Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.



Huft. Aneh rasanya menulis kembali setelah lama jari ga ngetik di atas keyboard. Hmm, in this time I want to share about the film. Ini bukan seperti film Perahu Kertas yang malah banyak bercerita tentang embel-embel di belakangnya. Hehe. It’s pure about the value that you can take from it. Have you ever watched The Devil Wears Prada? Yeah, I know, it’s old enough. Released about 2006, may be. But, it’s still my favourite I’ve ever watched. And the sequel of the book have released. Revenge Wears Parada. And I have not yet looked for information about the book in Indonesian? But, definitely I can’t wait to read.

The story has begin from the girl, Andrea Sachs who called Andy, trying to apply a job on a Fashion Magazine in New York, Runway. Parahnya dia ga tau sama sekali tentang fashion. Dengan setelan yang kuno, dia tetep pede buat melamar pekerjaan. Karena dalam benaknya, she will be a journalist. Dia ga tau kalau posisi yang sedang dibutuhkan disitu adalah asisten buat Bos di majalah itu, The Devil. Karena salah satu asistennya lagi apa gitu. (ga terlalu merhatiin. haha)

Awalnya dia pikir bahwa pekerjaan menjadi asisten itu ga butuh gaya. Makanya dia tetep pede dengan tampilan ‘apa adanya’. Sampai suatu insiden yang bikin Bos-nya nyindir dia dan bikin dia nangis. Dia sempat berpikir buat resign. Tapi setelah curhat sama temen kantornya yang baik hati, Nigel. Akhirnya dia sadar kalau dia ga boleh cengeng. Inilah dunia kerja. Bukan untuk orang-orang yang mudah menyerah atau gampang nangis. Nigel bantuin dia jadi staf Runway yang sesungguhnya. Emily, asisten Miranda (Bos Runway) yang lain sempet bengong juga ngeliat perubahan Andy. Dan sejak itu dia selalu berusaha melakukan yang terbaik. I love this part because it showed me that life is not always flat (kaya iklan keripik kentang). So does the job. Segala tantangan dalam mencapai kesuksesan itu harusnya dianggap sebagai ‘latihan’ dan ‘ujian’ supaya kita jadi lebih baik. Kesiapan Andy kapan saja buat ngelayanin Miranda ngebuktiin totalitas kerja dia. Yeahh, mungkin sebagian orang ga setuju. Kenapa harus susah-susah kerja buat orang lain. Mending bikin usaha sendiri. Ya udah lah ya. Prinsipnya sama aja bukan. Mau kita kerja atau pun usaha sendiri, tantangan itu akan selalu ada dan ga seharusnya bikin kita jadi ... mundur.

Tapi lama kelamaan, pekerjaan dia ini bikin dia jadi jauh sama sahabatnya, keluarganya, dan pacarnya. Konflik terus memuncak sampai suatu saat, dia ditunjuk Miranda buat ngegantiin posisi Emily (asisten pertama Miranda) buat pergi ke Paris. Dilematis banget. Disisi lain ini adalah tuntutan pekerjaan tapi Andy juga enggak tega kalo harus ngecewain Emily yang bela-belain sakit demi diet ketatnya supaya bisa tampil sempurna saat di Paris. Meskipun, Emily bukanlah rekan kerja yang baik buat Andy. But finally Andy nerima tawaran Bos-nya itu, bukan semata-mata karena dia pengen balas dendam. Justru karena dia segen sama Bos-nya dan ga mau kehilangan pekerjaannya. 

Di lain pihak, Andy ketemu sama seorang penulis yang dia kagumi sejak jaman sekolah. Dia cerita ke idolanya itu kalo dia pengen banget nulis tapi terjebak ke dalam pekerjaan yang menurutnya, sangat bukan dirinya.

Well, kalo diceritain bakal panjang banget. Mending tonton sendiri aja ya filmnya. Yang jelas banyak banget hal yang bisa jadi pelajaran dari film ini. Salah satunya film ini ngebuktiin kalo setiap orang sebetulnya punya kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi apa pun, meskipun itu bukan situasi yang dia sukai. Terbukti, Andy akhirnya bisa membuktikan kalo dia bisa jadi asisten The Devil yang paling baik.

