Powered by Blogger.

Pages

  • Home
facebook twitter instagram

Widya's Babble

Self Reminder. Bukan berarti sudah baik.

Rumah Uwa (sebutan untuk kakak orang tau) memang sudah terkenal susah signal untuk beberapa provider. Padahal rumahnya tidak di pingir-pinggir amat. Cuma entah ada hantu apanya gitu.  Jadilah kalau kesana jangan harap bisa update sekedar bilang “di rumah uwa” apalagi harus ‘check-in’ yang melibatkan kekuatan signal yang lebih besar.

Setelah urusan di rumah uwa selesai, akhirnya pulang ke rumah dan ..... lho lho lho. Kenapa signalnya masih kosong. Sudah di-restart beberapa kali, tetap. Sudah pindah HP lain, sama saja. Tapi ganti kartu di HP itu, ternyata HP-nya ga bermasalah. Hmm, ini sudah kedua kalinya saya mengalami hal seperti ini. Tiba-tiba tidak ada signal dan bertuliskan “emergency call only”. Argghht. Kalau dulu, bisa dengan mudah ganti nomor saja. Tapi kalau sekarang, mengingat sudah banyak orang yang tahu nomor ini dan membayangkan mereka akan kesulitan jika ingin menghubungi ... (hahaha, pede) rasanya harus diperjuangkan. Akhirnya saya menghubungi call centre dan jawabannya ... kartu saya rusak bisa dibanti dengan nomor yang sama diganti di Galeri In****t. Hah? Ko bisa? Iya saya tidak tahu dan malas mencari tahu. Soalnya mba operator sudah nyerocos panjang lebar menjelaskan sampai mencarikan Galeri In****t terdekat.

Hmm, akhirnya dua hari kemudian saya meluncur ke Galeri In****t yang telah ditunjukkan mba operator. Letaknya di BEC lt. 3. Meskipun sempat nyasar ke lantai dasar. Ahh, untung saja ada bapak security baik hati yang memberi tahu (karena saya nanya juga sih akhirnya) malah menawarkan untuk mengantarkan. Tapi karena takut dikira anak TK, saya menolak dan memilih kesana sendirian. Ehh, baru sampai lantai dua, malah jumpa teman SMA yang sehari sebelumnya kami sudah reuni dadakan. Hahaha. Kebetulan sekali. Malah dia bersama seorang pria yang sepertinya pacarnya. Huu, padahal kemarin waktu ngobrol pas kumpul-kumpul dia bilang ga punya pacar. Hahaha. Dasar.

Akhirnya sampai juga dan tidak sampai harus menunggu antrian panjang, saya mendapat giliran. Dan setelah menjelaskan tujuan saya, mas customer service itu meminta saya untuk mengisi formulir serta meminta surat identitas. Ia pun pamit dulu untuk meng-copy surat identitas saya. Dan ia kembali dengan SIM card baru di tangannya. Ahhh, senangnya. Saya kira harus menunggu beberapa hari untuk kembali mengaktifkan nomor itu. Ternyata prosesnya hanya singkat. Saya sampai bertanya kembali untuk menegaskan “ini bisa langsung dipake hari ini?”. Sambil senyum mas-nya pun ngangguk. Mungkin aneh liat saya (agak) girang sendiri untuk hal sebiasa ini. Hahaha.  

Ketika sedang mengantri, saya iseng nguping. Dan ternyata kasusnya hampir selalu sama. Fisik kartu rusak dan harus diganti. Saya buta sama sekali masalah teknologi, jadi tidak tahu kalau SIM card itu ternyata punya daya tahan dan bisa rusak juga. Hehehe.


Oh ya, saya perlu bilang “terimakasih In****t” ga? Takut dibilang alay nihh. 
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Sesuatu itu bisa menjadi terkenal lantaran beberapa hal. Bisa karena sesuatu itu memang baik atau hanya sekedar banyak menjadi topik pembicaraan. Seperti halnya tempat yang sempat saya kunjungi beberapa waktu lalu, sekedar untuk menghabiskan waktu libur lebaran. Sebetulnya tempat ini direkomendasikan oleh salah satu teman untuk tempat kita berlibur dan kembali berjumpa setelah sekian lama terpisah oleh ritual mudik. Dan sebagai orang yang baik (hahaha, bohong banget) tadinya rencana saya adalah untuk survey tempat. Maklum saja. Kami adalah geng kongkow yang kemana-mana hanya mengandalkan transportasi umum. Jadinya sedikit repot juga kalau tempat itu tidak bisa dijangkau oleh angkot Bandung. Dan tempat yang teman itu rekomendasikan dalah Tebing Karaton. Katanya sih tempat ini banyak menjadi obrolan di jejaring sosial. Beberapa hari sebelumnya saya memang juga sempat melihat salah seorang senior saya mengupload fotonya disana. Akhirnya, besoknya saya mencoba untuk kesana, dengan .... sebutlah namanya sesuka anda mau.

