Saya tulis ini kemarin pagi sekitar jam 9. Tapi baru posting hari ini, karena baru ada koneksi internet. Hehe.
Tidak ada yang istimewa dari
angka dua puluh dua. Kecuali deretan dua angka yang sama, dan kedua angka itu
adalah angka dua. Biasa saja. Kecuali kalau ada yang mengingat kalau nomor
rumah saya adalah dua puluh dua. Atau kalau anda adalah penonton sepakbola dan
menghitung jumlah pemain yang ada di lapangan, itu juga dua puluh dua. Dan satu
lagi, umur saya hari ini tepat dua puluh dua.
Ya, dengan kata lain saya sedang
berulang tahun. Tapi itu tidak penting. Umur yang semakin bertambah mungkin
juga merubah pola pikir setiap orang. Kalau dulu, sewaktu kecil atau remaja,
hari ulang tahun seolah menjadi hari yang istimewa. Namun paradigma itu
ternyata berubah. Hari ulang tahun tak ada bedanya dengan hari lain. Hanya saja
mungkin kita akan mengingat bahwa beberapa tahun ke belakang, pada tanggal itu,
ada seorang perempuan yang rela berjuang untuk melahirkan kita ke bumi. Dan ada
seorang lelaki dan mungkin beberapa kerabat lelaki dan perempuan itu yang menunggu
tangisan kita di luar ruang persalinan. Dan kita, si bayi asing yang baru saja
menghirup oksigen bumi, setelah sembilan bulan berenang dalam plasenta,
mendapat dua orang yang tiba-tiba menyayangi kita. Padahal saya yakin mereka
tidak pernah mengenal kita sebelumnya. Maha Suci Allah yang telah menumbuhkan
kasih sayang dalam hati sepasang orang tua. Dan dengan tanpa pamrih mereka
merawat kita. Melantunkan adzan dan iqomah di kedua telinga kita, mungkin
diiringi rasa haru. Menyusui dan menyuapi kita hingga akhirnya kita bisa makan
sendiri, dan terkadang makan di luar rumah tanpa mengingat mereka yang sedang
menunggu kita hanya karena ingin makan bersama kita. Menemani kita belajar
berjalan. Mengangkat dan menghibur kita
dengan kalimat “tuh lihat, kodoknya loncat” saat kita menangis karena jatuh.
Meskipun setelah besar, kita berbohong pergi belajar bersama agar bisa keluar
rumah untuk bermain. Masih banyak lagi saja ya. Sudah banyak orang yang menulis
tentang orang tua, tanpa kita tahu apakah si penulis ternyata sudah bisa
berbakti pada orang tuanya atau malah meninggalkan mereka demi karir di kota
lain. Saya juga tidak tahu bagaimana indikator birul walidain itu
sendiri. Yang pasti setelah dua puluh dua tahun tinggal bersama dan merepotkan
Bapak Suharman dan Ibu Sugiarti, saya belum merasa menjadi anak yang berbakti.
Belum. Karena saya masih dan sedang berusaha (Semoga tidak menjadi riya).
Tidak ada yang istimewa juga dari
rencana hidup saya di umur dua puluh dua. Yang pasti saya ingat dari kecil, hal
yang selalu saya ingat dengan umur dua puluh dua adalah lulus kuliah. Dan
semoga itu bisa terlaksana. Semoga saya bisa dapat gelar S.Pd sebelum usia saya
masuk ke angka dua puluh tiga (Insyaallah). Lainnya tidak ada. Saya bukan tipe
orang yang berani bermimpi. Hihi. Saya tidak berani bermimpi untuk memiliki sebuah
usaha sendiri di umur dua puluh dua. Saya tidak berani bermimpi untuk bisa
menggaji orang di umur dua puluh dua. Saya tidak berani bermimpi untuk bisa
sukses di umur dua puluh dua. Jangan mengira kalau sekarang saya sudah bisa
melakukan itu semua. Hahaha. Karena hanya seorang motivator yang akan menulis
dengan gaya seperti itu. Hihi. Sedangkan saya Cuma mahasiswa (tingkat akhir)
biasa kok. Dan ini juga bukan buku bestseller, hanya blog pribadi.
Tahu yang istimewa dari saya? Ahh
jangan ditulis disini. Nanti dikira sombong. Biar kalian lihat saja sendiri
(ini malah terkesan lebih sombong). Kado terunik di ulang tahun ini adalah
tampil Seminar Kimia dadakan dan jadi penampil pertama nanti hari Jumat. Dan
lagi-lagi tampil bareng Aang setelah kemarin tampil Simulasi Pembelajaran
bareng sahabat gila itu. Kado yang lain adalah tidak mendapat ucapan sama
sekali dari orang yang dulu sempat jadi istimewa. Ah mungkin ia sudah lupa.
Kalau begitu saya lupakan saja dia.
Alaahh dan sekarang, ketika saya
sedang menulis ini, tiba-tiba Ibu saya datang dan mengecup kedua pipi,
dilanjutkan dengan kening, dan mengusap kepala saya sambil bilang “Selamat
ulang taun teh. Semoga sukses dan bertemu laki-laki yang bertanggung jawab,
soleh dan sayang sama teteh dan Mamah.” Tentu saja beliau bilang dalam Bahasa
Sunda. Sengaja saya sudah terjemahkan. Amin, Mah. Dan jujur saya tidak terlalu
suka ketika orang-orang mendoakan seperti yang Ibu saya doakan terkahir itu.
Bukan saya tidak suka didoakan. Tapi isi doa itu malah membuat saya sedih.
Aneh? Ah tidak. Saya hanya tidak suka ketika orang-orang mendoakan saya tentang
jodoh. Karena saya tidak mau memikirkan masalah itu. Saya lebih senang ketika
orang mendoakan kesuksesan, kesehatan, uang yang banyak, perlindungan dari
Allah, disayang Allah, atau keberkahan. Teman saya Siwi malah mendoakan semoga
saya semakin mahir dalam urusan ranjang. Yang ini paling saya suka. Akhir-akhir
ini saya memang kurang tidur (hahaha). Bahkan malam ketika pergantian umur,
saya hibernasi dari pulang kuliah. (Saya ngerti ko maksud doa teman saya itu.
Emang gila juga dia.)
Cape dari pagi sampe sore nunggu
Papah Momo untuk bimbingan Seminar. Dan pulang kehujanan, sendirian, dan dalam
kondisi pilek. Tau apa yang saya rasakan waktu di angkot? Dingin, ngantuk, dan
tidak bisa leluasa bergerak karena angkotnya penuh. Tau apa yang saya lakukan?
Awalnya buka twitter, nimbrung di beberapa obrolan teman yang nongol di
timeline, habis itu tidur. Macet soalnya. Saya juga tidak tahu pasti apakah
ketika saya tidur, kondisi mulut saya terbuka atau tertutup. Karena ketika saya
tidur, hidung saya mampet. Dan kalau hidung sudah mampet, bagaimana mau
bernapas? Alhasil ... entahlah. Yang pasti ketika saya bangun, air liur saya
tidak menetes kok. Ah bodo amat gimana
itu posisi waktu tidur di angkot kemarin. Yang pasti. Asli. Tersiksa banget.
Mau minta jemput ke Bapak biar cepet sampai, malu. Padahal udah beberapa kali
bales SMS dari Bapak udah pake kode, bilang masih di kampus, dan udah mau
pulang. Udah dikirim tiga kali SMS itu. Tapi masih enggak ngerti. Ya sudahlah.
Lagian kalo dijemput juga tetap kehujanan. Meskipun jadi lebih cepat sampai
rumah. Jadi curhat.
Ada yang mau ikut doain saya?
Boleh. Asal jangan doain masalah jodoh ya. Hmm, boleh sih doain jodoh. Asal
doanya gini.
“Berikan Widya jodoh orang soleh
(kalo bisa ikhwan tapi preman), bertanggung jawab, sukses, sayang sama Widya
dan keluarganya, orang Malang, anak Pertambangan ITB, dan umurnya lebih tua 4-5
taun”
Sip. Apa? Siapa orang itu? Enggak
tahu. Saya juga ngarang. Tidak menjurus ke seseorang. Karena setiap kriteria
yang saya inginkan itu berasalan. Seperti kenapa orang Malang? Karena saya
pengen tinggal disana. Kalau pun tidak menetap, setidaknya tinggal selama
seminggu juga boleh. Nah kalau saya dapat jodoh orang Malang, kemungkinan saya
akan tinggal disana atau diajak mudik kesana.
Kalau tentang Pertambangan,
enggak tahu kenapa. Keren aja. Berasa cowok banget. Kalau masalah ITB, saya
pengen suami saya lebih pinter dari saya. Meski sebenarnya tidak menutup
kemungkinan kalau orang ITB tidak lebih pintar atau masih banyak orang pintar
yang tidak kuliah di ITB. Hmm boleh lah bukan ITB. UGM, UI, atau ITS juga boleh.
Kalau umur lebih tua itu supaya dia lebih
dewasa, tidak egois, dan kalau kata Mamah sebagai orang Jawa sih bisa ngemong.
Kalau yang lain selain yang dijelaskan sih itu standar. Setiap perempuan juga
pasti ingin pendamping yang seperti itu.
Oke. Selamat ulang taun, Widya.
Semoga cepat lulus dan cepat beli Fortuner. Hahaha