Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.



                Cerita KKN memang beragam. Mulai dari keindahan alam pedesaan tempat KKN hingga cerita mistis yang menyertai perjalanan selama kegiatan. Hmm, rasanya itu semua akan jadi cerita sendiri selama jadi mahasiswa. Tapi rasanya tidak bagi saya. Tempat KKN saya terbilang dekat dengan kota. Jadi jauh dengan cerita-cerita ala Ethnic Runaway. Tapi yang akan tetap sama adalah cerita tentang bagaimana berbaur dengan masyarakat.
                Bergaul dalam lingkungan, adat-istiadat, dan orang-orang baru memang susah-susah gampang. Sama saja seperti saat kita pindah rumah. Tentu butuh waktu yang panjang supaya kita bisa kenal dengan tetangga satu RT. Sementara saat KKN, dengan waktu yang hanya 40 hari kita dituntut untuk bisa mengenal dan mengidentifikasi serta lengkap dengan mewadahi dan memberi solusi bagi permasalahan yang terjadi di daerah tersebut.
                Masyarakat. KKN. Dua hal yang sangat berkaitan. KKN sebagai media sekaligus kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang mahasiswa dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (red. Pengabdian pada masyarakat). Dan masyarakat sebagai laboratorium sesungguhnya dari teori yang telah kita dapat di bangku perkuliahan. Meskipun terkadang tidak semua ilmu yang dibutuhkan saat terjun ke masyarakat akan diperoleh di sana. Kebanyakan malah diperoleh dari kegiatan di luar itu.
                Tipe masyarakat yang sangat beragam. Mulai dari masyarakat yang antusias dengan kedatangan kamu intelektual, yang memiliki ekspektasi tinggi dan menganggap bahwa mahasiswa akan bisa dalam segala hal. Mereka kadang tidak menerima jawaban ‘tidak tahu’ saat mereka bertanya tentang suatu penyakit pada mahasiswa jurusan manajemen. Dalam benak mereka, mahasiswa itu ‘pintar’. Hanya itu. Bagi teman-teman yang mendapat tipe masyarakat ini rasanya lebih beruntung. Karena meskipun sedikit repot, setidaknya sikap mereka baik dan hangat. Soal pertanyaan mereka yang kadang di luar kemampuan kita, toh bisa kita cari di internet.
                Berbanding terbalik dengan mereka yang mendapat masyarakat yang sangat antipati terhadap kedatangan pendatang. Penyebabnya banyak. Bisa jadi memang merke sulit menerima hal baru dan takut akan suatu perubahan. Bahkan tidak aneh lagi dengan cerita bahwa di suatu desa, kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok KKN menngeluarkan banyak dana untuk memancing warga supaya datang dan mengikuti kegiatan. Kalau sudah begini, lantas siapa yang salah? Apa mahasiswa yang tidak bisa membuat suatu kegiatan yang dapat menarik masyarakat? Apa masyarakat tersebut memang tidak mau menerima suatu perbaikan?
                Saya tidak menawarkan solusi bagi permasalahan saat berhadapan dengan  masyarakat. Hanya saja ingin sedikit berbagi tentang cerita-cerita yang saya ambil sendiri hikmahnya. Yaa dengan sedikit analisa abal-abal tentunya. Bisa jadi jangan-jangan ada sedikit kesalahan yang kita lakukan saat pendekatan dengan masyarakat. Bagi saya KKN itu seperti dua sisi uang logam. Di satu sisi, kita akan membantu masyarakat (katanya). Di lain sisi, kita tidak bisa melaksanakan KKN tanpa masyarakat. Jadi sebetulnya, siapa yang membutuhkan siapa?
                Saya rasa keduanya. Masyarakat membutuhkan kita. Namun tidak semua dari mereka sadar dan mau mengakui. Masih banyak mayarakat yang menganggap bahwa ‘jam terbang’ dan ‘pengalaman’ itu adalah guru yang terbaik. Jadi, anak muda jangan sok tau deh. Kaum ini mungkin adalah kaum yang tidak bisa mengambil hikmah dari peristiwa Rengasdengklok. Mahasiswa sendiri tentu butuh masyarakat. Buktinya ada yang rela ‘bayar’ masyarakat buat dateng di kegiatan mereka.
                Hmm, kayanya emang harus ada basa-basi yang diubah. Jangan sebut diri kita sebagai orang yang akan ‘membantu’. Karena kita juga punya keterbatasan. Ada hal-hal yang akan kita pelajari dari masyarakat disana. Bagi saya kata yang tepat adalah ‘saling belajar’. Dan semoga dari proses kedatangan kita ada manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat tersebut.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Kadang kita merasa tidak nyaman dengan sebuah keadaan karena ketidakbiasaan kita dengan keadaan tersebut. Hmm. contohnya dengan HMK. Saat pertama masuk, saya cukup gerah dengan segala hidden rules yang kadang saya anggap bikin ribet. Seperti, harus pakai rok atau celana bahan ketika acara. Administrasi yang teraturnya jempol banget. Sampai akhirnya terbiasa. Tapi dibalik semua ketidaknyamanan yang akhirnya membuat saya sadar kalau senior saya memberlakukan demikian, bukan tanpa alasan. I learnt a lot from that organisation. Dicipline, although ontime is still hard to practice on there. And definitely, kerja cepat, tanggap, dan cerdas menghadapi segala sesuatu. Semua itu tidak akan pernah saya dapatkan di mata kuliah apa pun.

Basa-basi. Simple but not everyone can do this. Banyak orang yang harus berlatih terlebih dahulu sebelum bertemu orang baru bukan? Mempersiapkan cara memperkenalkan diri, topik pembicaraan, dan mungkin lengkap dengan plan A sampai Z. Jadi LO (saya lupa singkatannya apa), yang jobdesknya menemani pemateri atau siapa yang dianggap istimewa selama atau sebelum acara menuntut keterampilan seseorang dalam berbahasa bukan. Dan saya yakin tidak semua orang bahasa mampu jadi LO yang baik. Apalagi untuk jadi MC. Dan saya menemukan MC yang yahh bisa dibilang baik lah, dari teman di HMK (plus kemampuan bahasa inggris yang jago juga). Soal memberikan pembukaan? Saya jagoin Mantan KaBEM periode 2011. Saya rasa kemampuan berbahasa dia tidak kalah baik dengan MC yang saya ceritain barusan. Terlebih dengan wawasan dia yang luas, selalu bikin dia tidak terlihat grogi saat di depan orang banyak.

Seperti yang saya sebutkan tadi, kadang saya merasa tidak nyaman dengan segala aturan yang berlaku di organisasi tersebut. Tapi kalau saya boleh mengaku, saya merasa aman dengan segala peraturan itu. Ada seorang senior saya yang dulu menjabat sebagai DPM saat saya menjadi pengurus. Kedoyanannya ngritik. Banyak orang yang tidak siap untuk dikritik. Apalagi setelah bekerja keras menyelesaikan tugasnya. Dan saya mungkin adalah salah satu hater-nya. Tapi kalau boleh saya munafik, saya merasa tidak tenang kalau dia tidak ada. Maksudnya, saya ingin diawasi. Saya ingin diingatkan ketika saya membuat kekeliruan. Saya ingin ada yang orang yang siap maju di barisan depan saat kita dihadapkan dengan masalah yang menyangkut pihak luar. Garis besarnya saya masih butuh pemimpin yang ‘mengatur’ sekaligus bisa ‘menyelesaikan masalah’.

Sekarang saya dihadapkan pada sebuah perkumpulan dimana kami berasal dari latar belakang yang berbeda. Daerah asal yang berbeda. Gaya hidup yang berbeda. Dan tentu saya pola pikir dan cara kerja yang berbeda. Ini awal. Dan saya merasa tidak nyaman. Mungkin kita masih dalam tahap transisi untuk menemukan dimana posisi kita sebetulnya sesuai dengan potensi yang kita miliki tentunya.

Dan .... saya kangen HMK. Saya kangen dengan segala kericuhan saat mendebatkan sesuatu. Meskipun saya hanya jadi penonton setia. Tapi saya suka melihat cara mereka berargumen dengan alasan yang rasional tentunya. Bahkan kadang saya tidak bisa membedakan, mana pendapat yang memang-memang benar. Semua pendapat memang benar. Tapi hanya satu yang akan mempermudah jalan selanjutnya. 

Saya kangen orang yang selalu bikin was-was, tapi siap pada waktunya. Namanya Asep. Logistik saya jaman Seminar yang bikin saya duduk lemes, keluar air mata. Tapi bingung sekaligus haru ketika liat dia ngangkutin kursi yang saya minta.

Saya kangen Kang Indra dan Kang Latif yang (kadang) sok ngatur tapi bikin saya tenang kalau dia ada dan cemas kalau dia tidak ada di sebuah acara.

Saya kangen Teh Iin, Teh Nabil, Ka Acha, yang kadang ikut ngerecokin rencana. Tapi selalu menenangkan dan memberi masukan saat kita dihadapkan masalah, tanpa menyalahkan keputusan yang kita ambil sebelumnya.

Saya hanya setaun aktif sebagai pengurus, tapi membuat saya ketagihan buat ambil bagian di kepanitiaan2 periode selanjutnya. Karena saya rindu atmosfer kerja sama dan kekeluargaan disana.
Kadang saya berpikir, apakah kenyamanan saya di HMK ini membuat saya tidak bisa beradaptasi dengan perkumpulan lain? Tapi bukanlah dulu juga saya merasa tidak nyaman dengan HMK hingga akhirnya betah dan merasa memiliki?
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Huft. Aneh rasanya menulis kembali setelah lama jari ga ngetik di atas keyboard. Hmm, in this time I want to share about the film. Ini bukan seperti film Perahu Kertas yang malah banyak bercerita tentang embel-embel di belakangnya. Hehe. It’s pure about the value that you can take from it. Have you ever watched The Devil Wears Prada? Yeah, I know, it’s old enough. Released about 2006, may be. But, it’s still my favourite I’ve ever watched. And the sequel of the book have released. Revenge Wears Parada. And I have not yet looked for information about the book in Indonesian? But, definitely I can’t wait to read.

The story has begin from the girl, Andrea Sachs who called Andy, trying to apply a job on a Fashion Magazine in New York, Runway. Parahnya dia ga tau sama sekali tentang fashion. Dengan setelan yang kuno, dia tetep pede buat melamar pekerjaan. Karena dalam benaknya, she will be a journalist. Dia ga tau kalau posisi yang sedang dibutuhkan disitu adalah asisten buat Bos di majalah itu, The Devil. Karena salah satu asistennya lagi apa gitu. (ga terlalu merhatiin. haha)

Awalnya dia pikir bahwa pekerjaan menjadi asisten itu ga butuh gaya. Makanya dia tetep pede dengan tampilan ‘apa adanya’. Sampai suatu insiden yang bikin Bos-nya nyindir dia dan bikin dia nangis. Dia sempat berpikir buat resign. Tapi setelah curhat sama temen kantornya yang baik hati, Nigel. Akhirnya dia sadar kalau dia ga boleh cengeng. Inilah dunia kerja. Bukan untuk orang-orang yang mudah menyerah atau gampang nangis. Nigel bantuin dia jadi staf Runway yang sesungguhnya. Emily, asisten Miranda (Bos Runway) yang lain sempet bengong juga ngeliat perubahan Andy. Dan sejak itu dia selalu berusaha melakukan yang terbaik. I love this part because it showed me that life is not always flat (kaya iklan keripik kentang). So does the job. Segala tantangan dalam mencapai kesuksesan itu harusnya dianggap sebagai ‘latihan’ dan ‘ujian’ supaya kita jadi lebih baik. Kesiapan Andy kapan saja buat ngelayanin Miranda ngebuktiin totalitas kerja dia. Yeahh, mungkin sebagian orang ga setuju. Kenapa harus susah-susah kerja buat orang lain. Mending bikin usaha sendiri. Ya udah lah ya. Prinsipnya sama aja bukan. Mau kita kerja atau pun usaha sendiri, tantangan itu akan selalu ada dan ga seharusnya bikin kita jadi ... mundur.

Tapi lama kelamaan, pekerjaan dia ini bikin dia jadi jauh sama sahabatnya, keluarganya, dan pacarnya. Konflik terus memuncak sampai suatu saat, dia ditunjuk Miranda buat ngegantiin posisi Emily (asisten pertama Miranda) buat pergi ke Paris. Dilematis banget. Disisi lain ini adalah tuntutan pekerjaan tapi Andy juga enggak tega kalo harus ngecewain Emily yang bela-belain sakit demi diet ketatnya supaya bisa tampil sempurna saat di Paris. Meskipun, Emily bukanlah rekan kerja yang baik buat Andy. But finally Andy nerima tawaran Bos-nya itu, bukan semata-mata karena dia pengen balas dendam. Justru karena dia segen sama Bos-nya dan ga mau kehilangan pekerjaannya. 

Di lain pihak, Andy ketemu sama seorang penulis yang dia kagumi sejak jaman sekolah. Dia cerita ke idolanya itu kalo dia pengen banget nulis tapi terjebak ke dalam pekerjaan yang menurutnya, sangat bukan dirinya.

Well, kalo diceritain bakal panjang banget. Mending tonton sendiri aja ya filmnya. Yang jelas banyak banget hal yang bisa jadi pelajaran dari film ini. Salah satunya film ini ngebuktiin kalo setiap orang sebetulnya punya kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi apa pun, meskipun itu bukan situasi yang dia sukai. Terbukti, Andy akhirnya bisa membuktikan kalo dia bisa jadi asisten The Devil yang paling baik.

Yang paling kena dari film ini adalah tentang prinsip hidup. Pekerjaan Andy itu adalah pekerjaan yang banyak diburu kaum wanita. Tapi demi menjalankan tugas dalam pekerjaannya, Andy banyak mengorbankan prinsip dan keyakinan hidupnya. Salah satunya pekerjaan ini ga sesuai sama apa yang dia sukai. Meski akhirnya Andy mutusin buat berhenti dan memulai karir sebagai jurnalis. Hal lainnya adalah Andy ga mau jadi seperti Miranda yang rela ngelakuin apa aja demi karirnya, meskipun itu harus ngorbanin temennya sendiri. Itu yang ga mau Andy lakuin. Akhirnya Andy keluar dengan berbagai pertimbangan. Dia ga mau kehilangan keluarga dan sahabat-sahabatnya yang selama ini ada di sekelilingnya, lebih dulu ketimbang pekerjaannya.

Kalimat terkahir untuk cerita kali ini adalah seperti yang selalu Miranda bilang ketika ia selesai memberikan tugas pada asistennya. That’s all.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Entah lagi kerasukan setan atau iblis darimana. Yang jelas, maaf kata aja ya kalo ada yang merasa tersinggung atau marah dengan tulisan ini. Kan ini judulnya blog. Yang katanya singkatan dari web log, yang sering diartikan sebagai diary online lah. Hari ini lagi mau menggerutu tentang fenomena Mahasiswa DO yang sering marak di kampus setiap awal semester. Karena biasanya orang-orang ini baru nongol (ketahuan) pada saat batas waktu pembayaran SPP sudah habis. Hmm, sebelumnya kemana aja. Saya ga suudzon sih. Mungkin mereka berusaha dulu waktu itu, dan ternyata malah tetep ga bisa dan terancam DO itu tadi.
                Sebenarnya kali ini saya bukan lagi mau bahas tentang mahasiswa DO-nya. Tapi temen-temen dari mahasiswa itu yang malah enak ongkang-ongkangan kaki menikmati aliran duit negara ke rekening mereka tiap bulannya. Buat mereka yang nerima beasiswa karena prestasi, ya saya ga permasalahin lah. Itu salah satu bentuk apresiasi buat usaha mereka. Tapi ini tentang yang ‘tidak mampu’. Saya iri sama mereka? Iya, saya iri. Karena ternyata saya salah mengartikan apa arti ‘tidak mampu’ itu sendiri. Dulu, saya ogah disebut kategori tidak mampu karena (jujur aja) selain gengsi, ya saya masih bisa berusaha buat bayar kuliah dan segala tektek bengeknya itu. Ternyata setelah sampai di kampus dan melihat mereka yang ‘tidak mampu’ itu, ternyata ‘tidak mampu’ beli smartphone itu juga masuk kategori. Ckckck. Mau berdalih apa? Smartphone yang kamu beli bukan dari uang beasiswa? Lahh itu kamu mampu beli smartphone? Yang saya yakin harganya bisa buat bayar SPP satu semester bahkan mungkin masih ada sisanya. Kenapa? Kamu beli smartphone pake duit beasiswa? Itu lebih salah lagi. Pemerintah ngasih itu duit buat dipake kebutuhan kuliah. Bukan buat foya-foya, apalagi jaga gengsi di depan temen-temen kamu. Haha. Saya bukan lagi iri karena ga punya smartphone. Saya bakal beli sendiri itu smartphone pake duit hasil ngajar. Ini bukan hanya tentang smartphone. Pake dalih apa pun, kamu akan tetep di-cap ‘salah’ selama kamu (yang nerima uang beasiswa) masih punya gaya hidup di atas temen-temen kamu yang kuliah pake duit mereka sendiri.
                Topik kaya gini pernah ditulis sama seorang mahasiswa (saya lupa nama dan jurusan apa) di forum Grup Kampus saya. Responnya? Uhhhh. Banyak yang antusias. Banyak yang ng-iya-in gaya hidup ‘oknum’ penerima beasiswa ini yang ga sesuai sama yang diakuin mereka saat seleksi administrasi beasiswa. Banyak juga dari mereka yang membela diri. Oke lah. Itu hak mereka. Lagian saya juga yakin, tidak semua dari mereka seperti itu. Makanya saya bilang ‘oknum’.
                Buat orang yang kaya sekalian, masalah kaya gini bukan jadi masalah. Karena mereka punya banyak duit. Tapi bagi saya dan temen-temen lain yang mungkin masuk kategori biasa-biasa aja, hal kaya gini menimbulkan ‘kecemburuan’. Suka geli dan gatel pengen komentar.Mungkin sebagian orang menganggap orang kaya saya ini orang picik yang bisanya Cuma nyalahin orang lain dan ga bisa bersyukur sama rejeki yang udah Allah kasih. Saya anggap itu sebagai aksi protes dan luapan rasa lelah atas usaha mereka dan melihat orang tua yang juga banting tulang buat ngebiayain anaknya. Saya sangat sangat sangat bersyukur dikasih jalan rejeki dengan cara tidak hina dan mulia seperti ini. Meski harus cape karena setelah selesai kuliah harus pergi ngajar. Tapi pengen senyum juga ketika masih bisa dapet nilai A ketika hasil nilai keluar, sementara dari mereka ga jarang yang harus ngulang. Bukan saya senyum atas ketidaklulusan mereka, saya senyum atas keberhasilan saya sendiri.  Saya anggap ini bonus dari Allah atas segala perjuangan saya. Toh saya masih bisa dapet nilai bagus meskipun saya punya jatah waktu belajar yang lebih sedikit dari mereka. Cuma segitu perjuangan saya. dan Cuma itu yang bisa saya banggain. Karena saya tahu masih banyak orang diluar sana yang capenya jauh lebih luar biasa dari saya.
                Balik tentang mahasiswa DO, saya pengen nanya sama ‘oknum’ penerima beasiswa itu. Apa mereka ga merasa bersalah ketika ada mahasiswa yang penuh semangat ingin menuntut ilmu, tidak bisa membayar biaya SPP, sementara mereka masih pakai smartphone, hangout tiap weekend, dan TV layar datar di kosan? Saya juga pengen nanya sama orang yang sering berkoar-koar di depan gedung rektorat, memperjuangkan nasib temennya yang mau DO, ada ga dari mereka yang jadi ‘oknum’ penerima beasiswa itu? Kalau ada, ko mereka masih punya muka buat protes ke rektor, bukan ke diri mereka sendiri? Saya juga mau nanya sama mereka, apa mereka ga berani negur temen mereka sendiri yang jadi ‘oknum’ itu, sementara mereka berani negur rektor?
                Saya ga paham tentang agama. Apalagi itung-itungan dosa. Saya juga ga tahu apa yang mereka lakuin masuk kategori dosa, apa enggak. Itu urusan Allah. Ini tentang rasa ‘malu’ aja dulu. Ko mereka ga malu ya sama temen mereka yang hidup biasa-biasa aja demi supaya bisa bayar kuliah. Malah mereka bisa bangga pake smartphone, LCD TV di kosan, kendaraan buat ngampus, dll aja. Masa iya saya harus ngunjungin atau wawancara satu persatu itu ‘oknum’ buat tau kekayaan apa aja yang mereka punya sebelum dan setelah mereka dapet beasiswa. Kaya mau jadi pejabat aja.
                Satu masukan deh buat sistem penerimaan beasiswa. Tolong diaudit yang bener dong datanya. Jangan sampai ada uang yang nyasar. Kan ikut dosa juga mungkin kalau anda itu memberikan hak pada orang yang salah. Baru jadi mahasiswa aja ko rasanya udah ada bibit-bibit ‘kemaruk’ gitu lho. Pantes aja banyak pejabat yang makan uang rakyat.
               
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


                Pernah merasa menyesal dilahirkan dari keluargamu sekarang? Misalnya karena melihat kehidupan orang lain yang menurutmu lebih sempurna. Sehingga kamu berandai-andai kamu dilahirkan dari keluarga seperti dia. Saya juga pernah berpikir demikian. Tapi sekarang enggak pernah lagi. Sejak kapan ya? Hmmm, sejak banyak belajar mungkin.
Episode kali ini lagi pengen banget bersyukur karena dilahirkan dari keluarga saya sekarang. Betapa bahagia punya dua orang tua yang bener-bener sayang sama saya. Meskipun dulu, pernah dijailin sama seorang paman. Katanya saya ini anak pungut yang ditemuin di dalem kaleng “Biskuit Lebaran” (saya enggak mau bilang merk) di sungai deket rumah. Waktu itu saya langsung lari ke rumah dan nyeritain hal itu ke Ibu. Ibu saya ketawa sambil ngelus saya. Saya enggak inget sih waktu itu beliau bilang apa. Yang jelas intinya, beliau bilang saya anak kandung mereka.
Inget banget waktu itu liat temen lagi maen pake uang-uangan dari Monopoli. Bagi saya bagus banget. Ada gambarnya. Kaya uang asli. Nyampe rumah, cerita sama Ibu dan minta dibeliin. Ibu saya enggak tahu Monopoli, makanya beliau bingung saya minta apa. Yang saya bilang pokoknya uang-uangan yang warna-warni. Saya juga engggak tahu kalau itu namanya Monopoli. Haha. Waktu itu Ibu saya bikinin uang dari kertas yang dijiplak pke pinsil diatas uang logam. Bagus sih. Jadi timbul gambar persis kaya uang logam itu. Meski cukup bikin saya diam sesaat, dan ngerengek lagi karena saya pengen uang mainan berwarna. Setelah Bapak pulang, baru deh Ibu dan saya nyeritain apa yang saya pengen. Alhamdulillah, Beliau ngerti mainan yang dimaksud.
Inget juga waktu dulu dengan gampangnya minta adek karena iri liat temen maen udah punya adek. Mana Ibu temen itu manas-manasin terus kalau saya lagi maen ke rumahnya. Katanya “Wi, ga pengen punya adek? Minta ke mamah. Nanti bisa diajak maen adeknya.” Lahh, saya yang sulung, yang kalau di rumah enggak ada temen maen, membenarkan apa kata Ibu temen itu dong. Nyampe rumah, ngerengek minta adek. Tiap hari . Dulu kan enggak tahu ngebrojolin anak itu darimana. Kirain bisa beli dimana gitu. Hehe.
Dan setelah tau hamil, giliran minta adeknya haris cowok. Kalau bukan cowok, mending kasiin aja ke tetangga disana yang belum punya anak. Soalnya saya pikir adek perempuan itu pasti nyebelin. Kita beli bando, pasti di pengen. Ribet lah. Mending cowok. Simpel. Dan alhamdulillah, yang keluar cowok. J Seneng luar biasa waktu bangun pagi, Bapak bilang adek udah lahir. Meskipun sempet pengen nangis awalnya, karena bangun pagi, enggak ada Ibu di rumah.
Sekarang umur saya sudah lebih dari dua dasawarsa. Huhu, sudah tua. Tapi saya rasa belum bisa ngebales semua kebaikan mereka. Enggak bisa tepatnya. Enggak pernah lagi minta mainan yang bikin bingung atau minta adek dalam sekejap. Yang saya pengen sekarang adalah berlama-lama bersama mereka. Buat saya aneh kalau ada orang yang nikah muda. Apa mereka udah merasa ‘kenyang’ sama kasih sayang orang tua? Apalagi kalau ada orang tua yang nyuruh anaknya nikah. Meskipun niatnya baik, buat saya orang tua itu kaya orang tua yang udah bosen ngurus anaknya, terus nyuruh orang lain buat nerusin ngurusin anaknya. Huhuu, sedih kan?
Saya enggak bisa ngebayangin gimana kalau waktu buat nikah itu dateng. Bakal pisah sama mereka. Ibu suka cerita kalau baru dateng dari pengajian siraman menjelang pernikahan. Pasti ceritanya tentang suasana sedih waktu acara sungkeman seorang anak ke orang tua buat minta ijin nikah. Huwaaaa. Iya juga. Ngebayangin aja sedih banget. Ngebayangin sungkem ke Bapak yang selama ini dengan setia anter jemput kemana-mana. Meski kadang marah kalau nunggunya lama. Tapi kalau saya minta, mau badai apa juga dilewatin. Kadang saya mikir, suami saya bakal kaya gitu enggak? Saya bukan takut enggak dianter atau dijemput. Tapi apa ada orang yang sayangnya kaya beliau?
Teman, yang masih berharap dilahirkan dari keluarga lain karena iri dengan kehidupannya. Coba inget-inget lagi perjuangan kedua orang tau yang bisa saja tidak kalian dapatkan dari orang tua manapun. Setiap orang tua punya caranya tersendiri untuk meluapkan rasa kasih sayangnya. Begitu kata temen saya Aang. Karena waktu itu saya iri sama Bapaknya yang ngelus kepalanya, waktu dia pulang ke Cikampek. Saya bilang, seinget saya, Bapak saya enggak pernah ngelus saya. Apalagi setelah saya besar. Tapi Aang bilang satu kalimat yang bikin saya jadi senyum dan pengen nangis juga “Bapak kamu mungkin emang ga pernah ngelus kamu, Wid. Tapi Bapak kamu anter-jemput kamu tiap hari”
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb