang yang merasa terjebak di kimia-nya biasanya adalah orang yang tidak memilih ilmu eksak sebagai jalur hidupnya. Namun karena mendapat paksaan dari orang tua atau asal milih pilihan kedua yang memiliki passing grade dibawah pilihan pertama. Mereka ini tidak siap dengan materi ilmu eksak yang rada njelimet, karena mental awal yang dipersiapkan sebagai penghafal. Biasanya mereka merasa kesulitan. Padahal sebenarnya mereka ini punya potensi. Terbukti dengan kepercayaan diri mereka memilih jurusan dengan nilai tinggi. Namun karena mereka merasa tidak memiliki passion, akhirnya mereka memilih menjalani seadanya. Tidak sedikit juga dari mereka yang akhirnya mau menerima takdir dan akhirnya mampu survive. Ada juga yang akhirnya malah (seperti terlihat) frustasi dan selalu menyalahkan keadaan.

Orang yang merasa terjebak di UPI-nya biasanya adalah mereka yang sudah dengan pede memilih jurusan dengan passing grade tinggi. Namun harus berlapang dada menerima keputusannya. Orang tipe ini juga akan mengalami kesulitan. Sikap tidak mau menerima batas kemampuan dirinya membuat dia masih berpikiran, dia hanya kurang beruntung. Memiliki prestasi yang baik di jenjang sekolah sebelumnya membuat mereka  memiliki kepercayaan diri yang tinggi yang tidak dibarengi dengan sadar diri. Biasanya mereka ini akan terlalu berleha-leha dan menganggap ia akan mampu menjalani ini dengan mudah. Dan baru sadar setelah teman-teman yang lain telah berlari jauh meninggalkannya. Bagi yang cepat sadar, mereka juga akan bisa ikut menyusul meski dengan tergopoh-gopoh awalnya.
Susah yang kedua adalah dianggap remeh oleh orang yang berkuliah di universitas yang lebih bergengsi. Enggak tahu hanya perasaan berlebihan doang, atau emang iya. Haha. Yang jelas sebenarnya perasaan mereka ini bisa dibenarkan. Namun di sisi lain, perasaan ini muncul karena mereka justru yang tidak mampu membuktikan prestasi dan eksistensinya di dunianya sendiri, sehingga selalu merasa diremehkan oleh orang lain. Intinya sih tidak pede.

Haiio, termasuk yang manakah kamu? Atau sudah merasa sangat puas dan nyaman? Yang ini lebih baik ya. Karena untuk bisa dekat dan meraih sukses itu sendiri, yang pertama adalah bersyukur dengan keadaan saat ini dan selalu menjadikan yang terbaik dari keadaan tersebut. Maksudnya, kalau kita merasa keadaan saat ini bukan yang terbaik, bukan keluhan dan menyalahkan orang lain yang harus kita lupakan. Namun usaha kita untuk merubah keadaan ke situasi yang menurut kita nyaman dan terbaik itu. Butuh keberanian, kerja keras, dan doa tentunya. Selamat berjuang !!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Apa cita-citamu saat kecil? Dokter? Pilot? Presiden bahkan?

Waktu kecil, lagi unyu-unyunya dan sering diburu mang (mang : paman dalam bahasa sunda) sama bibi (bibi : tante dalam bahasa sunda) buat diajak maen, saya pengen jadi dokter. Bahkan dulu Emak saya (emak itu panggilam saya buat nenek dari bapa yang kebetulan orang sunda) sering bilang “kalau Emak sakit, nanti ga usah bayar ya” tapi dengan manjanya saya jawab “Jangan. Tetep bayar dong. Nanti rugi dong”. Kalau saya ingat percakapan itu lagi, saya jadi miris. Masih ingatkah nenek saya dengan percakapan itu? Apa masih ada harapan dalam dirinya untuk berobat gratis ke cucunya? Tapi kalau pun saya terusin cita-cita saya buat jadi dokter sampi sekarang, pasti lahh enggak akan kesampaian, mengingat biaya kuliahnya yang kayanya harus punya pohon duit sendiri.