Jalur menuju Tebing Karaton sama saja seperti ketika anda hendak menuju Taman Hutan Raya Juanda. Dan ketika menemukan pintu gerbang utama Tahura, jangan belok (ya iyalah, bukan kesana tujuannya), tapi terus jalan lurus sampai menemukan belokan ke kanan. Aduh saya lupa nama jalannya apa. Bukit Dago apa gitu. Dan anda akan disuguhi rumah-rumah besar dan kawasan sepi seperti tanpa penghuni. Mungkin juga lantaran waktu itu masih suasana mudik. Terus saja ikuti jalan itu sampai anda mulai menemukan jalan berbatu dan menanjak. Kami juga sempat putus asa dan mengira bahwa kami salah jalan, karena memang tidak ada tanda-tanda kami akan menemukan tempat yang katanya bagus itu. Tapi setelah melihat beberapa motor dari arah sebaliknya, kami percaya diri lagi bahwa kami ada di jalan yang benar. Pokoknya patokan kami adalah Warung Bandrek. Kalau sudah menemukan Warung Bandrek, maka kami tidak khawatir lagi. Entah karena baru pertama kali kesana, kami merasakan bahwa perjalanan ini terasa jauh. Karena perjalanan pulang tidak terasa sejauh ini. Mungkin ini efek jalan menanjak juga. Dan fenomena perjalanan pergi terasa lebih jauh dari perjalanan pulang rasanya memang selalu terasa ketika kita pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Pemandangan selama perjalanan. Hmm, selalu cantik.
Mudah-mudahan akan terus begini. Jangan berubah jadi pemukiman elite terus ya.
Akhirnya Warung Bandrek kita temukan. Dan saat itu sangat sepi. Hanya da dua pengunjung yang duduk disana. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak mampir dan tetap melanjutkan perjalanan. Di depan Warung Bandrek, ternyata jalannya bercabang. Dan tidak ada petunjuk apa-apa disana. Dengan mengandalkan ‘feeling’ dan logika, akhirnya kami pilih jalan kiri. Dan untung saja benar. Hehe. Setelah menanjak meninggalkan Warung Bandrek, anda akan menemukan pemukiman yang menurut saya masih asli ‘desa’ banget. Teman saya malah bilang suasana di pemukiman itu mengingatkannya dengan ruman Neneknya di Garut. Dan saya masih belum membayangkan bagaimana cara mereka untuk mencapai kota. Apa ada jalan lainkah selain jalan yang tadi kami lewati? Karena kami tidak bisa membayangkan kalau harus pulang malam dan melewati jalan berbatu dan hutan disekelilingnya sebelum mencapai rumah. Heran rasanya. Ternyata di pinggiran kota yang setiap harinya penuh dengan hiruk pikuk keramaian dan kunjungan wisatawan, masih ada daerah yang menurut saya bisa dikatakan ‘sedikit terisolasi’ (kalau saja asumsi saya tentang tidak ada akses jalan lain terpenuhi lho). Setelah melewati pemukiman, berarti perjalanan anda tinggal sedikit lagi.
Sedikit lagi malah istirahat
 Namun lagi-lagi karena kami yang tidak tahu letak tempat itu, kami sempat berhenti dan berfoto di tengah perjalanan karena tergoda view ke arah bawah yang cantik. Sampai ada seorang nenek yang lewat bertanya “bade ka tebing, Neng (mau ke Tebing, Neng?)” kami pun mengiyakan sembari senyum. Ahh, satu lagi pemandangan indah. Orang Bandung memang tidak pernah kehilangan keramahannya. Bahkan pada orang yang sama sekali tidak ia kenal. Sampai akhirnya kami sadar dan berpikir mungkin saja tebingnya sudah dekat, karena ternyata sudah ada orang yang menyadari kalau kita sedang menuju kesana. Dan eng ing eng, baru saja sekitar 50 meter, terlihat beberapa motor sudah terparkir di pinggir jalan. Dan terlihat juga beberapa orang yang membantu untuk memarkirkan kendaraan.

Cuma kertas ini ....
Kami pun turun dan mulai melihat sekitar. Lucunya saya sempat mencari loket tiket dan menyadari bahwa tempat ini ternyata bukanlah tempat wisata ‘resmi’. Dan menurut orang sekitar yang menjadi juru parkir dadakan, tempat ini baru ramai dikunjungi sekitar dua bulan lalu. Biasanya hanya pagi dan sore hari. Masuk akal juga mengingat pemandangan sunrise dan sunset sepertinya cukup cantik jika dilihat dari atas tebing. Namun mungkin karena sedang musim liburan, beberapa hari ini siang hari pun masih tetap ramai. Dan satu lagi yang patut diacungi jempol dari masyarakat sekitar. Mereka tidak memanfaatkan tempat ini untuk mencari keuntungan dengan pungutan liar. Jadi biaya masuk sana gratis tis tis tis. Bahkan mereka juga tidak meminta uang parkir kok. Tapi masa iya anda setega itu.


Yapp, and this is Tebing Karaton. Dengan view bentangan hutan Dago hingga kota Bandung bisa anda lihat. Kalau cukup nyali anda bisa juga mencoba untuk menuruni tebing ini dan melihat pemandangan dengan sensasi dari pinggir tebing. Tapi saya tidak seberani itu. Hehe. Cukup menghibur untuk wisata gratisan. Dan sangat menghibur bagi anda yang doyan foto kemudian share ke jejaring sosial, dan memberitahukan bahwa anda tidak ketinggalan jaman telah mengunjungi tempat yang sedang hits di Kota Bandung ini. Hmm, selagi masih anget jadi bahan obrolan, tidak ada salahnya mencoba kesana.
Subhanallah ...



Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Saat jalan-jalan atau kumpul bersama teman rumpi, biasanya banyak sekali hal-hal yang bisa dijadikan topik rumpi alias bahan gosip-an. Mulai dari politik, gosip artis, sampai harga cabe. Dan biasanya kalau sudah kehabisan topik, mata pun mulai bermain mencari bahan lain untuk direnungi atau sekedar jadi bahan humor. Dan biasanya pasti lah tak luput dari suatu fenomena janggal yang mungkin bisa jadi pemandangan yang biasa saja pada akhirnya. Apa sih?

Pernah melihat pasangan tidak serasi. Ceweknya cantik banget, tapi cowoknya ancur. Kalau sudah begini, kegiatan rumpi pun jadi asyik karena sibuk mencari alasan kenapa cerita Beauty and The Beast itu akhirnya bisa sampai di dunia fana yang miskin akan ketulusan ini. Komentar positif mulai dari “pasti cowoknya baik, makanya ceweknya mau” sampai “ceweknya ga neko-neko kali ya. yang penting nyari cowok yang sayang sama dia. makanya mau aja sama cowok yang aku aja sih ogah dikasih gratis” mungkin sudah biasa. Kalau khayalan sudah menggila sih bisa sampai “pasti cowoknya tajir. ceweknya matre. semacam memperbaiki keturunan gitu. kan enak. simbiosis mutualisme” atau yang lebih lagi “jangan-jangan cowoknya maen dukun. hiii”

Atau justru fenomena kebalikannya. Yang pastinya bakal mengundang komentar “Ya ampun, mending sama aku kemana-mana kali ya. Itu cowok ga ketemu aku dulu sih, makanya dapet cewek begitu”

Yahh, begitulah, kadang sekilas ganjil. Tidak adil. Kok bisa? Masa? Dan segudang keheranan yang mengundang orang-orang untuk mencari kelebihan dibalik si ‘jelek’. Allah menciptakan manusia berpasan-pasangan bukan? Dan Allah sudah menjanjikan bahwa orang baik itu untuk orang baik juga. Makaaa? Baik seperti apa sih yang dimaksud Allah. Hmmm,,,

Lantas bagaimana dengan kita? Memang orang sekitar sudah pernah ada yang bilang “Ihh kalian serasi banget ya. Cantik sama ganteng. Pinter sama pinter. Kaya sama kaya. Aduhh, anaknya pasti sempurna”. Kalau belum, ya jangan-jangan anda juga termasuk salah satu yang jadi bahan rumpian orang-orang. 
Lalu bagaimana kalau kita ternyata menjadi salah satu dari ‘mereka’ yang ditimpa ke(tidak)adilan jodoh? Hahaha. Mari kita lihat sisi positifnya....

“Kok, dia mau ya sama aku? Padahal aku biasa-biasa aja. Temen yang deketin dia banyak yang cantik, dan kayanya dia bisa aja kok kalo milih salah satu diantara mereka. Duhh” 
Pernah merasa punya perasaan seperti itu. Haha. Berarti kamu sedang menjadi si ‘jelek’ yang jadi bahan gunjingan geng rumpi. Lalu bagaimana mencari sisi positifnya? Selamat! Berarti kamu termasuk orang baik dan disayang Allah. Mengapa? Ambillah sisi positif dengan mempercayai bahwa karena kebaikan kamu, maka Allah memberikan bonus jodoh yang menurut kamu tidak pantas kamu dapatkan. Dan syukuri saja. Mungkin Allah punya rencana lain dibalik takdir baikmu itu. Mungkin Allah sedang menugaskan kamu untuk menjadikan jodohmu itu se’baik’ dirimu.

“Eh, kok kamu mau sama dia? Kamu tuh cantik kali. Kamu bisa dapetin yang lebih dari dia.”
Wahh, orang-orang komentar seperti itu bagaimana? Sial banget sih aku. Dapet jodoh kok bahkan ga pantes banget buat digandeng kondangan. Hahaha. Selamat juga. Karena ternyata kamu mendapat orang baik dan kamu sedang menjadi bonus bagi jodohmu itu. Serta ambillah sisi positif dengan mempercayai bahwa Allah juga punya skenario yang tidak kalah indah dengan si ‘jelek beruntung’ itu. Mungkin Allah sedang ingin memperbaiki dirimu lewat jodoh ‘jelek’mu itu.

Intinya, saya percaya bahwa “orang baik akan berjodoh dengan orang baik itu” maksudnya adalah motivasi supaya kita selalu memperbaiki diri. Dan ketika kita sudah bertemu jodoh, apa usaha untuk memperbaiki jodoh itu berhenti? Harusnya tidak bukan. Makanya saya percaya bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan untuk saling melengkapi kekurangan dan saling memperbaiki diri.

Kalau menurutmu bagaimana???

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
The woman has right for loving who she likes. Not just because she should loves back.
And sometimes they forget that they have no power to choosing. Because their nature is just for being choosen.

Kami tidak bisa menyalahkan Kartini yang juga tidak bisa melahirkan emansipasi “cinta” untuk kaum wanita. Ia juga jadi korban kekekalan cerita Siti Nurbaya. Atau mungkin ya, ia belajar agama dengan benar.

