Anak = Sumber Semangat
Setiap
pagi, beliau selalu mendorong roda birunya berkeliling. Hmm, entah hingga
daerah mana saja. Yang pasti sekitar jam 7 menuju 7.30, roda itu selalu
melewati depan rumah. Tetangga depan rumah saya adalah pelanggan setia penjual
bubur itu. Maklum, penghuninya hanya sepasang kakek dan nenek yang mungkin
sudah malas untuk repot-repot membuat sarapan. Sesekali saja saya atau adik
ikut nimbrung membeli juga. Itu pun kadang, ibu yang membelikannya. Pernah
suatu ketika, saya membeli sendiri. Dan, beliau meracik bubur sambil bercerita
tentang anaknya yang sedang menempuh bangku kuliah. Dua kali, tiga kali, beliau
selalu bercerita hal yang sama. Heyy, saya sudah pernah dengar cerita itu.
Batin saya dalam hati tanpa berani bilang langsung. Takut menyinggung perasaannya.
Saya akhirnya menceritakan hal itu pada Ibu. Bertanya apakah saat Ibu membeli
bubur itu, penjualnya juga selalu bercerita hal yang sama. Ibu tersenyum sambil
menjelaskan kalau penjual bubur itu memang selalu menceritakan hal yang sama
saat melayani pembeli, meskipun itu pembeli yang sama dengan hari kemarin.
Kemarin,
saya berangkat ke kampus agak siang. Karena memang jadwal kuliah pertama saya
pukul 1 siang. Saya duduk tepat di belakang supir angkot jurusan
Cijerah-Sederhana yang akan mengantarkan saya hingga Pasteur dan sambung lagi
dengan angkot menuju Lembang. Karena jalanan yang padat merayap itu, cukup
membuat saya jenuh juga, saya iseng mendengarkan lagu lewat headset. Dan sempat
tidak menyadari ketika supir angkot (yang lagi-lagi berusia sekitar 50-an) itu
ternyata mengajak saya mengobrol. Awalnya dia bertanya saya hendak kemana. Saya
menjawab saya akan melanjutkan dengan angkot Lembang. Soalnya saya kira dia
hendak mencari jalan lain untuk mencari jalan yang lebih lancar. Kemudian dia bertanya
lagi, apakah saya hendak kuliah atau kerja. Saya jawab lagi kuliah. Disusul
dengan beberapa pertanyaan seputar semester berapa, kuliah dimana, jurusan apa,
dan persiapan skripsi. Kemudian, dia tiba-tiba bercerita tentang anaknya yang
juga sedang kuliah. Waktu itu saya tidak sempat menanyakan lebih lanjut tentang
anaknya itu, karena saya memang harus segera turun dari angkot untuk sambung
dengan angkot lain.
Di
angkot Lembang menuju kampus, saya melamunkan supir angkot dan penjual bubur
itu. Sekarang saya baru sadar, betapa anak adalah sumber semangat bagi para
orang tuanya membanting tulang. Mungkin rasa lelah yang dirasakan penjual bubur
itu seketika sirna saat dia bisa membanggakan anaknya yang sedang kuliah. Maka
ia selalu menceritakan hal itu pada pembelinya. Bagi sebagian orang,
menyekolahkan anaknya hingga bangku kuliah atau bahkan hingga gelar Ph.D
mungkin hal yang biasa saja. Tapi bagi supir angkot dan penjual bubur itu, hal
tersebut bisa jadi sebuah kebanggan besar dalam hidupnya. “Hanya dengan
mendorong gerobak atau di belakang kemudi angkot, saya bisa memberikan harapan
kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak saya” Itu mungkin yang dipikirkan
kedua orang itu. Atau “Meskipun saya seorang supir angkot atau penjual bubur,
anak saya bisa memiliki prestasi hingga sampai di bangku kuliah”
Sebagian
anak mungkin risih ketika orang tuanya menceritakan keberhasilan atau prestasi
anaknya di depan saudara atau kerabatnya. Anak tersebut pasti bilang “Buat apa
sih Bu, Pak, bilang-bilang ke orang-orang. Nanti dikira sombong”. Tapi saya
sudah belajar dari kedua orang tadi. Terlepas dari penilaian di mata Allah,
bahwa tujuan orang tua melakukan hal tersebut bukan lantaran ia ingin
menyombongkan diri. Melainkan ia merasa bangga terhadapa anaknya tersebut.
0 comments