Kalau Bapak saya beda lagi. Beliau seneng banget nontonin laporan reporter di tayangan info arus mudik. Beliau pengen banget saya bisa kaya gitu. Setelah beres nonton itu, beliau suka bikin akhir laporan sendiri “Saya Widya Pertiwi melaporkan dari Jalur Nagreg.” Inget itu saya jadi pengen nangis. Ya ampun Pa. Jangankan buat ngelaporin keadaan kaya gitu di TV. Presentasi di depan kelas aja saya suka grogi.

Masuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama cita-cita saya jadi ganti. Pengen jadi pramugari. Kayanya asyik aja kalau bisa jalan-jalan tiap hari. Ngunjungi tempat-tempat baru. Menyenangkan lahhh. Tapi lagi-lagi terganjal satu hal. Yang ini konyol pula. Gara-gara gigi saya yang berantakan. Karena saya pernah baca salah satu artikel tentang syarat jadi pramugari itu tidak boleh memakai kawat gigi. Saya? Pakai kawat gigi juga enggak, dan membiarkan gigi saya tetep amburadul. Hehe.

Masuk Sekolah Menengah Atas, saya bener-bener enggak punya cita-cita. Mikirin kuliah jurusan apa aja bingung. Tepatnya tidak punya bakat. Sampai saya ngerasa senang dengan pelajaran kimia dan sekarang kuliah di jurusan itu. Dan ngambil pendidikan. Hahaha. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bakal jadi guru. Yaaa memang tidak semua sarjana pendidikan itu akan jadi guru, tapi peluang untuk memilih jadi ‘guru aja’ jadi makin lebar dong dengan bekal yang dimiliki.

Hmm, adakah diantara kalian yang punya cita-cita konsisten dari kecil sampai sekarang akhirnya menempuh pendidikan sesuai dengan cita-cita itu? Syelamat eaghhh

Tapi pasti banyak juga yang punya cita-cita berubah kaya kepingan cerita saya. Haha. Kenapa?
Mungkin karena faktor biaya pendidikan untuk mewujudkan cita-cita itu mahal banget kaya jadi dokter  tadi. Dibutuhkan effort yang ekstra. Atau seiring dengan tumbuh besarnya kita, kita menemukan profesi lain yang menurut kita lebih menyenangkan. Tidak sedikit pekerjaan seseorang sesuai dengan cita-citanya. Apakah itu menunjukkan kalau kita tidak sukses dalam mewujudkan mimpi kita? Hmm, menurut saya enggak juga. Terkadang Allah punya jalan dan cara lain untuk menunjukkan kasih sayangnya. Termasuk dalam menentukan masa depan kita. Mungkin saja dengan keadaan yang saat ini dijalani, dapat membuat kita lebih dekat dengannya. Hayoo milih mana? Surga di dunia atau di akhirat? Dua-duanya? Ya ya lah. Semua orang juga pengennya gitu. Tapi mungkin kita tidak pernah tahu kalau cita-cita kita benar terwujud, kita akan jadi sombong, tidak dapat mengendalikan diri, atau tidak bisa berlaku amanah. Yang jelas syukuri saja keadaan saat ini dan tetap melakukan yang terbaik dalam setiap usaha kita.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Ramadan sebentar lagi memang akan berakhir. Namun semangatnya masih terlihat di kalangan kaum muslim. Banyak juga yang semakin memeperbanyak ibadahnya di sepertiga waktu terkahir ini karena mengharapkan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Acara buka bareng juga masih banyak terlihat. Tempat makan dari mulai warteg sampai restoran yang nyediain kobokan (banyak banget mangkok dan sendoknya soalnya) masih banyak diburu orang waktu maghrib tiba. Meskipun tidak sedikit juga dari mereka yang malah melupakan solat maghrib gara-gara keenakan ngobrol sama temen lama, karena biasanya buka bareng juga jadi ajang reuni. 

Bagi mereka yang ingin menyentuh sisi sosial lewat buka bareng, biasanya mereka ngajakin anak dari panti atau bagi-bagi makanan ke anak jalanan. Tidak terbatas pada saat buka puasa, sekarang sahur juga banyak dipilih buat waktu beramal ke sesama gitu. Apalagi saat weekend, coba keluar rumah buat ngadain acara sahur bersama anak jalanan. Biasanya kita malah sulit nemuin orang di jalan yang belum dapet makan sahur. Atau parahnya malah bentrok di satu tempat sama kelompok lain yang punya niat sama.

Ramadan emang ajaib. Dari mulai kaum preman sampai kaum hedonis, kadang jadi insaf berjamaah saat Ramadan datang. Masjid jadi penuh. Yang biasanya dengerin lagu korea sekarang ganti jadi nasyid atau murotal qura’an. Biasanya pakai baju kurang bahan, sekarang jadi daftar member hijabers. Tempat dugem tutup. Para wanita penggoda mudik lebih awal karena katanya untuk menghormati bulan Ramadan.
Waktu denger ceramah sebelum solat tarawih atau kuliah subuh, biasanya ustadznya berandai-andai kalau sepanjang tahun itu adalah bulan Ramadan. 
(rada lupa cerita awalnya gimana itu ya. Siapa gitu yang berandai-andai gitu. Maklum, biasanya dengerin dengan kondisi perut masih kenyang atau ngantuk)

Karena masih kecil, maksudnya belum ngerti, saya cuma bisa nyengir kuda. Ogah lah tiap bulan itu jadi Ramadan. Puasa terus dong. Laperrr tiap siang. Huhuhuhu.

Tapi sekarang rasanya emang bener juga. Bukan bermaksud sok alim. Diluar berbagai janji pahala yang dilipatgandakan, yang saya kangenin dari Ramadan itu suasananya. Bahkan salah satu temen saya yang nonmuslim pernah ditanya sama seorang dosen. Dosen PLSBT tepatnya. (Ini dosen PLSBT sering banget kesebut yaa). Beliau bertanya apa perbedaan yang bisa dirasain dia sebagai orang nonmuslim di bulan Ramadan. (enggak tahu juga sih dia jawab jujur apa enggak. hehe). Tapi yang jelas dia jawab kalau dia suka suasana di bulan Ramadan. Katanya saat Ramadan dimana orang-orang lagi puasa, biasanya kita jadi terlihat lebih terkontrol. Yang bisa saya tangkep menurut dia sih gitu. Saya sempet suudzon juga, lebih terkontrol karena lemes kali. Hehehe. Tapi ya apapun alasan seseorang jadi lebih terkontrol saat Ramadan, toh itu adalah hal baik. Ngapain juga harus diungkit-ungkit alasannya.
Sebentar lagi Ramadan pergi dan lebaran dateng. Yang katanya Hari Kemenangan itu kadang jadi seperti momen pembebasan diri dari segala belenggu aturan tak kasat mata dari Ramadan itu sendiri. Berasa itu setan-setan yang katanya diikat saat Ramadan lepas lagi gitu ya. Sampai lebaran ketupat sih masih keliatan baiknya.
(Ada yang enggak tahu tentang lebaran ketupat? Sedikit cerita ya. Di beberapa daerah ada kaya semacam kebiasaan dimana seminggu setelah hari Ied pertama itu, biasanya mereka berlebaran lagi setelah seminggu itu mereka melaksanakan saum syawal.)

Tapi setelahnya tidak sedikit orang yang jadi berubah ke asal. Yang mudik lebih awal itu pulang lagi ke negeri perantauannya. Memenuhi berbagai tempat hiburan gityuu deh. Jilbab yang sempet diborong buat dateng ke berbagai acara pengajian dan pesantern kilat, jadi penghuni lemari paling bawah. Hanya beberapa orang yang masih setia solat berjamaah di mesjid. Itu pun mereka yang sudah masuk kategori usia tidak lagi produktif.
Yang miris lagi anak-anak panti itu kembali menjalani kehidupan normalnya. Tidak ada lagi makanan enak hasil traktiran dari orang-orang. Tidak ada lagi bingkisan yang bisa bikin mereka tersenyum senang. Mungkin saja kalau mereka tidak memiliki keikhlasan dalam hatinya akan keadaannya saat ini, mereka bisa saja berkata, “Pak, Bu, Kang, Teh, ngajak makannya jangan cuma Ramadan doang dong. Kan kita pingin makan enak bukan saat Ramadan aja.”