Karena aku pernah dengar dalam Islam kalau perempuan tidak bisa memilih.
Aku belum terlalu paham pula mengapa Islam menyebut perempuan sebagai makhluk yang istimewa. Apa hanya karena kami akan berwujud sebagai seorang Ibu yang bisa meneruskan garis keturunan kaum pria?
Maafkan aku jodoh, kalau sebelum bertemu denganmu, aku pernah mencintai pria lain dengan sangat.
Aku tidak mau disalahkan. Karena perasaan yang ada juga muncul karena kodrat. Engkau tidak perlu cemburu atau risau. Karena ketika aku melihat anak-anak kita tumbuh, kemudian aku sadar bahwa aku harus ada disini untukmu dan anak-anak kita. Biasanya kaum kami hanya mengubur impian dan cintanya itu dalam-dalam. Dan mungkin itu juga yang akan aku lakukan kelak.

Jodoh, aku selalu bertanya pada kaum kami yang sudah menemukan jodohnya. Begini pertanyaannya “Apa anda memilih atau dipilih?” Sebagian menjadi yang pertama, sebagian menjadi yang kedua. Dan lebih banyak menjawab dengan tidak pasti. Mungkin mereka sedang menyembunyikan rahasia rasa yang mereka kubur itu. Supaya aku yang sedang mencoba menyusuri masa lalunya, tidak menemukan sumur tempat mereka membuang rasa cintanya itu.
Jodoh, aku rasa kaum kami memang tidak punya pilihan.

Kami hanya bisa membuat alasan semacam “aku tidak suka”, “bukan sekarang”, atau “aku masih ingin belajar banyak”.


Sampai akhirnya kami menyadari bahwa usia telah menggerogoti kecantikan kami , takut dengan sebutan ‘perawan tua’, dan  kemudian  mengatakan “ya”.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari Minggu kemarin, 15 Juni 2014 telah jadi hari yang bersejarah bagi salah satu rekan KKN saya. Itu lhooo, Bu Nisa yang dipanggil Icha. Dia nikaaah. *prok prok prok

Berasa terkejut juga ketika tahu emang dia beneran mau nikah. Meski sebelumnya memang dia sempat mengunggah foto-foto prewed ke jejaring sosial. Dan lucunyaa, suami yang sekarang menikahinya bukanlah pacar yang selalu ditenteng jaman KKN. Hihi. Jadi ceritanya dulu itu jaman KKN, Icha pernah punya pacar dan selalu nemenin kegiatan KKN kita. Mulai dari supir-nya Icha sampai fotografer dadakan buat kegiatan kita. Fakta ini kita peroleh justru setelah ngobrol di grup WA. Bahkan ada salah satu teman yang masih menyangka kalau Icha nikah sama ‘Si Aa’ jaman KKN tepat sebelum kita berangkat ke acara resepsinya. Hahaha. Kalau saja kita membiarkan ketidaktahuannya sampai dia salaman di pelaminan, bisa-bisa muncul pertanyaan “lho, ko yang ini suaminya?”.

Bukan maksud mengungkit masa lalu Icha. Tapi dari sini lah kita (temen KKN-nya terutama kaum perempuan) belajar bahwa jodoh itu memang misteri. Berangkat dari Bandung sekitar jam 8 dan melakukan perjalanan ke Karawang, cukup buat kita berlima buat bergosip dan ngobrol mulai dari nostalgia KKN sampai pernikahan. Apalagi tema jodoh kayanya selalu jadi hal menarik buat diobrolin, meski ga jadi jaminan juga orang yang sering ngobrol tentang jodoh, bakal cepet nikah. Maksudnya, beberapa orang (termasuk saya) belum atau bahkan tidak berniat menikah di usia muda. Nanti saja lah, kalau sudah puas main sendirian. Tapi kalau liat orang sudah menemukan pasangan hidupnya, suka jadi ikut senang dan penasaran seperti apa ya jodoh kita.

Kalau kata Bunda Intan (temen KKN juga yang ikut ke resepsi Icha), jodoh itu jorok. Bisa ketemu dimana saja. Oh ya, Bun? Jadi bisa ketemu di tempat sampah juga ya? Ya bisa aja kan kalau ternyata pertemuan awal itu pake adegan buang sampah barengan.

Jodoh itu misteri? Iya. Ada seperti tetangga saya, yang sudah pacaran sejak SMP dan sekarang sudah punya dua orang anak dan yang sulung sudah seumur dengan saya. Tapi lamanya pacaran juga ga jamin kalau jodoh. Ada juga kaya Icha yang baru dekat beberapa bulan kemudian memutuskan menikah. Tapi ada juga yang ga pake proses pacaran, cukup pake taaruf seperti Okky Setiana Dewi yang akhirnya nikah juga.

Dulu saya berandai-andai, saya pengennya nikah sama orang yang sudah saya kenal sejak dulu. Misalnya teman sekolah yang akhirnya bertemu lagi setelah lama tak jumpa. Tapi kalau dipikir-pikir, terlalu biasa. Mending pake adegan ketuker tas dalam bis seperti dalam FTV. Atau ....berbagai skenario lain yang bisa jadi khayalan manusia. Kalau ga ingat jodoh itu seperti rejeki dan kematian yang sudah ditentukan Allah, mungkin manusia akan terus-terusan ‘mengejar’ cintanya pada seseorang yang dianggap sebagai jodohnya.

Dan sekarang saya juga penasaran. Apa jodoh itu bisa berubah?

Saya punya seorang teman dekat. Secara pikiran rasanya kami sangat jauh berbeda. Tak jarang pembicaraan sepele pun akan jadi bahan perdebatan yang panjang. Sampai saling diam dan tidak menyapa pun pernah. Tapi anehnya selalu ada momen yang akan kembali membuat kita jadi ‘baik’.


Mungkin jodoh juga seperti itu. Kita ga pernah tau kalau pramugari dan pilot-nya bisa saja berjodoh.  Dan bahkan kalau saja Jerry itu perempuan, mungkin saja dia akan berjodoh dengan Tom.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


Itu sms yang tiba-tiba saya terima di tengah kegalauan menantikan pendaftaran seminar proposal. Duhh, ada-ada saja humor di tengah kegundahan yang belum berujung (hahahh, bahasanya). Itu dari murid saya di kelas XI IPA 3. Meskipun hati sedang resah, tapi harus tetap profesional. Saya bilang bahwa itu merupakan suatu kejahatan kemanusiaan kalau saya mengajarkan kepada orang sembarangan. Meskipun saya sendiri tidak tahu bagaimana mensintesis senjata pemusnah masal itu. Jangankan membayangkan bagaimana membuatnya. Membayangkan bagaimana dampaknya saja sudah membuat saya ngeri. Sempat saya tanya untuk apa senyawa itu. Dia berseloroh untuk disimpan di kelas. Hhh, duhh muridku.

Hal itu mungkin bisa jadi sepele. Hanya guyonan dari seorang anak SMA yang mungkin sedang iseng membaca artikel atau menonton tv dan menemukan sebuah zat kimia ‘jahat’. Tapi sebagai seorang guru kimia yang dianggap mata pelajaran sulit (yang juga hampir dituliskan dalam semua latar belakang penelitian pendidikan kimia), mendapati seorang murid yang ‘memperhatikan’ mata pelajaran saya, itu adalah sebuah apresiasi. Meskipun tidak bertanya tentang hal yang berhubungan dengan materi hidrolisis garam yang sedang mereka pelajari saat ini, tapi kesadaran mereka terhadap lingkungan yang diisi oleh bejibunnya senyawa kimia membuat saya cukup terharu mengetahui bahwa mereka ‘cukup’ tertarik pada kimia. Meskipun entah dimana letak ketertarikan itu. Misalnya salah satu murid yang tiba-tiba meminta diajarkan membuat senyawa sarin. Entah apa yang ada di pikiran mereka sehingga berpikir sejauh itu. Padahal ulangan tentang materi asam-basa saja masih harus remedial. Tapi keinginan dak ketertarikan pada sesuatu yang ‘jauh’ dari materi yang dipelajari di sekolah ternyata lebih besar. Jadi ada apa dengan anak itu? Atau ada apa dengan konten materi yang mereka pelajari? Atau lebih tepatnya ada apa dengan kurikulum di Indonesia?

Ahh, sudahlah. Kalau berbicara masalah kurikulum jadi panjang. Intinya saya memang belum menemukan urgensi dari rumus larutan penyangga atau hidrolisis garam yang mereka pelajari. Selain membuat mereka menjadi pusing, keblinger, kehilangan semangat belajar, dan akhirnya memilih untuk membenarkan segala cara saat ulangan. Yang jelas fakta yang saya temukan adalah mata mereka terlihat lebih berbinar, posisi duduk mereka jadi lebih tegak dan serius menghadap ke depan justru ketika saya mulai menyebutkan hal-hal yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kimia. Sedangkan ketika saya menjelaskan rumus pH, posisi duduk mereka kembali bersandar dan mata mereka mulai terlihat lelah. Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang tidak bersemangat untuk memahami yang memang sulit. Dan saya juga tidak mau disalahkan karena mengajarkan sesuatu yang dianggap sulit, karena itu memang tuntutan. Kalau tidak begitu, mereka tidak bisa lulus UN. Dilematis.

Sambil membayangkan murid saya yang juga KM di kelasnya, yang juga menurut saya mirip dengan salah satu kakak kelas saya di SMA (dulu), saya malah jadi ikut mengkhayal jauh. Tidak ada yang tahu nasib dan takdir seseorang. Bisa saja anak yang saya temui sekitar empat bulan itu, yang sempat saya ajari larutan penyangga hingga koloid itu, ternyata memang bisa membuat senyawa sarin. Atau malah benda yang mengalahkan bom hidrogen. Tidak ada yang tahu bukan. 

Ahh, tapi Nak, Ibu hanya bisa berdoa bahwa setiap amanah itu akan jatuh ke tangan orang yang tepat. Amanah pemimpin yang sering dijadikan ladang memenuhi kepentingan pribadi, dan berbagai amanah lain  yang sering disalahgunakan. Termasuk amanah ilmu. Semoga bila memang engkau nantinya diberi amanah ilmu ‘berlebih’, maka engkau bisa menggunakan ilmu itu supaya mendatangkan manfaat ya.
Share
Tweet
Pin
Share
5 comments
Akhirnyaa ada ide lagi buat nulis. Haa. Di sela-sela menunggu kegiatan PPL dimulai.

Tadi sore (selepas maghrib sebetulnya) saya mengajar private anak SMP. Baru Kelas 7. Dan di sela-sela belajar, biasa kalau selalu ada sesi curhat. Supaya enggak ngantuk juga. Waktu selepas maghrib itu kan memang cocok untuk tidur-tiduran di kasur sambil twitteran atau sekedar dengerin radio. Ini malah disuruh belajar. Yaa siapa yang tidak bosan. Hehe.

Di curhatnya itu, dia cerita tentang kejadian tadi pagi yang hampir membuat dia telat masuk sekolah. Membuat dia menggerutu pada Ayahnya dalam perjalanan. Meski menurut pengakuan sang anak, Ayahnya malah bilang “ehh, ya ga boleh bilang gitu dong”. Jadii, ceritanya tadi pagi itu dia ke sekolah diantar ayahnya dan mendapati jalanan terhenti. Ternyata ada serombongan kawalan polisi. Awalnya dia tidak tahu apa yang dikawal polisi itu. Sampai beberapa meter dia mengamati dan ternyata.... serombongan orang yang sedang naik sepeda. Hah? Naik sepeda dikawal polisi? Iya. Meskipun tidak tahu pasti, tapi menurut dia itu adalah rombongan pejabat penting yang sedang melaksanakan program Jumat Bersepeda yang diagagas Walkot Bandung. Ckck. Dan dengan kesal kemudian dia menggerutu “lebay amat ampe dikawal gitu. Padahal rakyatnya udah telah mau masuk sekolah”. Hohoho. Saya jadi tergelitik sendiri. Kritikan semacam itu bisa juga keluar dari anak Kelas 7 SMP. Kritikan terhadap sebuah kebijakan yang ternyata dalam pelaksanaanya malah tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Hmm

Dan ... yang masih saya kurang paham adalah kenapa ya pejabat-pejabat itu senang sekali diistemewakan? Tidak semua sih. Banyak juga dari mereka yang bersikap merakyat.

Jadi ingat kejadian beberapa minggu lalu, saat saya harus kuliah jam 1 siang. Seperti biasa saya pergi jam 11 dari rumah. Jarak yang jauh dan antisipasi macet membuat saya harus menyediakan waktu ekstra untuk perjalanan yang ‘hanya’ sekedar ke kampus. Yang menurut teman saya, sama seperti waktu tempuh Setiabudhi dengan kota asalnya, Subang. Ohh Bandung, mengapa engkau sekarang sudah mirip Jakarta?

Tidak biasanya macet di daerah Halteu (Jl. Abdurahman Saleh) menjadi luar biasa panjang dan lama. Menurut sopir angkot arah sebaliknya sih, macetnya sampai Padjadjaran. Banyak juga yang menyerah dan akhirnya memilih untuk turun dan berjalan kaki. Termasuk saya akhrinya. Tapi tidak mungkin juga kalau saya harus berjalan kaki sampai kampus. Akhirnya saya putuskan untuk jalan kaki hingga menemukan angkot yang harus saya naiki selanjutnya, jurusan Lembang. Meski sudah turun dan jalan kaki, tetap saja membuat saya harus menghubungi dosen meminta izin untuk datang telat. Dan alhamdulillah diizinkan. Sampai di kampus pun jadi jam 1.30 yang biasanya hanya sekitar jam 12.30 atau paling lambat juga jam 12.45. Saya pun bingung ketika menjelaskan alasan mengapa saya datang terlambat. Karena terkesan konyol dan mengada-ada. Tapi memang itu lah adanya. Macet yang sampai mengakibatkan semua siswa yang masuk sekolah shift siang hari itu disebabkan oleh ... pemakaman salah satu ‘orang penting’ yang dimakamkan di Sirnaraga. Dengan jumlah pengantar dan juga kendaraannya yang banyak hingga membuat berita macet itu ramai di social media. Komentar lucu dari sopir yang saya naiki adalah “Euhh ini orang udah meninggal aja nyusahin orang banyak orang. Gimana waktu hidup” sambil bercanda juga sih. Hehe.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340) ~ngutip dari websitenya rival saya, Oki Setiana Dewi.

Jangan-jangan pertanyaan yang jadi judul tulisan ini bakal ditanyain juga. Oh enggak. Tidak ada dasarnya. Saya juga enggak mau dituduh merubah hadits. Ya habis, jejaring sosial itu bisa jadi ladang amal atau malah lumbung dosa juga sih.

Sejak kapan fenomena jejaring sosial yang mengangkat pamor internet ini mulai menjamur , tidak tahu pasti. Saya bukan pengamat teknologi. Tapi setuju kan kalau saya bilang gara-gara facebook orang jadi melek internet?

Pagi itu saya iseng buka timeline twitter. Masih mesem-mesem ingin tahu kelanjutan tentang Taman Jomblo. Tanggapannya lucu-lucu. Dan parahnya Kang Emil malah suka nimpalin mention dari warganya itu. Mulai dari pertanyaan apa taman jomblo itu bisa menampung semua jomblo se-Bandung Raya sampai masukan untuk melarang orang berpacaran di Taman Jomblo. Alasannya bukan lantaran pemandangan pacaran itu menganggu atau dilarang agama. Tapi katanya orang yang berpacaran di Taman Jomblo itu serakah. Makan lahan orang. Haduhh. Tapi itu lah jejaring sosial. Setiap orang bebas berpendapat, bahkan bisa langsung disampaikan ke pemimpinnya. Kalau sudah begini, jangan-jangan peran ‘wakil rakyat’ juga bisa diganti dengan jejaring sosial.

Tapi kadang kebebasan ini juga bisa ‘menganggu’ orang lain. Mata saya tidak sengaja membaca twit salah seorang teman ke pacarnya yang juga teman saya. Dan parahnya lagi isi mention itu seolah menandakan kalau mereka sedang bermasalah. Bukan seolah sih. Memang begitu. Orang awam yang tidak kenal mereka saja pasti bisa tahu kalau mereka adalah dua sejoli yang sedang mengalami masalah dalam hubungan mereka. Atau mantan dua orang sejoli yang baru saja putus dan ramai saling menyalahkan. Hadeuhh, mood saya untuk mencari informasi tentang Taman Jomblo jadi turun. Beberapa hari yang lalu juga begitu. Bahkan timeline saya penuh sama ocehan mereka berdua. Apa saya unfollow saja ya dua orang ini? Tidak enak juga. Masalahnya keduanya teman saya. Hadeuhh.

Sejujurnya saya juga pernah mengalami hal serupa. Galau akibat cinta, tugas kuliah, atau sulitnya mencari sesuap nasi. Tapi, teu kitu oge meureun. Meuni nepi ka pasea dina twitter mah. (Tapi, tidak sampai begitu juga kali. Sampai berantem di twitter.) Masih mending kalau yang diposting itu hal yang menyenangkan. Baru dilamar misalnya. Kan yang baca jadi ikut senang dan semakin ingin cepat nikah (*lho?). Seketika juga saya jadi geli sendiri kalau mengingat berapa kali saya update tentang kegundahan hati. Berharap sang penyebab gundah membaca curahan hati dan mau mengerti.  Tapi yang ada sang penyebab gundah itu malah mengejak saya. Katanya “kok facebook udah kaya dinding ratapan. Berhasil tuh orang Y***** bikin wall. Emang bener dipake meratap kok sama yang punya”. Meskipun sempat kesel juga sama ini orang, tapi memang ada benarnya. Dan setelah saya pikir ulang setelah gundah itu tidak lagi muncul. Saya jadi ilfil sendiri.
Pertama, malu lah kalau masalah kita terkespos oleh orang lain. Artis saja tidak mau masalahnya masuk infotainment.
Kedua, masih mending kalau sang penyebab galau itu mengerti. Lahh kalau dia hanya mesem-mesem aja, ketawa, atau malah tersenyum kecut kemudian ilfil. Rugi kita juga. Soalnya kalau saya perhatikan, laki-laki itu cenderung menggunakan pikirannya dibanding perasaannya. Jadi kalau dia membaca postingan seorang perempuan, ya tidak akan berpengaruh terhadap perasaannya. Lain lagi kalau sang penyebab gundah itu laki-laki yang ‘tidak biasa’ ya atau malah laki-lakinya yang ikut gundah seperti yang saya obrolkan di atas.
Memang sepertinya, jejaring sosial itu memunculkan tren baru. Galau rame-rame. Jadi kalau yang lagi galau, sebaiknya hindari jejaring sosial dulu deh. Daripada tambah galau. Mending nonton komedi, baca buku, atau ambil air wudhu terus baca qur’an deh. (Ihh, solehah banget kan saya? Haha)

Sebetulnya memang tidak semua orang menggunakan jejaring sosialnya untuk galau. Beberapa orang yang dulunya menganggap facebook itu bid’ah malah sekarang  mengeroyok facebook sebagai media dakwah. Yang ini positif dibanding yang membuatnya sebagai media galau. Jadi kalau yang lagi galau, buka jejaring sosial, baca postingan dakwah, langsung deh tiba-tiba pengen jadi relawan ke daerah timur tengah (yang ini berlebihan dan rasanya kejauhan).

Ada lagi yang menggunakan sebagai media eksis. Foto sana-sini. Tag tempat sana-sini. Menunjukkan betapa sibuk dan gaulnya diri mereka. Saya juga sempat kok melakukan hal itu untuk beberapa saat. Saat pertama kali mencoba jejaring sosial baru. Tapi lama kelamaan bosan juga. Lagian yang tidak saya habis pikir, sempat-sempatnya mereka update dulu ketika berada di suatu tempat. Menurut saya kemungkinan mereka tidak bisa menikmati kehidupan nyata mereka. Saya saja merasa tidak ada waktu untuk sekedar update atau posting foto kalau sedang berada di suatu  tempat. Mungkin karena saya menikmati lingkungan itu. Setuju? Lebih parahnya dan tidak habis pikir, path malah menyediakan tombol untuk tidur dan bangun. Malah sampai ada komentar segala kalau kita tidur terlalu larut, bangun terlalu siang, atau tidur terlalu sebentar. Kenapa seolah path itu jadi lebih cerewet dari pacar?


Ya sudahlah ya. Kembali pada diri masing-masing saja. Sejujurnya sikap seperti apa pun dalam jejaring sosial yang saya tuliskan di sini, tidak lepas juga dari saya. Maksudnya jangan anggap saya tidak pernah galau atau ngeluh atau posting foto di suatu tempat pada jejaring sosial. Maksud saya ya, setidaknya kita lebih bisa tahu waktu dan menjaga ‘nafsu’ untuk terus-menerus tergantung pada jejaring sosial yang ada di dunia maya. Apalagi sampai lupa pada dunia nyata dan jadi orang yang kurang bermanfaat karena waktunya hanya dihabiskan untuk hal yang kurang ‘penting’. Ini juga masukan untuk saya. Karena kalau waktu libur, tanpa kegiatan, hawa tempat tidur sangat menggoda untuk didiami sambil terus-menerus melototin timeline.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

About me

Widya P Suharman

Melankolis-Plegmatis
Ibu dari satu anak kandung dan Ibu dari puluhan siswa

Popular Posts

  • Membuat Surat Keterangan (Suket) Sehat Jasmani dan Rohani Serta SKBN di RSUD Cibabat
    Saat melamar pekerjaan atau mendaftar sekolah (biasanya kedinasan), ada instansi yang mensyaratkan surat keterangan (suket) sehat jasmani ...
  • Penghambat Seleksi CPNS
    Sekali lagi ya, jadi PNS itu bukan cita-cita semua orang. Bukan juga cara cepat biar kaya karena penghasilannya biasa saja. Masih banyak pe...
  • Dua Manusia Yang Salah Sangka
    “Nikah deh, nanti bakal tahu rasanya gimana.” Seolah tidak     merasakan bagaimana sumpeknya jadi jomblo yang tiap lebaran ditanya...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 3 - SKB) #2019goestoASN
    Ada empat orang yang nilainya melampaui  passing grade  SKD, tapi yang lolos ke SKB maksimal 3 X formasi. Karena formasi Guru Kimia di SMA ...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 4 - Pemberkasan) #2019goestoASN
    Sebulan lebih menunggu pengumuman hasil integrasi SKD-SKB yang menjadi penentu kelulusan seleksi CPNS (tentang proses SKB 👉 bisa buka ini...
  • Share Pengalaman Seleksi CPNS Guru Kimia DKI (Part 2 - SKD) #2019goestoASN
    Setelah kemarin nulis tentang bagaimana mencari formasi yang sesuai dengan latar pendidikan sampai dengan tahapan seleksi administrasi (kl...
  • Seangker Itukah Anker ??
    Sebetulnya bukan pertama kali saya pake moda transportasi commuter line alias KRL yang menjadi sangat berjasa bagi kaum komutasi. Gara-ga...
  • Malu Bertanya, Motor Tertahan, Uang Melayang, Pengalaman
    Kejadian ini hanya dilakukan oleh profesional. Jangan ditiru jika ada anda belum cukup sabar. *padahal kayanya banyak yang ngalamin lebih ...
  • Sepuluh Hari Pertama Jadi Istri
    Pekan lalu, tepatnya Minggu 1 Juli 2018 saya melepas lajang 💑. Ada sedikit penyesalan ... kenapa ga dari dulu 😅. Tapi, tetap aja masih ad...
  • Jangan Asal Speak Up
    Peran manusia sebagai makhluk sosial menuntut kita untuk bisa berkomunikasi secara sosial, entah lewat tulisan atau yang lebih seringkali k...

Blog Archive

  • ►  2022 (1)
    • ►  September 2022 (1)
  • ►  2019 (10)
    • ►  May 2019 (1)
    • ►  March 2019 (1)
    • ►  February 2019 (6)
    • ►  January 2019 (2)
  • ►  2018 (16)
    • ►  August 2018 (1)
    • ►  July 2018 (2)
    • ►  June 2018 (1)
    • ►  March 2018 (5)
    • ►  February 2018 (4)
    • ►  January 2018 (3)
  • ►  2017 (4)
    • ►  September 2017 (1)
    • ►  August 2017 (2)
    • ►  July 2017 (1)
  • ►  2016 (9)
    • ►  September 2016 (1)
    • ►  July 2016 (3)
    • ►  June 2016 (1)
    • ►  April 2016 (4)
  • ►  2015 (2)
    • ►  June 2015 (1)
    • ►  March 2015 (1)
  • ▼  2014 (8)
    • ▼  August 2014 (2)
      • Signal Tidak Muncul, SIM Card Rusak, Ganti Baru
      • Tebing Karaton. Wisata Gratis, Hiburan Minimalis.
    • ►  July 2014 (1)
      • Ke(tidak)adilan Jodoh
    • ►  June 2014 (2)
      • Jodoh, Aku Perempuan dan Ini Kodratku
      • (Lagi-lagi) Jodoh
    • ►  April 2014 (1)
      • “Bu, ajarin bikin senyawa sarin”
    • ►  January 2014 (2)
      • Duhh, Orang Penting
      • Digunakan Untuk Apa Social Media-mu?
  • ►  2013 (26)
    • ►  December 2013 (4)
    • ►  November 2013 (5)
    • ►  October 2013 (2)
    • ►  September 2013 (1)
    • ►  August 2013 (3)
    • ►  June 2013 (2)
    • ►  April 2013 (1)
    • ►  March 2013 (3)
    • ►  February 2013 (2)
    • ►  January 2013 (3)
  • ►  2012 (22)
    • ►  December 2012 (1)
    • ►  November 2012 (1)
    • ►  October 2012 (1)
    • ►  September 2012 (2)
    • ►  August 2012 (3)
    • ►  July 2012 (5)
    • ►  June 2012 (9)
  • ►  2010 (2)
    • ►  April 2010 (2)

Categories

  • cerita guru (1)
  • cerita PPL (1)
  • corat-coret (37)
  • kuliah (2)
  • meluangkan waktu (3)
  • nyastra (2)
  • opini (36)
  • perjalanan (6)
  • The Journey of Emak-emak (9)

Created with by ThemeXpose . Distributed by Weblyb