Wanita Dijajah Pria Sejak Dulu ??

by - January 21, 2018

Ada semacam penyesalan karena tidak mengenal Islam dengan baik sejak dulu. Sok ikut-ikutan ikut bergerak membela hak kaum perempuan padahal ga ngerti sejarah feminisme itu seperti apa. Jadi ilfil sama diri sendiri. Sok pinter padahal isinya salah. Merasa terjajah padahal ga ada sama sekali yang mau menjajah. Kalau pun ada yang terjajah, itu bukan saya. Sehingga saya merasa menjadi korban dari arus yang memaksa saya membela sesuatu yang tidak saya fahami awal mulanya. Sedangkan saya, sebagai seorang muslim, sekarang sadar dan merasa bahwa agama ini menempatkan wanita pada tempat yang mulia. 
Jadi, kenapa kita harus berjuang untuk sesuatu yang sudah diatur sesuai dengan apa yang kita butuhkan.

Butuhkan ya. Bukan kita inginkan. Kadang ego manusia jadi melampaui batas dan sok tahu tentang apa yang terbaik untuk dirinya. Ia lupa pada Pencipta yang tentunya lebih tahu tentang apa yang Ia ciptakan ketimbang ciptaanya sendiri. Mungkin perempuan juga perlu menekan ego untuk memahahi bagaimana Islam menempatkan perempuan sesuai dengan perannya. Ya peran. Perempuan memiliki peran.

Isu yang paling sering diangkat para pegiat feminisme pasti tentang kesetaraan gender. Perempuan harus memiliki kesempatan berperan yang sama seperti laki-laki. Perempuan memiliki peran, tapi pastinya beda sama laki-laki. Sama halnya ketika pelajaran olahraga, apa kita jadi merasa tidak diberikan kesempatan yang sama karena guru memiliki standar penilaian jarak renang yang berbeda antara laki-laki dan perempuan? Ya beda lah. Itu kan tentang kekuatan fisik. Nah maka dari itu kita harusnya menyadari bahwa kita memang diciptakan berbeda dengan mereka, bahkan susunan kromosomnya pun sudah berbeda. Nahh, kadang celah ini juga yang akhirnya menaikkan egoisme penganut kesetaraan untuk menggaungkan "janganlah perbedaan ini menjadi penghalang untuk berkarya"

Kita diciptakan berbeda dengan kaum adam bukan sama sekali untuk membuktikan siapa yang lebih baik di atas siapa. Karena pada dasarnya kita hidup untuk saling melengkapi dan tidak bisa hidup tanpa salah satu. Lalu apa kita hidup hanya sebagai pelengkap? Big NO. 
Justru kita hidup untuk mengisi celah yang tidak dapat diisi oleh laki-laki hebat mana pun.

Laki-laki mana yang diberi kesempatan untuk mengandung dan melahirkan? Lahh itu kan kodrat. Sepertinya kita juga perlu mensyukuri bahwa kodrat itu mengandung suatu keistimewaan. Laki-laki mana yang diciptakan sepaket dengan sebauh organ yang disebut rahim yang berarti kasih sayang, yang menjadi cikal mengapa perempuan lebih mudah tersentuh dibanding laki-laki? Laki-laki mana yang tahan membopong badan yang melarnya melebihi berat badan bayi saat keluar? Laki-laki mana yang tahan dengan rasa sakit seperti berpuluh tulang dipatahkan dalam waktu bersamaan ketika melahirkan? Kalau ada perempuan yang menolak kodrat ini atas dasar mengapa hanya perempuan yang harus menanggung sakit? Mungkin ia lupa tentang keistimewaan dirinya atas kodrat yang diberikan yang pastinya akan disertai dengan kekuatan menanggung sakitnya.

Mengapa seorang Rasul yang laki-laki justru menyebutkan Ibu sampai tiga kali ketika ditanya kepada siapa kita perlu berbuat baik? Karena memang menjadi Ibu bukan tugas sepele. Kalau bekerja bertanggung jawab pada atasan yang memberi pekerjaan, maka menjadi Ibu langsung bertanggungjawab pada Yang Memberikan kita keturunan. Pernah denger kan kalau Ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Makanya suka heran ketika sama Ibu yang membuang anaknya, kalau ga niat ngurusnya, ya ga usah iseng bikin dong. Heee.

Terus peran perempuan hanya sebatas Ibu yang mengurus anak di rumah? Justru ketika menyadari peran Ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak, harusnya kita juga tahu bahwa Ibu juga yang akan memberikan pengaruh besar bagi anak. Maka persiapan yang dilakukan selama masih sendiri perlu dioptimalkan, ga salah juga kan ketika Mba Dian Sastro pernah kasih quote yang banyak diaamiini oleh para wanita tentang seorang wanita perlu berpendidikan tinggi karena mengingat ia akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya. Lalu apa lantas pendidikan tinggi itu hanya berhenti sebagai madrasah anak-anak? Saya rasa juga tidak. Setiap Ibu tetap harus memiliki manfaat bagi banyak orang tanpa harus mengorbankan pendidikan anak-anaknya sendiri. Teorinya sih begitu, meski sampai saat ini karena saya belum jadi Ibu (kecuali Ibu guru) dan masih dalam tahap pencarian bagaimana menjadi Ibu yang berhasil di rumah dan lingkungan.

Karena contohnya juga sudah banyak. Cut Nyak Dien yang dengan gagah berani melawan penjajah, terjun langsung lho itu. Dewi Sartika yang berhasil mendirikan sekolah. Dan tidak melupakan Hajar yang ditinggal bersama dengan Ismail di tengah padang pasir, dimana tumbuhan mau pun hewan aja ga ma hidup disitu. Tapi kemudian bisa menemukan air zam-zam yang menjadi cikal bakal komunitas Mekah pertama kali. Terbayang kalau Hajar dengan manja menolak ketika Ibrahim meninggalkan beliau, mungkin Mekah belum ada. Seorang Ibu bahkan bisa tertulis sebagai tokoh promotor peradaban.

Meski terkadang jadi miris ya kalau melihat KDRT pada perempuan itu masih ada. Yang katanya berperan besar tapi justru karena ada segelintir oknum laki-laki kurang faham, akhirnya menjadi korban. Masalahnya jadi kompleks karena kekerasan itu biasanya bermula dari trauma atau justru kebiasaan yang terbawa. Perlu banyak ngobrol dan baca lagi kalau tentang ini. Hehe.  

You May Also Like

0 comments