Hanya Karena Kami Masih Sendiri, Bukan Berarti Kamu Perlu Dikasihani

by - July 16, 2016

Tulisan ini terbit di hipwee community tanggal 15 Juli 2016. Dapet rekor baru nih di hipwee community, dalam sehari terbit hampir nembus 500 shares. Hihi. Gini aja girang. Soalnya mengingat tulisan sebelumnya mentok di 98 dan ga nambah-nambah lagi kayanya. Tulisan ini copy-paste banget ko sama yang di hipwee, cuma disana plus foto penambah keindahan gitu. Buat yang mau baca versi sana mangga ini linknya. Buat yang mau baca disini aja, juga silahkan.

Belum menikah saat yang lain sudah itu terlihat asing bagi sebagian orang. Padahal kami menganggapnya wajar dan tidak menjadikannya suatu beban. Kami sadar bahwa kehidupan setiap orang beragam. Standar bahagianya pun jadi bermacam-macam. Kalau kebanyakan wanita Indonesia menikah di bawah umur 25, itu hanya karena budaya. Tidak ada aturan tertulis batasan maksimal seorang wanita harus melepas masa lajangnya.

Bagi kami pertanyaan semacam itu menjadi hiburan sekaligus alarm alam. Kami yang menjawab dengan hanya senyuman bukan tidak tahu harus menjawab apa. Kami hanya bingung mulai dari mana harus menjelaskan. Tenang saja. Kami tetap wanita yang akan selalu ingat akan kodratnya. Kami tetap bercita-cita menggenapkan naluri,  menjadi istri juga seorang ibu.

Pergi ke pesta tanpa pasangan memang pilihan kami
Kami senang menerima undangan atau hanya sekadar kabar pernikahan. Kami juga tetap hadir dan turut bahagia. Namun, kedatangan kami yang seorang diri kadang malah mengundang tatapan aneh. Seolah kami adalah badut pesta yang lupa membawa hiasan merah di hidungnya.
Kami hanya mau jadi diri sendiri tanpa perlu terjebak dalam kepura-puraan. Bukan enggan dengan kawan dari lawan jenis. Kami dengan senang hati menerima ajakan, tapi juga tidak mau berpusing ria mencari karena menganggap itu sebuah keharusan. Bagi kami datang dengan orang tua atau teman wanita juga tak masalah. Toh sang pengantin juga tetap senang hati dengan doa dan kehadiran, bukan melihat dengan siapa kami datang.

Kami sadar bahwa pernikahan bukan sekadar hubungan untuk meneruskan garis keturunan
Foto bayi yang lucu dan potret keluarga bahagia bukannya tidak menggelitik kami untuk menyegerakan. Saat kami turut berkomentar betapa lucunya anak pertama kalian, kami juga sedang membayangkan akan seperti apa milik kami nantinya.
Sejatinya pernikahan menjadi ikatan sakral yang hanya akan dipisahkan oleh ajal. Karena itu, seperti yang sudah dilakukan orang-orang, kami juga berhati-hati dalam memutuskan. Kami tak mau kemudian hanya menjadi orang tua yang mengorbankan anak-anak demi mempertahankan ego semata. Kami sedang mempersiapkan diri menjadi orang tua terbaik bagi generasi yang akan lebih baik dari kami nantinya. Tentunya upaya yang kami lakukan akan sia-sia jika kami tak menemukan orang yang juga melakukan persiapan.

Tak perlu risau, kami tetap bisa tampil muda dan segar
Kebebasan kami dari repotnya mengurus tetek bengek urusan rumah tangga membuat kami punya waktu yang lebih leluasa. Kami tak perlu repot mengurus suami pada pagi hari dan bisa mandi dalam bathtub dengan aromaterapi. Saat weekend, kami juga bebas seharian memanjakan diri di salon tanpa perlu ijin siapa pun.
Bukan kami sedang bersorak atas kerepotan pernikahan. Kami hanya ingin kalian sadar bahwa kami tahu kok cara merawat diri dan tampil cantik. Jadi tolong berhenti memberikan tips kecantikan untuk mencari pasangan. Tolong langsung bawakan saja calonnya.

Bukannya pemilih, kami hanya perlu waktu mencari orang asing yang akan diajak berbagi
Tak bisa dipungkiri bahwa laki-laki yang akan mendampingi nanti adalah orang asing pada mulanya. Mereka bukan orang tua atau saudara kandung yang biasa kami ajak bercanda. Kami perlu waktu menyeseuaikan selama pacaran atau bahkan taaruf yang singkat itu. Berbagai perbedaan akan kami pelajari dan kami terus membuka mata dan telinga untuk tahu tentang dia lebih banyak. Karena kami tahu, setelah menikah kami harus menutupnya rapat-rapat agar tak terusik gosip-gosip tetangga.
Pernikahan bukan sekadar berbagi kamar atau lemari bersama. Kami tahu menerima kehadiran orang lain di sebelah saat bangun pagi akan selalu menimbulkan sensasi kaget yang aneh untuk beberapa hari. Ya, mungkin kami juga perlu mencari orang asing dengan ritme dan tempo dengkuran yang bisa menyeimbangi.

Kami akan menikah pada waktunya
Jangan anggap kesendirian kami sebagai bentuk antipati kami pada sebuah hubungan pernikahan. Kami sadar dan tahu betul tentang ibadah untuk menggenapkan setengah agama itu. Kami tetap memikirkan. Kami juga bukan kaum yang memandang sinis pada mereka yang memutuskan menikah dengan mudah. Kami tetap turut bahagia saat melihat kawan merubah statusnya.
Kami hanya perlu waktu yang tidak sama dengan mereka. Berbagai alasan mulai dari karir hingga sekolah lagi bukan sebagai alibi, namun memang itulah kami. Bukankah kita semua diajarkan untuk menghargai setiap ideologi?

Doakan saja

Kami tetap akan menghargai berbagai guyonan untuk cepat menikah. Kami hanya tidak ingin dipandang kasihan. Akan lebih baik kalimat pertanyaan “kapan menikah?” diganti dengan doa “mudah-mudahan cepat menikah ya”. Itu akan terdengar lebih menyejukkan dan lebih bisa kami terima.

You May Also Like

0 comments