Buat saya yang orang awam, kadang saya jadi mikir, sebenarnya untung ada Ramadan. Kalau enggak mungkin kita udah bener-bener lupa sama hal baik yang seharusnya kita lakuin. Enggak salah Allah menyelipakan satu bulan diantara sebelas lainnya supaya kita masih ingat sama Dia. Cuma seperduabelas dari waktu kita yang banyak kita habiskan buat urusan duniawi, kayanya egois banget kalau kita masih tetep ga peduli sama ‘ibadah’ kita.
Dan kalau mau lebih bijak, Ramadan itu bisa jadi semacam training pembiasaan diri supaya setelah selesai, kita jadi terbiasa. Terbiasa dengan suasana, kebiasaan, dan berbagai aturan informal yang tak kasat mata tadi, yang biasa kita lakuin di bulan Ramadan. Simpelnya bawa juga deh hal baik yang kita lakukan di bulan Ramadan supaya jadi habit di bulan-bulan lainnya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Dilihat sekilas ngelamun memang suatu kegiatan yang tidak bermanfaat. Daripada ngelamun mending langsung berbuat. Tapi tidak semua orang memiliki kemampuan untuk bertindak. Sebagian dari mereka diberi anugerah sebagai seorang pemikir (mungkin). Jadi jangan berprasangka buruk dulu sama orang yang tidak suka terjun langsung ya.

Ngelamun bisa diperbolehkan selama hasil lamunan itu menghasilkan karya untuk orang lain atau setidaknya mendatangkan kebaikan bagi dirinya sendiri. Misalnya di angkot atau kendaraan umum lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Kebanyakan orang Indonesia, tidak seperti orang Jepang yang banyak menghabiskan waktunya buat baca. Kebanyakan dari kita malah ngelamun bukan. Jadi kalau ternyata kita terbawa arus buat sama-sama ngelamun, arahkan lamunan itu menjadi sesuatu yang positif. Bisa ngelamunin masalah yang lagi kita hadapi. Siap tahu jadi nemuin solusi. Atau ngelamunin kebesaran Allah yang kita temui selama perjalanan. Bisa jadi tafakur tuh. (salah ga sih? Bodo amat lah. haha)


Izin nyeleneh dari tema, mengutip dari pembicaraan Kang Ridwan Kamil (ada yang belum kenal? Segera searching di Google yaa) di acara I Love Bandung, Solusi Kamil yang disiarkan salah satu stasiun tv lokal, mengungkapkan bahwa pemuda itu bisa menjadi insan yang kreatif karena mereka memiliki tiga hal. Sehat, berpendidikan, dan idealis.  Dan ketiga hal itu cukup menjadi modal untuk membuat suatu perubahan besar. Apalagi jika dihubungkan dengan peran mahasiswa sebagai agent of change. Masih menurut beliau, karena dari sebuah ide bisa saja melahirkan sebuah komunitas dan berujung pada terciptanya budaya. Jadi jika ada seratus masalah di Indonesia, siapkan saja seratus pemuda yang mampu berpikir kreatif, maka keseratus masalah itu tidak akan lagi menjadi masalah.

Apa hubungannya sama ngelamun? Ya banyak. Salah satunya mungkin salah satu dari lamuners ternyata ngelamunin satu masalah di Indonesia dan berhasil pula ngelamunin solusinya. Itu mah namanya mikir. Ehh jangan salah, ngelamun juga tahap awal dari berpikir. Bukankah gaya gravitasi juga terungkap dari hasil ‘lamunan’ seseorang tentang apel jatuh?

Tapi yang harus diingat, ngelamun itu harus dibarengi sama ilmunya. Maksudnya bukan ilmu ngelamun. Tapi jangan sampai kita terus-terusan ngelamun tanpa mencari tahu ilmu untuk memecahkan masalah yang dilamunin. Selama ngelamum itu menjadi media kita buat terus berkarya, kenapa enggak lebih diperbanyak. Haha. Sastrawan juga banyak nyari inspirasi dari ngelamun dulu. Banyak ngelamun ga masalah, asal barengi juga dengan membaca. Bukan hanya membaca ayat-ayat yang tersurat, tapi juga lewat tulisanNya di alam sekitar kita.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb