Kereta, Bapak

by - September 25, 2013



                Saya adalah anak pertama. Keinginan orang tua lagi. Hehe. Maksudnya, menurut Ibu saya sih, kedua orang tua saya menginginkan anak perempuan untuk anak pertama mereka. Meski mereka tidak berani mengucapkan itu sebelum saya lahir. Takut anaknya laki-laki. Barulah mereka jujur satu sama lain, setelah saya benar-benar ada.
                Sebagai anak pertama dan dengan jarak tujuh tahun dengan kelahiran adik, saya merasa kenyang dengan kasih sayang. Terutama kasih sayang seorang ... Bapak. Meski dengan kehidupan kami yang sederhana. Bapak. (eh sumpah lah, kenapa tiba-tiba saya pengen nangis waktu nulis kata terakhir tadi). Pekerjaan beliau menuntutnya untuk tidak bisa libur kecuali libur nasional. Makanya, Cuma saat itu saja beliau bisa ada di rumah berkumpul bersama kami.
                Ada sebuah kebiasaan yang biasa kami lakukan kala tanggal merah pada kalender itu tiba. Hmm, bukan kebiasaan juga sih. Hanya beberapa kali. Tapi cukup membuat saya akan selalu mengingat jejak-jejak perjalanan sederhana yang kami lewati berdua. (heiii, sekarang beneran nangis saya. Hahaha). Waktu itu saya masih SD, sekitar kelas satu atau dua gitu. Adik saya masih sangat bayi untuk bisa diajak jalan-jalan. Jadinya biasanya hanya kami berdua yang jalan-jalan.
                Waktu itu, Idul Adha, kami berdua mengunjungi salah satu sanak saudara di daerah Maleber. Dekat rel kereta. Saya adalah tipe anak yang gampang bosan. Dan pasti saya akan merengut kalau sudah bosan. Ditambah lagi saya ini anak yang pendiam sehingga tidak bisa bermain dengan saudara-saudara yang lain, meski mereka sudah mengajak dengan paksa. Hehe. Waktu itu, beliau (bapak) mengajak saya jalan-jalan di sekitar rumah dan menuju ... stasiun? Stasiun Andir. Bagi yang orang Bandung atau sering melewati daerah Maleber, pasti tidak asing dengan Stasiun yang sekarang tidak lagi beroperasi karena jaraknya dengan jalan yang terlalu dekat.
Pagi di ex Stasiun Andir
                Beliau kemudian mengajak saya naik KRD menuju Cicalengka. Saya yang memang suka dengan kereta, langsung mengiyakan. Meski kami tidak punya kepentingan apa-apa. Sampai di Stasiun Cicalengka, kami hanya makan, dan pulang lagi menuju Stasiun Andir.
                Lain harinya, saya mengajak Bapak untuk melakukan hal serupa. Saya tidak tahu perasaan beliau. Mungkin beliau sebetulnya malas melakukannya lagi. Tapi, beliau mau. Sampai di Stasiun Andir, kami lihat jadwal. Ternyata kereta yang sedang menuju Stasiun Andir adalah kereta menuju Padalarang. Kata Bapak, perjalanan menuju Padalarang pendek. Dan tidak seindah pemandangan perjalanan ke Cicalengka. Saya cemberut lagi. Akhirnya, kami naik juga kereta menuju Padalarang. Tapi dari Padalarang, kami tidak langsung menuju Andir. Tapi ke Cicalengka terlabih dahulu, dan baru menuju Andir. Kalau saya bayangkan sekarang, ko Bapak mau? Haha
                Tidak ada yang istimewa dari KRD yang membawa kami “kekeretaan”. Begitu kami menyebut aktivitas yang mungkin bagi sebagian orang aneh. KRD yang biasa digunakan sebagai trasnportasi orang-orang di sekitar Kota Bandung menuju Kota Bandung-nya, kami jadikan mainan. Kereta itu bukanlah kereta dengan tempat duduk berhadapan seperti kereta pada umumnya. Kereta itu hanya memiliki tempat duduk di kedua sisinya. Dan kosong melongpong di bagian tengah. Tapi jangan bayangkan di bagian tengah itu kita bisa selonjoran atau gelar tikar. Bagian tengah itu akan penuh sesak oleh penumpang dan.. lalu lalang pedagang, pengamen, serta copet mungkin. Kalau kami naik dari Stasiun pertengahan seperti Andir, jangan harap dapat tempat duduk. Tapi kalau naik dari Stasiun ujung seperti Padalarang atau Cicalengka, pilihlah tempat duduk dimana kau suka. Di situlah saya bisa duduk, menghadap jendela, dan melihat-lihat pemandangan sambil sesekali bertanya pada Bapak.
                Kebiasaan ini hendak ditularkan pada adik saya. Setelah dia agak besar, kalau tidak salah saya sudah masuk SMP atau SD kelas enam. Kami bertiga memulai perjalanan dari Stasiun Andir. Dan untungnya kereta saat itu akan menuju Cicalengka. Sehingga kami tidak perlu melakukak double route. Tapi baru saja sampai di Stasiun Cikudapateuh, adik saya minta turun. Katanya keretanya ga nyaman. Banyak pedagang dan pengamen yang bikin dia pusing. Hedehhh. Beda bakat kali ya. Haha. Dan kebiasaan kami pun terhenti sampai di situ. Seiring dengan saya yang beranjak besar dan menemukan teman main baru.
                Waktu itu, perjalanan itu terasa menyenangkan hanya dari sisi anak-anak saya saja. Tapi sekarang, saya merasa itu sebuah bentuk kasih sayang. Meski saya tidak bisa mengingat setiap pemandangan yang dilewati, tapi saya masih bisa melihat hamparan sawah dan gunung kapur dalam ingatan. Meski sekarang saya lupa urutan stasiun yang akan kami lewati (dulu hapal banget). Tapi saya tidak akan lupa untuk menceritakan kisah ini pada anak saya nanti.
                Dan sekarang, saya rindu dengan masa-masa itu. Sampai sekarang pun, saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya tanpa Bapak. Dulu, saya pernah iri sama seorang teman karena ketika dia pulang ke rumah, diam-diam Ayahnya mencium keningnya saat ia tidur. Saya mengutarakan rasa iri saya pada teman itu. Dan tau apa yang dia bilang? “Bapak kamu mungkin ga pernah cium kening kamu. Tapi dia nganter-jemput kamu tiap hari, Wid” Huwaaa. Saya ga bisa bilang apa-apa lagi.
                Kemarin hingga saat ini bahkan, saya masih selalu menyalahkan keadaan saya yang tidak bisa pake motor kalau kondisi darurat sedang menimpa. Tapi kadang saya bersyukur juga dengan kepercayaan yang belum bisa Allah berikan itu. Mungkin Allah sedang memberikan saya waktu plus-plus dengan Bapak. Sebelum saya, si anak sulung perempuan ini diambil seseorang. Sebelum saya benar-benar menemukan imam pengganti beliau. Ya Allah, boleh saya minta imam saya nanti memiliki sikap penyayang, pengertian, dan tanggung jawab seperti beliau? Tapi enggak pake kumis ya. ^^v

You May Also Like

0 comments