Yang paling kena dari film ini adalah tentang prinsip hidup. Pekerjaan Andy itu adalah pekerjaan yang banyak diburu kaum wanita. Tapi demi menjalankan tugas dalam pekerjaannya, Andy banyak mengorbankan prinsip dan keyakinan hidupnya. Salah satunya pekerjaan ini ga sesuai sama apa yang dia sukai. Meski akhirnya Andy mutusin buat berhenti dan memulai karir sebagai jurnalis. Hal lainnya adalah Andy ga mau jadi seperti Miranda yang rela ngelakuin apa aja demi karirnya, meskipun itu harus ngorbanin temennya sendiri. Itu yang ga mau Andy lakuin. Akhirnya Andy keluar dengan berbagai pertimbangan. Dia ga mau kehilangan keluarga dan sahabat-sahabatnya yang selama ini ada di sekelilingnya, lebih dulu ketimbang pekerjaannya.

Kalimat terkahir untuk cerita kali ini adalah seperti yang selalu Miranda bilang ketika ia selesai memberikan tugas pada asistennya. That’s all.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Entah lagi kerasukan setan atau iblis darimana. Yang jelas, maaf kata aja ya kalo ada yang merasa tersinggung atau marah dengan tulisan ini. Kan ini judulnya blog. Yang katanya singkatan dari web log, yang sering diartikan sebagai diary online lah. Hari ini lagi mau menggerutu tentang fenomena Mahasiswa DO yang sering marak di kampus setiap awal semester. Karena biasanya orang-orang ini baru nongol (ketahuan) pada saat batas waktu pembayaran SPP sudah habis. Hmm, sebelumnya kemana aja. Saya ga suudzon sih. Mungkin mereka berusaha dulu waktu itu, dan ternyata malah tetep ga bisa dan terancam DO itu tadi.
                Sebenarnya kali ini saya bukan lagi mau bahas tentang mahasiswa DO-nya. Tapi temen-temen dari mahasiswa itu yang malah enak ongkang-ongkangan kaki menikmati aliran duit negara ke rekening mereka tiap bulannya. Buat mereka yang nerima beasiswa karena prestasi, ya saya ga permasalahin lah. Itu salah satu bentuk apresiasi buat usaha mereka. Tapi ini tentang yang ‘tidak mampu’. Saya iri sama mereka? Iya, saya iri. Karena ternyata saya salah mengartikan apa arti ‘tidak mampu’ itu sendiri. Dulu, saya ogah disebut kategori tidak mampu karena (jujur aja) selain gengsi, ya saya masih bisa berusaha buat bayar kuliah dan segala tektek bengeknya itu. Ternyata setelah sampai di kampus dan melihat mereka yang ‘tidak mampu’ itu, ternyata ‘tidak mampu’ beli smartphone itu juga masuk kategori. Ckckck. Mau berdalih apa? Smartphone yang kamu beli bukan dari uang beasiswa? Lahh itu kamu mampu beli smartphone? Yang saya yakin harganya bisa buat bayar SPP satu semester bahkan mungkin masih ada sisanya. Kenapa? Kamu beli smartphone pake duit beasiswa? Itu lebih salah lagi. Pemerintah ngasih itu duit buat dipake kebutuhan kuliah. Bukan buat foya-foya, apalagi jaga gengsi di depan temen-temen kamu. Haha. Saya bukan lagi iri karena ga punya smartphone. Saya bakal beli sendiri itu smartphone pake duit hasil ngajar. Ini bukan hanya tentang smartphone. Pake dalih apa pun, kamu akan tetep di-cap ‘salah’ selama kamu (yang nerima uang beasiswa) masih punya gaya hidup di atas temen-temen kamu yang kuliah pake duit mereka sendiri.
                Topik kaya gini pernah ditulis sama seorang mahasiswa (saya lupa nama dan jurusan apa) di forum Grup Kampus saya. Responnya? Uhhhh. Banyak yang antusias. Banyak yang ng-iya-in gaya hidup ‘oknum’ penerima beasiswa ini yang ga sesuai sama yang diakuin mereka saat seleksi administrasi beasiswa. Banyak juga dari mereka yang membela diri. Oke lah. Itu hak mereka. Lagian saya juga yakin, tidak semua dari mereka seperti itu. Makanya saya bilang ‘oknum’.
                Buat orang yang kaya sekalian, masalah kaya gini bukan jadi masalah. Karena mereka punya banyak duit. Tapi bagi saya dan temen-temen lain yang mungkin masuk kategori biasa-biasa aja, hal kaya gini menimbulkan ‘kecemburuan’. Suka geli dan gatel pengen komentar.Mungkin sebagian orang menganggap orang kaya saya ini orang picik yang bisanya Cuma nyalahin orang lain dan ga bisa bersyukur sama rejeki yang udah Allah kasih. Saya anggap itu sebagai aksi protes dan luapan rasa lelah atas usaha mereka dan melihat orang tua yang juga banting tulang buat ngebiayain anaknya. Saya sangat sangat sangat bersyukur dikasih jalan rejeki dengan cara tidak hina dan mulia seperti ini. Meski harus cape karena setelah selesai kuliah harus pergi ngajar. Tapi pengen senyum juga ketika masih bisa dapet nilai A ketika hasil nilai keluar, sementara dari mereka ga jarang yang harus ngulang. Bukan saya senyum atas ketidaklulusan mereka, saya senyum atas keberhasilan saya sendiri.  Saya anggap ini bonus dari Allah atas segala perjuangan saya. Toh saya masih bisa dapet nilai bagus meskipun saya punya jatah waktu belajar yang lebih sedikit dari mereka. Cuma segitu perjuangan saya. dan Cuma itu yang bisa saya banggain. Karena saya tahu masih banyak orang diluar sana yang capenya jauh lebih luar biasa dari saya.
                Balik tentang mahasiswa DO, saya pengen nanya sama ‘oknum’ penerima beasiswa itu. Apa mereka ga merasa bersalah ketika ada mahasiswa yang penuh semangat ingin menuntut ilmu, tidak bisa membayar biaya SPP, sementara mereka masih pakai smartphone, hangout tiap weekend, dan TV layar datar di kosan? Saya juga pengen nanya sama orang yang sering berkoar-koar di depan gedung rektorat, memperjuangkan nasib temennya yang mau DO, ada ga dari mereka yang jadi ‘oknum’ penerima beasiswa itu? Kalau ada, ko mereka masih punya muka buat protes ke rektor, bukan ke diri mereka sendiri? Saya juga mau nanya sama mereka, apa mereka ga berani negur temen mereka sendiri yang jadi ‘oknum’ itu, sementara mereka berani negur rektor?
                Saya ga paham tentang agama. Apalagi itung-itungan dosa. Saya juga ga tahu apa yang mereka lakuin masuk kategori dosa, apa enggak. Itu urusan Allah. Ini tentang rasa ‘malu’ aja dulu. Ko mereka ga malu ya sama temen mereka yang hidup biasa-biasa aja demi supaya bisa bayar kuliah. Malah mereka bisa bangga pake smartphone, LCD TV di kosan, kendaraan buat ngampus, dll aja. Masa iya saya harus ngunjungin atau wawancara satu persatu itu ‘oknum’ buat tau kekayaan apa aja yang mereka punya sebelum dan setelah mereka dapet beasiswa. Kaya mau jadi pejabat aja.
                Satu masukan deh buat sistem penerimaan beasiswa. Tolong diaudit yang bener dong datanya. Jangan sampai ada uang yang nyasar. Kan ikut dosa juga mungkin kalau anda itu memberikan hak pada orang yang salah. Baru jadi mahasiswa aja ko rasanya udah ada bibit-bibit ‘kemaruk’ gitu lho. Pantes aja banyak pejabat yang makan uang rakyat.
               
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Pernah merasa menyesal dilahirkan dari keluargamu sekarang? Misalnya karena melihat kehidupan orang lain yang menurutmu lebih sempurna. Sehingga kamu berandai-andai kamu dilahirkan dari keluarga seperti dia. Saya juga pernah berpikir demikian. Tapi sekarang enggak pernah lagi. Sejak kapan ya? Hmmm, sejak banyak belajar mungkin.
Episode kali ini lagi pengen banget bersyukur karena dilahirkan dari keluarga saya sekarang. Betapa bahagia punya dua orang tua yang bener-bener sayang sama saya. Meskipun dulu, pernah dijailin sama seorang paman. Katanya saya ini anak pungut yang ditemuin di dalem kaleng “Biskuit Lebaran” (saya enggak mau bilang merk) di sungai deket rumah. Waktu itu saya langsung lari ke rumah dan nyeritain hal itu ke Ibu. Ibu saya ketawa sambil ngelus saya. Saya enggak inget sih waktu itu beliau bilang apa. Yang jelas intinya, beliau bilang saya anak kandung mereka.
Inget banget waktu itu liat temen lagi maen pake uang-uangan dari Monopoli. Bagi saya bagus banget. Ada gambarnya. Kaya uang asli. Nyampe rumah, cerita sama Ibu dan minta dibeliin. Ibu saya enggak tahu Monopoli, makanya beliau bingung saya minta apa. Yang saya bilang pokoknya uang-uangan yang warna-warni. Saya juga engggak tahu kalau itu namanya Monopoli. Haha. Waktu itu Ibu saya bikinin uang dari kertas yang dijiplak pke pinsil diatas uang logam. Bagus sih. Jadi timbul gambar persis kaya uang logam itu. Meski cukup bikin saya diam sesaat, dan ngerengek lagi karena saya pengen uang mainan berwarna. Setelah Bapak pulang, baru deh Ibu dan saya nyeritain apa yang saya pengen. Alhamdulillah, Beliau ngerti mainan yang dimaksud.
Inget juga waktu dulu dengan gampangnya minta adek karena iri liat temen maen udah punya adek. Mana Ibu temen itu manas-manasin terus kalau saya lagi maen ke rumahnya. Katanya “Wi, ga pengen punya adek? Minta ke mamah. Nanti bisa diajak maen adeknya.” Lahh, saya yang sulung, yang kalau di rumah enggak ada temen maen, membenarkan apa kata Ibu temen itu dong. Nyampe rumah, ngerengek minta adek. Tiap hari . Dulu kan enggak tahu ngebrojolin anak itu darimana. Kirain bisa beli dimana gitu. Hehe.
Dan setelah tau hamil, giliran minta adeknya haris cowok. Kalau bukan cowok, mending kasiin aja ke tetangga disana yang belum punya anak. Soalnya saya pikir adek perempuan itu pasti nyebelin. Kita beli bando, pasti di pengen. Ribet lah. Mending cowok. Simpel. Dan alhamdulillah, yang keluar cowok. J Seneng luar biasa waktu bangun pagi, Bapak bilang adek udah lahir. Meskipun sempet pengen nangis awalnya, karena bangun pagi, enggak ada Ibu di rumah.
Sekarang umur saya sudah lebih dari dua dasawarsa. Huhu, sudah tua. Tapi saya rasa belum bisa ngebales semua kebaikan mereka. Enggak bisa tepatnya. Enggak pernah lagi minta mainan yang bikin bingung atau minta adek dalam sekejap. Yang saya pengen sekarang adalah berlama-lama bersama mereka. Buat saya aneh kalau ada orang yang nikah muda. Apa mereka udah merasa ‘kenyang’ sama kasih sayang orang tua? Apalagi kalau ada orang tua yang nyuruh anaknya nikah. Meskipun niatnya baik, buat saya orang tua itu kaya orang tua yang udah bosen ngurus anaknya, terus nyuruh orang lain buat nerusin ngurusin anaknya. Huhuu, sedih kan?
Saya enggak bisa ngebayangin gimana kalau waktu buat nikah itu dateng. Bakal pisah sama mereka. Ibu suka cerita kalau baru dateng dari pengajian siraman menjelang pernikahan. Pasti ceritanya tentang suasana sedih waktu acara sungkeman seorang anak ke orang tua buat minta ijin nikah. Huwaaaa. Iya juga. Ngebayangin aja sedih banget. Ngebayangin sungkem ke Bapak yang selama ini dengan setia anter jemput kemana-mana. Meski kadang marah kalau nunggunya lama. Tapi kalau saya minta, mau badai apa juga dilewatin. Kadang saya mikir, suami saya bakal kaya gitu enggak? Saya bukan takut enggak dianter atau dijemput. Tapi apa ada orang yang sayangnya kaya beliau?
Teman, yang masih berharap dilahirkan dari keluarga lain karena iri dengan kehidupannya. Coba inget-inget lagi perjuangan kedua orang tau yang bisa saja tidak kalian dapatkan dari orang tua manapun. Setiap orang tua punya caranya tersendiri untuk meluapkan rasa kasih sayangnya. Begitu kata temen saya Aang. Karena waktu itu saya iri sama Bapaknya yang ngelus kepalanya, waktu dia pulang ke Cikampek. Saya bilang, seinget saya, Bapak saya enggak pernah ngelus saya. Apalagi setelah saya besar. Tapi Aang bilang satu kalimat yang bikin saya jadi senyum dan pengen nangis juga “Bapak kamu mungkin emang ga pernah ngelus kamu, Wid. Tapi Bapak kamu anter-jemput kamu tiap hari”
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Ada orang yang bilang kalau saya itu orang yang cerewet. Gatel suka komentar tentang apa pun yang dilihat yang enggak sesuai sama saya. Bagi saya hal itu ga masalah. Selama saya masih bisa ambil pelajaran. Terlebih bisa jadi pelajaran buat orang lain.
                Waktu itu lagi mau sholat maghrib di mesjid DT. Naik ke lantai tiga karena tempat sholat di lantai dua udah penuh. Pantes, udah mulai ternyata. Dengan segera masuk ke shaf, ngeluarin mukena dari tas, sambil nutup lagi retsleting tas sambil nyimpen tas di depan saya. Meskipun masjid itu rumah Allah, tapi Rasul juga mengajarkan untuk selalu mengikatkan untanya bukan?
Tiba-tiba kaget. Ada yang nendang mukena yang saya simpen di sebelah kanan saya. Sempet ngedumel juga. Ihh ni orang ga sopan banget. Tiba-tiba masuk ke shaf dan ambil bagian kanan saya dengan terburu-buru sambil bilang “cepet,cepet”. Padahal waktu itu imam baru bacain basmalah buat alfatihah rakaat kedua setelah bangun dari sujud. Sempet ngedongak sambil numpukin map yang saya bawa di atas tas saya. Ibu-ibu ternyata. Hmm. Ga sampai situ, itu orang masih aja nambah gelengan kepala saya. Dia ngomel-ngomel “ ini tas jangan ditaruh di depan. disimpen di belakang aja” dengan nada ga ramah dan mindahin tas orang di sebelah kanannya yang lagi pake mukena. Karena tas orang yang di sebelah kanannya, tepat ada di depannya. Orang yang lagi pake mukena Cuma diem, dan ngambil tasnya lagi, mindahin tasnya itu ke depannya lagi. Idihhhhh.
Beneran deh itu orang bikin sholat saya ga khusyu karena kesel. Mungkin agak lebay juga. Masa kaya gitu aja kesel. Tapi banyak hal yang bikin menggelitik. Pertama, memindahkan benda dengan kaki itu menurut saya itu ga sopan. Kedua, itu orang sembarangan banget mindahin tas orang lain. Gimana kalau pemilik tas itu udah sholat dan ga sempet mindahin lagi ke depannya. Terus tasnya hilang. Apa ibu itu ga bakalan dituduh sebagai komplotan pencuri bermodus jadi jamaah mesjid?
Buat saya aneh aja. Itu mau sholat, mungkin maksud Ibu itu baik. Pengen lebih cepat menghadap Allah. (Padahal menurut saya, tenang aja kaleee. Imam aja baru aja baca basmallah buat alfatihah) Tapi menurut saya, sholat itu harus dilaksanakan dengan tertib. Termasuk persiapannya. Ga khusyu juga kan kalau lagi sholat tiba-tiba inget pintu belum dikunci? Ibu itu pernah belajar tentang toleransi dan sopan santun dengan orang lain ga sih? Ga ngerti deh. Gimana sih batasannya Hablumminallah sama Hablumminannas
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Saya anak UPI. Ambil kuliah jurusan pendidikan. Dicetak untuk menjadi seorang pendidik. Meski tidak semua mahasiswa UPI, menjadikan pendidikan itu sebagai hal yang disukainya. Mungkin juga termasuk dosen-dosennya. Banyak juga dari mereka yang merasa terjebak di jurusan yang saat ini jadi tempat mereka menuntut ilmu. Tapi saya rasa dari ketidakseriusan ini, akhirnya menghasilkan lulusan yang tidak serius juga.

Rasanya tidak asing guru-guru bimbel bahkan guru di sekolah yang ternyata bukan berasal dari jurusan pendidikan. Entah mereka memang akhirnya suka pendidikan atau karena keterpaksaan, hingga memilih untuk menjadi pendidik. Buat saya itu cambukan. Sering saya diskusi ringan bersama teman-teman. Kami merasa tidak adil, apabila orang-orang yang tidak memiliki basic pendidikan, ikut berkecimpung juga dalam ‘bisnis’ ini. Saya sebut ini bisnis, karena memang banyak kepentingan yang ada dalam pendidikan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa pendidikan juga menghasilkan uang. 

Namun, jangan pula sampai tertutup matanya dengan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri. Kembali pada orang-orang yang sebut ‘mengambil lahan orang lain’ itu. Apabila saya kemukakan hal ini dihadapan orang lain atau mereka. Pasti semuanya akan tertawa. Semua orang akan bilang bahwa kami, hanya mencemaskan sesuatu karena kami tidak siap bersaing. Kami memang tidak bisa lari dari kenyataan, bahwa kami memiliki kemampuan keilmuan yang lebih rendah dibanding mereka yang berasal dari kampus yang lebih bergengsi.

Menjadi seorang pendidik itu bukan sekedar punya ilmu. Tapi bagaimana bisa mentransformasi ilmu itu kepada siswa. Saya sebut ini mentransformasi. Karena menurut saya proses pendidikan itu bukan hanya sekedar membuat siswa paham akan materi pelajaran. Namun, bagaimana menjadikan siswa dapat mengaitkan ilmu yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih dapat menghasilkan sesuatu yang berguna dari ilmu yang mereka pelajari. Apa kemampuan ini dimiliki setiap orang?
Saya rasa, kami saja yang sebagai mahasiswa ‘pendidikan’ yang setiap hari bergelut dengan strategi pembelajaran, masih sering merasa kesulitan mencari langkah yang tepat untuk mencerdaskan siswa. Saya rasa, pekerjaan guru bukan hanya sekedar membutuhkan ilmu dan kreativitas. Tapi juga hati.

Saya miris mendengar curhatan siswa yang bilang bahwa ia lebih senang belajar bersama guru bimbelnya (yang bukan berasal dari kampus pendidikan) dibanding gurunya di sekolah. Saya yakin siswa tidak tahu bahwa sesungguhnya gurunya di sekolah itu lebih punya ‘hati’ untuk menjadikan mereka orang cerdas dan berakhlak dibanding guru bimbelnya itu. Siswa itu tidak tahu bahwa jumlah uang yang orang tua mereka keluarkan untuk bimbel lebih besar dibandingkan uang sekolah mereka. Lantas bagaimana ini bisa terjadi?

Mungkin berawal ketidakseriusan itu. Bahwa tidak semua orang yang dididik dalam pendidikan keguruan, berniat sedari awal menjadi seorang pendidik. Hingga ilmu pendidikan yang diberikan di bangku kuliah tidak diperoleh secara optimal. Kami baru menyadari dan menerima bahwa kami memiliki tanggung jawab besar itu, setelah mendekati tingkat akhir atau justru setelah menjadi guru.

Saya tidak tahu apakah menjadi seorang guru itu harus memiliki bakat tersendiri. Namun yang jelas, bukankah bakat itu bisa terkalahkan oleh niat dan kesungguhan?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb