Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.


                Membaca sebuah pengalaman seorang di salah satu blog membuat saya merinding ketika membayangkan saya akan menjadi seorang guru. Bukan tentang pengalamannya melihat sosok ‘penghuni’ sekolah yang menyeramkan. Bukan pula tentang materi pelajaran yang dirasa semakin sulit hingga membingungkan pendidik bagaimana caranya mentransfer itu kepada murid-muridnya.
                Ia bercerita tentang pengalaman pertamanya mengajar. Sebuah kelas yang sudah dua kali ditinggalkan guru sebelumnya lantaran guru-guru itu tidak sanggup mengahadapi sikap murid-murid di kelas tersebut. Ahh mungkin guru-guru itu saja yang kurang profesional sampai harus menyerah di tengah jalan. Padahal jika mengingat bekal pendidikan yang sudah diperoleh di bangku kuliah kependidikan, rasa-rasanya semua peserta didik bisa diatasi. Hanya mungkin metodenya saja yang berbeda. Itu juga yang dipikirkan oleh guru tersebut. Namun setelah saya melanjutkan membaca, saya jadi pesimis untuk menjadi seorang guru. Atau mungkin saya saja yang mudah terpengaruh. Ia hampir menyerah. Berbagai cara sudah ia tempuh. Mulai dari cara halus, pemberian reward, sangsi, bahkan pemanggilan orang tua. Yang semakin membuat saya terhenyak, ketika orang tua dari salah satu siswa itu dipanggil. Apa yang dikatakannya? Intinya orang tua tersebut mengatakan seperti ini “anda tidak bisa meminta saya untuk membuat anak saya menghormati anda. Anda sendiri yang harus melakukannya. Saya mendidik anak saya secara demokratis. Mereka bebas malakukan apa saja selama mereka bisa bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. ” meskipun cerita ini happy ending, namun saya masih terganjal pada apa yang orang tua tersebut katakan.
                Di sisi lain, saya setuju dengan orang tua tersebut. Kita tidak bisa meminta orang lain untuk menghormati kita. Rasa respect itu merupakan feed-back dari sikap kita terhadap peserta didik. Namun bukan berarti orang tua menjadi bersikap lepas tangan terhadap sikap anaknya di sekolah. Di salah satu blog lain lagi (saya lupa sumbernya) menyatakan bahwa ada kesalahan paradigma di masyarakat. Idealnya pendidikan merupakan proses berkesinambungan dari mulai sejak dilahirkan hingga liang lahat bukan? Dengan kata lain seorang peserta didik seharusnya telah mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga  dan masyarakat sebelum ia bersekolah. Sementara sekolah pada dasarnya adalah wadah bagi proses pendidikan. Bukan pusat pendidikan . Dari 24 jam dalam sehari yang dimiliki peserta didik, berapa jam ia habiskan di sekolah? Kurang dari setengahnya. Namun banyak masyarakat kemudian beranggapan jika seseorang tidak berhasil menerapkan hasil belajarnya (entah dalam domain kognitif, afektif, maupun psikomotor), maka itu merupakan ketidakberhasilan sekolah dalam mendidik. Kita sering mendengar ungkapan “ disekolahin kok malah kaya gini?” atau “mana hasilnya? Katanya sekolah”. Jika orang tua berkata demikian, maka sesungghnya ia sedang mendeklarasikan ketidakberhasikan dalam mendidik anaknya.  Ia lupa sisa waktu dari 24 jam yang dihabiskan anaknya merupakan tanggunga jawabnya, bukan tanggung jawab sekolah.
                 Orang tua yang berkata di atas mungkin lupa bahwa sekolah bukanlah rumah yang ia dan keluarganya tinggali. Sekolah merupakan institusi yang memiliki peraturan mengikat bagi seluruh warganya. Tidak peduli apakah warganya itu telah terbiasa dengan peraturan itu atau tidak. Inilah yang juga harus menjadi bahan pertimbangan orang tua saat hendak mendaftarkan anaknya ke sekolah. Pemahaman bahwa sekolah merupakan fasilitas publik yang berbeda dengan rumah mutlak diperlukan. Peserta didik akan bertemu banyak orang dengan karakter yang berbeda juga dengan kebiasaan dan aturan yang berbeda. Pola pendidikan yang mungkin akan sangat berbeda dengan pola pengasuhan orangt tua terkadang menyulitkan tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Kesenjangan ini pula yang sesungguhnya menimbulkan kesulitan bagi peserta didik dalam menginterpretasikan harapan lingkungan atas dirinya
                Bukan ingin menumbuhkan sikap tidak bertanggung jawab atas peserta didik, namun sekedar ingin menyadarkan bahwa hakekatnya orang tua menitipkan anaknya kepada pihak sekolah bukan melimpahkan kewenangan pengajaran. Karena pendidikan merupakan sebuah uasaha bersama. Tidak akan berhasil sebuah proses pendidikan apabila tidak ada kepedulian dari orang tua dan keterlibatan masyarakat tentang esensi pendidikan itu sendiri tentunya.
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments

Dulu bapak saya ingin kalau saya bisa bekerja di sebuah laboratorium. Tapi beliau tidak menyebutkan spesifiknya seperti apa. Ibu saya lebih sederhana. Beliau ingin saya jadi guru saja. Beliau bilang saya itu orang yang penakut dan tidak kuat tempaan. Ada sedikit benarnya juga. Beliau menganggap jadi guru itu tidak terlalu sulit karena kamu hanya menghadapi orang yang umurnya berada di bawah kamu. Bagi beliau itu terlihat lebih mudah dibanding kamu harus menghadapi atasan killer yang mungkin berusia lebih tua denganmu. Saya juga tidak tahu darimana beliau punya pemikiran seperti itu. Padahal beliau bukan seorang guru atau pegawai. Beliau ibu rumah tangga (yang luar) biasa.

Singkat cerita saya pun menjadi suka dengan kimia. Hmm sepertinya akan lebih mendekati cita-cita bapak. Beliau juga (cukup) terobsesi dengan salah satu universitas terbaik di Bandung. Yaa you know lah ya. Namun yang satu ini jadi agak berat mengingat otak saya rasanya tidak seistimewa itu. Singkat cerita (lagi) saya mengikuti SNMPTN dengan pilihan FMIPA  di universitas dambaan bapak dan Pendidikan Kimia UPI. Haha. Yang kedua ini jadi seperti cita-cita ibu. Padahal itu pilihan saya sendiri, bukan paksaan atau masukan dari orang tua. Dan hasilnya ... saya masuk pilihan yang kedua. Meski tidak sesuai harapan bapak, namun alhamdulillah beliau masih mau menyekolahkan saya. Hihi (sekarang obsesi itu menjadi berpindah ke adik saya).
Menjadi seorang guru itu bagi saya seperti cita-cita klasik. Tanpa tantangan. Kamu hanya perlu menyampaikan materi setelah itu selesai. Materi yang kamu sampaikan juga akan terus berulang setiap tahun jika kamu mengajar di tingkat kelas yang sama.

Sekarang saat saya telah menjadi mahasiswa ‘pendidikan’ semua paradigma itu berubah. Menjadi seorang guru itu justru sangat menantang.  Kamu akan bertemu dengan berbagai kurikulum yang kerap berubah yang pasti akan berdampak pada sistem pendidikan yang ikut berubah. Setiap tahun kamu juga akan bertemu dengan siswa baru yang pastinya akan selalu memiliki karakter yang berbeda dengan muridmu di tahun sebelumnya. Belum lagi menghadapi ‘tingkah’ mereka yang mungkin kadang ‘nyeleneh’.
Saya baru ingat pernah ada seorang guru yang samapai menangis di kelas saya. Lupa karena alasan apa. Tapi pasti karena kami sudah keterlaluan. Atau baru saja saya membaca status salah satu guru waktu SMA yang katanya disebut muridnya ‘kamseupay’. Haduhh, saya jadi tambah merinding. Saya tidak tahu apa yang salah. Yang jelas ini seperti jadi peer buat saya juga untuk mengatur strategi. Ya setidaknya untuktidak merasa shock kalau saya mengalami hal yang serupa.

Sekarang kalau ada orang yang masih menganggap menjadi seorang guru itu mudah dan melecehkan cita-cita menjadi seorang guru, mungkin ia adalah sebagian orang yang menghindar dari kesulitan-kesulitan yang hanya bisa dielwati orang-orang seperti kami.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Memulai itu memang terasa sangat sulit. Namun hanya berlaku bagi orang yang tidak memiliki keinginan. Termasuk saat menyalurkan kesukaan. Pernahkah kamu tak sengaja menemukan jejak-jejak hobimu dan baru tersadar telah meninggalkannya untuk waktu yang cukup lama? Aku sibuk. Sekarang tidak sama seperti dulu. Berbagai alasan mungkin akan menjadi alibimu untuk meninggalkan hobi itu. Padahal hobi itu tak terbatas oleh dimensi apapun. Prolog yang panjang. Intinya tidak ada kata terlambat untuk memulai dari awal atau pun memulai kembali.

Jujur saja dunia blogging masih asing bagi saya. Bukan saya tidak kenal. Saya kenal sejak duduk di bangku SMP. Namun baru memiliki saat hendak melepaskan atribut putih abu-abu. Itupun karena blog merupakan salah satu TA mata pelajaran TIK. Keterlaluan mungkin. Tapi ya itulah saya. Bahkan karena tidak pernah diutak-atik lagi, saya lupa alamat email dan passwordnya.

Namun kemarin saat tak sengaja memasukkan alamat email untuk log in ke blogger dan ternyata jrengg ... terbukalah blog yang saya buat dulu. Sudah banyak debu disana-sini. Bahkan sarang laba-laba. Hehe.
Share
Tweet
Pin
Share
3 comments
Dulu, dia datang dan melukis keelokan dalam buku harian saya. Membuat saya meras menjadi wanita paling istimewa di dunia. Menghadirkan senyum, tawa, haru, bahkan tangis dalam satu waktu. Namun cukup membuat saya merasa bahwa ia memang yang terbaik. Kemudian ia pergi. Meninggalkan saya yang masih berharap banyak padanya. Saya coba untuk ikhlas. Meskipun dalam hati saya menangis. Apalagi saat tahu bahmwa ia telah mencintai orang yang menurut saya tak lebih baik dari saya. Hhhh,,,


Sekarang, ada sosok sempurna disana. Dia diam. Dingin. Layak gunung es. Dan saya menyukainya. Heu. Namun, saya sadar bahwa terlalu sulit untuk menjamahnya. Terlalu jauh. Tapi jujur, dalam hati saya berharap bahwa kita bisa bersua di lain waktu. Heu. Ironis ya ??


Nanti ?? Bagaimana nanti ?? Mungkin salah satu dari mereka hadir kembali ?? Atau akan ada sosok baru. Haha,,
Mengutip salah satu kalimat dari film Cinta Pertama "Sunny" :
Tak ada pertemuan yang abadi, maka tak ada perpisahan yang abadi..
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Kemarin, iseng mengantarkan teman ke perpustakaan. Saya malah jatuh cinta dan berniat membaca sebuah novel karya Dewi 'dee' Lestari yang judulnya Perahu Kertas. Akhirnya saya meminjamnya untuk dibawa pulang ke rumah dengan jangka waktu 10 hari. Uhm, bukunya cukup tebal, 400 halaman lebih. Awalnya, saya sanksi bisa menyelesaikannya. Namun, mengingat 3 hari tenang sebelum melaksanakan UAS, akhirnya saya meyakinkan diri saja.

Ajaibnya, saya menyelesaikan buku itu hanya 1 hari. Uh,, bagi saya yang tidak begitu gila membaca, itu rekor yang mengagumkan. Entah kenapa, buku itu menyihir saya untuk tidak berhenti membuka tiap lembarnya. Saya hanya berhenti sejanak untuk megambil makan (karena saya makan masih sambil membaca), mengingat Sang Pencipta lewat ritual ibadah, dan saat Ibu saya mengomel minta dibantu.

Alurnya unik. Saya dibuat banyak terkejut dengan tindakan atau keputusan para tokoh dalam novel itu. Atau tertawa saat ada guyonan dan tentunya menitikkan air mata saat sesuatu yang sebenarnya tidak saya harapkan terjadi. Meskipun endingnya bisa ditebak juga dan berakhir seperti dongeng klasik.

Tapi, yang membuat saya suka novel ini adalah ucapan atau pikaran para tokoh yang terkadang membuat saya tersentil dan mengangguk tanda setuju. Atau bahkan mengernyitkan dahi namun kemudian tersenyum simpul.

Dan diantaranya saya suka kalimat ini :
Bintang yang sama takkan pernah kembali untuk yang kedua kali
Kalimat ini mengimbau bahwa saat kita merasa sesuatu dirasa tepat, saat itu juga berjuanglah untuk mendapatkannya. Karena kita gak pernah tau dia bisa kembali di masa depan atau bahkan dia gak akan pernah bisa kembali.

Kadang memang tidak mudah untuk bisa mendapatkan apa yang menjadi tujuan kita. Namun, saya belajar lagi dari kalimat ini :
Jalan kita memeng berputar, tapi suatu saat, entah kapan, kita pasti punya kesempatan jadi diri sendiri
Kembali saya tersenyum. Benar juga. Kadang saya berpikir, mungkin dengan jalan berputar atau berliku, kita akan mendapat lebih banyak reward. Selain lebih banyak mendapatkan pengalaman untuk menghadapi jalan yang berliku lagi, kita akan lebih bersyukur saat berhasil mendapatkannya dan berusaha untuk selalu menjaganya.

Dan yang terakhir, saya suka ini :
Kenangan itu cuma hantu di sudut pikir. Selama kita cuma diam dan nggak berbuat apa-apa, selamanya dia tetap akan jadi hantu. nggak akan pernah jadi kenyataan
Untuk yang satu ini saya ga bisa komentar apa-apa dech. Heu,,
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb