Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.


Meskipun Bandung Air Show, Braga Festival, dan serangkaian acara yang diadakan pemerintah kota Bandung atau lembaga usaha yang ikut meramaikan ‘milangkala’nya kota Bandung sudah selesai, namun sisa-sisa sampah, dekorasi, atau papan publikasi masih tersisa. Jadi tidak ada salahnya juga bukan, sedikit mengulas kota yang selalu dipenuhi kendaraan plat luar kota saat weekend ini.

Yang nulis lahir di Bandung 21 tahun silam. Ibu orang Jawa tulen. Bapak campuran Bandung dan Ciamis. Jadi yaa masih ada 25% lah untuk dibilang orang Bandung. Daripada orang yang cuma numpang lahir padahal tidak sama sekali memiliki garis keturunan Bandung, ehh ngaku orang Bandung juga. Itu masih mending. Ada lagi orang yang baru tinggal setahun di Bandung, udah ngaku orang Bandung juga. Punya pesona apa sih Bandung sampai pada rebutan gitu. Hehehe. Bercanda yaa. Yang kesindir pasti pada bilang “saya enggak pernah ngaku orang Bandung kok”. Yang jelas Bandung itu milik semua orang yang mau ‘mengakuinya’. Pake tanda kutip yaa. Karena kalau sudah ‘mengakui’ harus mau juga menjaga dan memelihara segala yang ada di kota ini.

Ada yang tahu tanggal berapa kota Bandung berulang tahun? Yap betul 25 September. Baru tahu setelah datang ke salah satu acara perayaan HUT kota Bandung? Sama. Saya juga. Meskipun tahun ini inget, pasti tahun depan lupa lagi dan diingatkan dengan acara-acara model gituan juga. Hahaha.

Kemarin yang nulis sempet ke Bandung Air Show dan kecewa karena udah bayar tiket masuk, tapi enggak liat ‘show’nya akibat peristiwa pesawat jatuh itu. Ckckck. Udah kedua kalinya ini. Banyak yang harus dievaluasi kayanya. Denger-denger, acara ini terancam enggak akan diadain lagi buat tahun depan.

Akirnya meluncur ke Braga Festival dan terbayarkan lah disana. Baru nyadar kalau orang Bandung itu kreatif banget. Dan jadi malu juga karena belum bisa kaya mereka. Meski cuma bentar, tapi udah kebayang itu semua panitia dan pengisi acara di tiap sudut, kerja dan muter otaknya kaya apa. Two Thumbs Up. Bener-bener menyediakan hiburan untuk segala ‘tipe’ masyarakat. Hehehehe.

Ok lah itu sekilas tentang acara ulang tahun yang setahun sekali itu. Sekarang pengen beropini bebas tentang hasil renungan tiap pergi atau pulang kuliah.

Bandung itu sejuk. Dulu tapi. Orang luar Bandung yang dulu berkunjung dan sekarang berkunjung lagi pasti menyadari perbedaan itu. Banyak dari mereka yang bilang “Bandung enggak sedingin dulu ya”. Salah satu yang disuka dari Bandung itu karena dia dingin. Yang nulis adalah tipe orang yang lebih milih dingin daripada keringetan. (apa ini, enggak ada hubungannya). Beberapa orang pernah bercanda sih, katanya “Bandung itu cuma satu kurangnya. Enggak punya laut.” Aduhh helloowww, itu Geografi-nya remedial ya? Haha. Mungkin bukan itu juga maksudnya. Dalam benak mereka (mungkin) sebagian besar ibu kota propinsi itu emang berada di daerah pantai, makanya mereka bilang gitu. Tapi disitu keunikan Bandung. Apa malah jadi satu-satunya ibu kota propinsi yang enggak punya laut ya? (aduh ini yang nulis juga perlu dicek nilai Geografi-nya). Tapi saat ini, keunikan itu mulai menguap. Sedih juga sih. Beberapa waktu ini kerasa banget Bandung lagi panas. Meskipun kata Bapak Wakil Walikota Bandung saat diwawancara di acara Braga Festival bilang, kalau daerah hutan kota di Bandung sudah mengalami peningkatan menjadi 11% dari luas Kota Bandung sendiri pada tahun ini, tapi menurut sumber (entah apa) jumlah segitu masih kurang. Ada benarnya juga. Dengan jumlah polusi yang enggak tahu jumlahnya tapi bisa dirasain efeknya, kayanya emang masih kurang. Tapi sebagai masyarakat jangan kalah saing dong dengan usaha pemerintah. Seneng baget deh ketika tahu salah satu temen yang nge-kos ternyata memelihara tanaman walaupun dalam pot. Itu sudah jadi bukti bahwa mereka punya usaha untuk menghijaukan bumi juga. Khususnya Bandung sebagai tempat tinggal mereka saat ini. Tapi suka kesel juga karena masih ada aja orang yang padahal (mungkin) orang Bandung asli, masih aja buang sampah senbarangan kalau lagi jalan-jalan.

Ngomong tentang polusi kaya diatas, kayanya udah enggak asing kalau polusi itu sumber utamanya dari kendaraan. Dan selain polusi, kendaraan juga mengakibatkan apa? Ya macet.  Rada enek juga ketika salah satu temen yang nge-kos di Bandung (tapi yang bukan memelihara tanaman)bilang kalau di Bandung itu jumlah angkotnya keterlaluan. Sopirnya pada enggak tahu aturan lalu lintas. Setiap satu kendaraan pribadi pasti di depan dan belakangnya itu angkot. Gerah juga denger pendapat gini. Masalahnya menurut yang nulis, problem ini tuh enggak bisa cuma nyalahin satu aspek aja. Emang dia pikir pengguna kendaraan pribadi enggak nyumbang macet? Coba kalau semua orang pada pake angkutan umum, kan lumayan ngurangin jumlah kendaraan juga. Ini pendapat yang nulis sebagai pengguna setia angkutan umum, karena enggak punya kendaraan pribadi. Tapi ya kita juga enggak bisa nyalahin orang yang milih buat pakai kendaraan pribadi. Mungkin mereka kurang nyaman dan kurang merasa aman ketika pakai angkutan umum. Menurut yang nulis solusi yang adil ya penertiban angkutan umum dan pembatasan jumlah kendaraan pribadi. Tapi dua alternatif solusi ini juga enggak segampang yang dipikirin. Pasti banyak penentangan dari para sopir angkot kalau penertiban angkutan ini jadi membuat mereka harus kehilangan pekerjaan. Mau dikasih makan apa keluarga mereka? Dan lagi pabrik yang bikin kendaraan pastinya enggak bakal langsung setuju sama aturan yang ngurangin pendapatan mereka. Teknis dan detailnya yang harus dibikin seapik mungkin lagi.

Ahhh, apa lagi ya harapan buat Kota Bandung? Itu sih yang paling kepikiran dam kerasa tiap pergi dan pulang kuliah. Lainnya..

Ohh ya, semoga Bandung tetap menjadi kota dengan masyarakat yang kreatif, mampu menjadi trendsetter,tetap menjadi kota fashion dan kuliner. Bukan apa-apa. Lumayan kan buat pemasukan masyarakatnya sendiri. Daaan pengennya sih jadi kota yang lebih agamis dan intelektual. Supaya bisa mengimbangi dua predikat sebelumnya yang kayanya kok identik sama konsumerisme dan hura-hura belaka. Meski tidak dipungkiri, kaum intelektual Bandung saat ini udah mulai keliatan dan mulai bisa menyumbangkan ide cemerlangnya buat kemajuan dan perbaikan kota ini ke arah yang lebih baik. Dan semoga yang nulis dan yang baca kelak akan jadi salah satu dari mereka. Amin.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Gara-gara acara Master Chef atau acara-acara kuliner a.k.a makanan, sekarang jadi makin berjamur lah itu mulai dari warteg (kalau warteg dari dulu sih ya), kafe, sampai restoran yang nyediain kobokan. Menunya juga jadi beragam. Dari mulai makanan ikan asin plus sambal sampai makanan Korea yang ikut-ikutan jamuran, eh maksudnya menjamur. Gara-gara artis Korea juga kali ya yang udah duluan makan itu, jadi penggemarnya pengen nyobain juga.

Lahh, kenapa jadi kesitu?

Pernah makan steak? Yang belum pernah, enggak usah nangis, setelah baca ini langsung cari ya. Saat liat papan menu atau menu dalam bentuk apa pun lah. Mau buku kek. Pasti suka liat berbagai macam steak yang tersedia. Bukan tentang cara masaknya bagaimana, tapi bagian daging mana yang akan dimasak dan dimakan sama kita.

Waktu itu sempet enggak peduli lah sama yang kaya gitunya. Yang saya tahu cuma katanya yang paling enak itu tenderloin. Enggak tahu juga kenapa. Nah, gara-gara acara Master Chef juga yang pernah menyiarkan episode tentang steak, saya penasaran juga searching tentang bedanya tenderloin, sirloin, dlllllll.

Deskripsinya sih lupa apa bedanya. Hehe. Yang pasti saya dapet gambarnya. Lupa sumbernya darimana. Yang pinter atau berbakat jadi tukang daging kayanya ngerti kenapa bagian tubuh yang ini lebih enak atau sebaliknya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Menjadi mahasiswa Kimia UPI itu susah-susah gampang. Maksudnya lebih banyak susah daripada gampangnya. Susah yang pertama karena materi kimia yang termasuk ilmu eksak butuh pikiran yang lebih sistematis dibanding seni atau sastra. Dan butuh pemahaman lebih dalam dibanding ilmu sosial. Bukan bermaksud merendahkan ilmu lain. Alasan saya memilih kimia juga karena saya tidak bisa menggambar, tidak pandai berimajinasi, dan tidak terlalu jago menghapal.

Pada awal masuk kuliah banyak juga mahasiswa yang merasa terjebak di kimia atau di UPI-nya. Biasanya mereka menjadikan kimia UPI sebagai pilihan kedua. Makanya agak kepaksa saat menjalaninya untuk pertama kali. 

Orang yang merasa terjebak di kimia-nya biasanya adalah orang yang tidak memilih ilmu eksak sebagai jalur hidupnya. Namun karena mendapat paksaan dari orang tua atau asal milih pilihan kedua yang memiliki passing grade dibawah pilihan pertama. Mereka ini tidak siap dengan materi ilmu eksak yang rada njelimet, karena mental awal yang dipersiapkan sebagai penghafal. Biasanya mereka merasa kesulitan. Padahal sebenarnya mereka ini punya potensi. Terbukti dengan kepercayaan diri mereka memilih jurusan dengan nilai tinggi. Namun karena mereka merasa tidak memiliki passion, akhirnya mereka memilih menjalani seadanya. Tidak sedikit juga dari mereka yang akhirnya mau menerima takdir dan akhirnya mampu survive. Ada juga yang akhirnya malah (seperti terlihat) frustasi dan selalu menyalahkan keadaan.

Orang yang merasa terjebak di UPI-nya biasanya adalah mereka yang sudah dengan pede memilih jurusan dengan passing grade tinggi. Namun harus berlapang dada menerima keputusannya. Orang tipe ini juga akan mengalami kesulitan. Sikap tidak mau menerima batas kemampuan dirinya membuat dia masih berpikiran, dia hanya kurang beruntung. Memiliki prestasi yang baik di jenjang sekolah sebelumnya membuat mereka  memiliki kepercayaan diri yang tinggi yang tidak dibarengi dengan sadar diri. Biasanya mereka ini akan terlalu berleha-leha dan menganggap ia akan mampu menjalani ini dengan mudah. Dan baru sadar setelah teman-teman yang lain telah berlari jauh meninggalkannya. Bagi yang cepat sadar, mereka juga akan bisa ikut menyusul meski dengan tergopoh-gopoh awalnya.
Susah yang kedua adalah dianggap remeh oleh orang yang berkuliah di universitas yang lebih bergengsi. Enggak tahu hanya perasaan berlebihan doang, atau emang iya. Haha. Yang jelas sebenarnya perasaan mereka ini bisa dibenarkan. Namun di sisi lain, perasaan ini muncul karena mereka justru yang tidak mampu membuktikan prestasi dan eksistensinya di dunianya sendiri, sehingga selalu merasa diremehkan oleh orang lain. Intinya sih tidak pede.

Haiio, termasuk yang manakah kamu? Atau sudah merasa sangat puas dan nyaman? Yang ini lebih baik ya. Karena untuk bisa dekat dan meraih sukses itu sendiri, yang pertama adalah bersyukur dengan keadaan saat ini dan selalu menjadikan yang terbaik dari keadaan tersebut. Maksudnya, kalau kita merasa keadaan saat ini bukan yang terbaik, bukan keluhan dan menyalahkan orang lain yang harus kita lupakan. Namun usaha kita untuk merubah keadaan ke situasi yang menurut kita nyaman dan terbaik itu. Butuh keberanian, kerja keras, dan doa tentunya. Selamat berjuang !!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Apa cita-citamu saat kecil? Dokter? Pilot? Presiden bahkan?

Waktu kecil, lagi unyu-unyunya dan sering diburu mang (mang : paman dalam bahasa sunda) sama bibi (bibi : tante dalam bahasa sunda) buat diajak maen, saya pengen jadi dokter. Bahkan dulu Emak saya (emak itu panggilam saya buat nenek dari bapa yang kebetulan orang sunda) sering bilang “kalau Emak sakit, nanti ga usah bayar ya” tapi dengan manjanya saya jawab “Jangan. Tetep bayar dong. Nanti rugi dong”. Kalau saya ingat percakapan itu lagi, saya jadi miris. Masih ingatkah nenek saya dengan percakapan itu? Apa masih ada harapan dalam dirinya untuk berobat gratis ke cucunya? Tapi kalau pun saya terusin cita-cita saya buat jadi dokter sampi sekarang, pasti lahh enggak akan kesampaian, mengingat biaya kuliahnya yang kayanya harus punya pohon duit sendiri.

Kalau Bapak saya beda lagi. Beliau seneng banget nontonin laporan reporter di tayangan info arus mudik. Beliau pengen banget saya bisa kaya gitu. Setelah beres nonton itu, beliau suka bikin akhir laporan sendiri “Saya Widya Pertiwi melaporkan dari Jalur Nagreg.” Inget itu saya jadi pengen nangis. Ya ampun Pa. Jangankan buat ngelaporin keadaan kaya gitu di TV. Presentasi di depan kelas aja saya suka grogi.

Masuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama cita-cita saya jadi ganti. Pengen jadi pramugari. Kayanya asyik aja kalau bisa jalan-jalan tiap hari. Ngunjungi tempat-tempat baru. Menyenangkan lahhh. Tapi lagi-lagi terganjal satu hal. Yang ini konyol pula. Gara-gara gigi saya yang berantakan. Karena saya pernah baca salah satu artikel tentang syarat jadi pramugari itu tidak boleh memakai kawat gigi. Saya? Pakai kawat gigi juga enggak, dan membiarkan gigi saya tetep amburadul. Hehe.

Masuk Sekolah Menengah Atas, saya bener-bener enggak punya cita-cita. Mikirin kuliah jurusan apa aja bingung. Tepatnya tidak punya bakat. Sampai saya ngerasa senang dengan pelajaran kimia dan sekarang kuliah di jurusan itu. Dan ngambil pendidikan. Hahaha. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bakal jadi guru. Yaaa memang tidak semua sarjana pendidikan itu akan jadi guru, tapi peluang untuk memilih jadi ‘guru aja’ jadi makin lebar dong dengan bekal yang dimiliki.

