Itu sms yang tiba-tiba saya
terima di tengah kegalauan menantikan pendaftaran seminar proposal. Duhh,
ada-ada saja humor di tengah kegundahan yang belum berujung (hahahh,
bahasanya). Itu dari murid saya di kelas XI IPA 3. Meskipun hati sedang resah,
tapi harus tetap profesional. Saya bilang bahwa itu merupakan suatu kejahatan
kemanusiaan kalau saya mengajarkan kepada orang sembarangan. Meskipun saya
sendiri tidak tahu bagaimana mensintesis senjata pemusnah masal itu. Jangankan
membayangkan bagaimana membuatnya. Membayangkan bagaimana dampaknya saja sudah
membuat saya ngeri. Sempat saya tanya untuk apa senyawa itu. Dia berseloroh
untuk disimpan di kelas. Hhh, duhh muridku.
Hal itu mungkin bisa jadi sepele.
Hanya guyonan dari seorang anak SMA yang mungkin sedang iseng membaca artikel
atau menonton tv dan menemukan sebuah zat kimia ‘jahat’. Tapi sebagai seorang
guru kimia yang dianggap mata pelajaran sulit (yang juga hampir dituliskan
dalam semua latar belakang penelitian pendidikan kimia), mendapati seorang
murid yang ‘memperhatikan’ mata pelajaran saya, itu adalah sebuah apresiasi.
Meskipun tidak bertanya tentang hal yang berhubungan dengan materi hidrolisis
garam yang sedang mereka pelajari saat ini, tapi kesadaran mereka terhadap
lingkungan yang diisi oleh bejibunnya senyawa kimia membuat saya cukup terharu
mengetahui bahwa mereka ‘cukup’ tertarik pada kimia. Meskipun entah dimana
letak ketertarikan itu. Misalnya salah satu murid yang tiba-tiba meminta
diajarkan membuat senyawa sarin. Entah apa yang ada di pikiran mereka sehingga
berpikir sejauh itu. Padahal ulangan tentang materi asam-basa saja masih harus
remedial. Tapi keinginan dak ketertarikan pada sesuatu yang ‘jauh’ dari materi
yang dipelajari di sekolah ternyata lebih besar. Jadi ada apa dengan anak itu?
Atau ada apa dengan konten materi yang mereka pelajari? Atau lebih tepatnya ada
apa dengan kurikulum di Indonesia?
Ahh, sudahlah. Kalau berbicara
masalah kurikulum jadi panjang. Intinya saya memang belum menemukan urgensi
dari rumus larutan penyangga atau hidrolisis garam yang mereka pelajari. Selain
membuat mereka menjadi pusing, keblinger, kehilangan semangat belajar, dan
akhirnya memilih untuk membenarkan segala cara saat ulangan. Yang jelas fakta
yang saya temukan adalah mata mereka terlihat lebih berbinar, posisi duduk
mereka jadi lebih tegak dan serius menghadap ke depan justru ketika saya mulai
menyebutkan hal-hal yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan kimia. Sedangkan ketika saya menjelaskan rumus pH, posisi
duduk mereka kembali bersandar dan mata mereka mulai terlihat lelah. Saya tidak
bisa menyalahkan mereka yang tidak bersemangat untuk memahami yang memang
sulit. Dan saya juga tidak mau disalahkan karena mengajarkan sesuatu yang
dianggap sulit, karena itu memang tuntutan. Kalau tidak begitu, mereka tidak
bisa lulus UN. Dilematis.
Sambil membayangkan murid saya
yang juga KM di kelasnya, yang juga menurut saya mirip dengan salah satu kakak
kelas saya di SMA (dulu), saya malah jadi ikut mengkhayal jauh. Tidak ada yang
tahu nasib dan takdir seseorang. Bisa saja anak yang saya temui sekitar empat
bulan itu, yang sempat saya ajari larutan penyangga hingga koloid itu, ternyata
memang bisa membuat senyawa sarin. Atau malah benda yang mengalahkan bom
hidrogen. Tidak ada yang tahu bukan.
Ahh, tapi Nak, Ibu hanya bisa
berdoa bahwa setiap amanah itu akan jatuh ke tangan orang yang tepat. Amanah
pemimpin yang sering dijadikan ladang memenuhi kepentingan pribadi, dan berbagai
amanah lain yang sering disalahgunakan.
Termasuk amanah ilmu. Semoga bila memang engkau nantinya diberi amanah ilmu ‘berlebih’,
maka engkau bisa menggunakan ilmu itu supaya mendatangkan manfaat ya.