Hmm, adakah diantara kalian yang punya cita-cita konsisten dari kecil sampai sekarang akhirnya menempuh pendidikan sesuai dengan cita-cita itu? Syelamat eaghhh

Tapi pasti banyak juga yang punya cita-cita berubah kaya kepingan cerita saya. Haha. Kenapa?
Mungkin karena faktor biaya pendidikan untuk mewujudkan cita-cita itu mahal banget kaya jadi dokter  tadi. Dibutuhkan effort yang ekstra. Atau seiring dengan tumbuh besarnya kita, kita menemukan profesi lain yang menurut kita lebih menyenangkan. Tidak sedikit pekerjaan seseorang sesuai dengan cita-citanya. Apakah itu menunjukkan kalau kita tidak sukses dalam mewujudkan mimpi kita? Hmm, menurut saya enggak juga. Terkadang Allah punya jalan dan cara lain untuk menunjukkan kasih sayangnya. Termasuk dalam menentukan masa depan kita. Mungkin saja dengan keadaan yang saat ini dijalani, dapat membuat kita lebih dekat dengannya. Hayoo milih mana? Surga di dunia atau di akhirat? Dua-duanya? Ya ya lah. Semua orang juga pengennya gitu. Tapi mungkin kita tidak pernah tahu kalau cita-cita kita benar terwujud, kita akan jadi sombong, tidak dapat mengendalikan diri, atau tidak bisa berlaku amanah. Yang jelas syukuri saja keadaan saat ini dan tetap melakukan yang terbaik dalam setiap usaha kita.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Ramadan sebentar lagi memang akan berakhir. Namun semangatnya masih terlihat di kalangan kaum muslim. Banyak juga yang semakin memeperbanyak ibadahnya di sepertiga waktu terkahir ini karena mengharapkan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Acara buka bareng juga masih banyak terlihat. Tempat makan dari mulai warteg sampai restoran yang nyediain kobokan (banyak banget mangkok dan sendoknya soalnya) masih banyak diburu orang waktu maghrib tiba. Meskipun tidak sedikit juga dari mereka yang malah melupakan solat maghrib gara-gara keenakan ngobrol sama temen lama, karena biasanya buka bareng juga jadi ajang reuni. 

Bagi mereka yang ingin menyentuh sisi sosial lewat buka bareng, biasanya mereka ngajakin anak dari panti atau bagi-bagi makanan ke anak jalanan. Tidak terbatas pada saat buka puasa, sekarang sahur juga banyak dipilih buat waktu beramal ke sesama gitu. Apalagi saat weekend, coba keluar rumah buat ngadain acara sahur bersama anak jalanan. Biasanya kita malah sulit nemuin orang di jalan yang belum dapet makan sahur. Atau parahnya malah bentrok di satu tempat sama kelompok lain yang punya niat sama.

Ramadan emang ajaib. Dari mulai kaum preman sampai kaum hedonis, kadang jadi insaf berjamaah saat Ramadan datang. Masjid jadi penuh. Yang biasanya dengerin lagu korea sekarang ganti jadi nasyid atau murotal qura’an. Biasanya pakai baju kurang bahan, sekarang jadi daftar member hijabers. Tempat dugem tutup. Para wanita penggoda mudik lebih awal karena katanya untuk menghormati bulan Ramadan.
Waktu denger ceramah sebelum solat tarawih atau kuliah subuh, biasanya ustadznya berandai-andai kalau sepanjang tahun itu adalah bulan Ramadan. 
(rada lupa cerita awalnya gimana itu ya. Siapa gitu yang berandai-andai gitu. Maklum, biasanya dengerin dengan kondisi perut masih kenyang atau ngantuk)

Karena masih kecil, maksudnya belum ngerti, saya cuma bisa nyengir kuda. Ogah lah tiap bulan itu jadi Ramadan. Puasa terus dong. Laperrr tiap siang. Huhuhuhu.

Tapi sekarang rasanya emang bener juga. Bukan bermaksud sok alim. Diluar berbagai janji pahala yang dilipatgandakan, yang saya kangenin dari Ramadan itu suasananya. Bahkan salah satu temen saya yang nonmuslim pernah ditanya sama seorang dosen. Dosen PLSBT tepatnya. (Ini dosen PLSBT sering banget kesebut yaa). Beliau bertanya apa perbedaan yang bisa dirasain dia sebagai orang nonmuslim di bulan Ramadan. (enggak tahu juga sih dia jawab jujur apa enggak. hehe). Tapi yang jelas dia jawab kalau dia suka suasana di bulan Ramadan. Katanya saat Ramadan dimana orang-orang lagi puasa, biasanya kita jadi terlihat lebih terkontrol. Yang bisa saya tangkep menurut dia sih gitu. Saya sempet suudzon juga, lebih terkontrol karena lemes kali. Hehehe. Tapi ya apapun alasan seseorang jadi lebih terkontrol saat Ramadan, toh itu adalah hal baik. Ngapain juga harus diungkit-ungkit alasannya.
Sebentar lagi Ramadan pergi dan lebaran dateng. Yang katanya Hari Kemenangan itu kadang jadi seperti momen pembebasan diri dari segala belenggu aturan tak kasat mata dari Ramadan itu sendiri. Berasa itu setan-setan yang katanya diikat saat Ramadan lepas lagi gitu ya. Sampai lebaran ketupat sih masih keliatan baiknya.
(Ada yang enggak tahu tentang lebaran ketupat? Sedikit cerita ya. Di beberapa daerah ada kaya semacam kebiasaan dimana seminggu setelah hari Ied pertama itu, biasanya mereka berlebaran lagi setelah seminggu itu mereka melaksanakan saum syawal.)

Tapi setelahnya tidak sedikit orang yang jadi berubah ke asal. Yang mudik lebih awal itu pulang lagi ke negeri perantauannya. Memenuhi berbagai tempat hiburan gityuu deh. Jilbab yang sempet diborong buat dateng ke berbagai acara pengajian dan pesantern kilat, jadi penghuni lemari paling bawah. Hanya beberapa orang yang masih setia solat berjamaah di mesjid. Itu pun mereka yang sudah masuk kategori usia tidak lagi produktif.
Yang miris lagi anak-anak panti itu kembali menjalani kehidupan normalnya. Tidak ada lagi makanan enak hasil traktiran dari orang-orang. Tidak ada lagi bingkisan yang bisa bikin mereka tersenyum senang. Mungkin saja kalau mereka tidak memiliki keikhlasan dalam hatinya akan keadaannya saat ini, mereka bisa saja berkata, “Pak, Bu, Kang, Teh, ngajak makannya jangan cuma Ramadan doang dong. Kan kita pingin makan enak bukan saat Ramadan aja.”

Buat saya yang orang awam, kadang saya jadi mikir, sebenarnya untung ada Ramadan. Kalau enggak mungkin kita udah bener-bener lupa sama hal baik yang seharusnya kita lakuin. Enggak salah Allah menyelipakan satu bulan diantara sebelas lainnya supaya kita masih ingat sama Dia. Cuma seperduabelas dari waktu kita yang banyak kita habiskan buat urusan duniawi, kayanya egois banget kalau kita masih tetep ga peduli sama ‘ibadah’ kita.
Dan kalau mau lebih bijak, Ramadan itu bisa jadi semacam training pembiasaan diri supaya setelah selesai, kita jadi terbiasa. Terbiasa dengan suasana, kebiasaan, dan berbagai aturan informal yang tak kasat mata tadi, yang biasa kita lakuin di bulan Ramadan. Simpelnya bawa juga deh hal baik yang kita lakukan di bulan Ramadan supaya jadi habit di bulan-bulan lainnya.
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ▼  2022 (1)
    • ▼  September 2022 (1)
      • Menyusun LK 3.1 Best Practice (PPG Dalam Jabatan 2...
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  August 2014 (2)
    • ►  July 2014 (1)
    • ►  June 2014 (2)
    • ►  April 2014 (1)
    • ►  January 2014 (2)
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb