Darurat Akhlak

by - January 27, 2018

Resah. Bukan hanya milik Payung Teduh saja. Hehehe. Setiap orang punya keresahan. Dan masing-masing punya cara menyelesaikan. Entah hanya melupakan atau justru memang mencari solusi. Dan saya memilih untuk menuliskan saja dulu. Bingung coyy kalau mau membawa perubahan mulai dari mana. Karena ini kasusnya jadi global dan melibatkan banyak pihak serta membutuhkan 'power' penguasa.

Just FYI, sekarang saya lagi mengajar di salah satu Bimbel di Kota Bandung. Saat jam istirahat saya dan salah satu teman berniat mencari sesuatu yang bisa kita makan, tanpa sengaja menemukan beberapa sampah yang berserakan. Teman saya itu kemudian berkomentar "Pengen sih ya mungutin, tapi bingung buang dimana. Hahaha" Salah juga sih kita juga menyerah amat ya sama kondisi. Tapi dari kasus sampah itu teman itu jadi bahas "Eh jadi di sekolah kita belajar apa ya? Ko buang sampah aja masih banyak yang sembarangan?"

Jadi mikir. Dapat apa aja ya selama di sekolah? Yang paling manfaat sih kimia karena terpakai sampai dunia kerja. Tentang buang sampah? Ada sih di PKN jaman SD sekalian tentang jika ada seorang nenek yang akan menyebrang, apa yang kamu lakukan? Meski sampai sekarang, lupa lho udah belum ya nyeberangin seorang nenek? Entah karena jarang ketemu nenek atau karena jangankan menolong nenek, nyeberang aja masih minta tolong. Hee

Sorenya ngajar lima orang murid. Yang dua diantaranya adalah siswa salah satu SMA negeri. Mereka satu sekolah dan satu kelas, jadi wajar kalau akrab dibanding 3 teman lain yang memang karena perempuan yang cenderung lebih diam juga karena mereka dari sekolah yang berbeda. 

Di tengah pelajaran, ketika mereka mencatat, salah satu siswa nanya "Ka, SPP sekolah itu buat apa?" 

Dijawablah sesederhana mungkin "Ya buat beli keperluan sekolah alat tulis atau event-event intern sekolah"

Lalu dia lanjutin "Jadi bukan buat bayar gaji guru?" Di situ saya udah merasa deg-degan. Ko arahnya aneh ya.

Saya jawablah karena mereka belajar di sekolah negeri "Ya bukanlah. Yang gaji guru kalian mah pemerintah"

Terus si anak nerusin obrolannya ke temennya itu, tapi masih bisa saya dengar "Oh berarti kita emang harus hormat sih ya"

???

Entah apa yang ada dalam fikiran mereka. Mudah-mudahan ini cuma suudzon saya doang. Kenapa saya berfikir "Jadi kalau kalian yang bayar, bisa seenaknya dan ga kalian hormati?"

Rasanya pengen langsung nasehatin saat itu juga. Pengen bilang kalau rejeki itu bukan ditentukan oleh siapa yang memberi kita gaji. Tapi, jadi banyak pertimbangan. Pengen cari analogi yang lebih bisa mereka terima sebagai anak SMA kelas X. Selain itu, disitu ada 3 murid lain dengan karakter berbeda dari si anak yang nanya ini. Oke. Tahan sampai bisa ngobrol empat mata.

Dua kejadian di hari yang bersamaan itu fix jadi bikin sok mikir tentang masa depan pendidikan Indonesia. Baru ngeuh seberapa terpuruknya sistem pendidikan ini ketika sudah terjun langsung dan melihat subjek pembelajar yang macam ini.

Beberapa hari berselang, teman saya yang seorang guru di salah satu SD Negeri memposting hasil screenshot dari status FB seorang siswanya. Isinya, sy sendiri sampai tak tega menuliskan. Anak itu mengumpat, menyebutkan nama teman saya itu yang diakhiri dengan cacian menggunakan nama binatang. Dan teman saya itu menceritakan bahwa si anak ini kesal karena dilarang bermain bola oleh teman saya itu. Parahnya lagi, si pelaku ternyata menggunakan akun temannya. Hhhh. Kalau saya ada di posisi teman saya itu, rasanya sudah ingin menyerah saja. Hahaha. Tapi teman saya ini memang orang yang cukup tough sehingga kita saya beri komentar semangat dia hanya membalas "jangar  (pusing), Wid" tanpa mengesankan bahwa ia terluka. Meski sebetulnya kita tidak tahu bagaimana perasaan ia sebenarnya.

Si pelaku ini masih duduk di bangku kelas 6 SD. Tanpa mengesampingkan bahwa setiap orang punya kesempatan berubah, namun ini menunjukkan bahwa level pendidikan dasar saja sudah tersusupi hal macam ini. Serta melihat latar belakang siswa teman saya yang berbeda dengan kasus siswa saya yang secara status ekonomi di atas gurunya, saya jadi mengubah kesimpulan bahwa apa mereka lakukan ini bukan bergantung dari seberapa besar kekuatan materi yang mereka punya, namun ada hal lain yang lebih berpengaruh. Karena saya pernah menemukan seorang siswa yang berasal dari keluarga terpandang justru sangat menghargai gurunya. Dan saya menemukan jawaban ketika bertemu orang tuanya. Sepasang orang tua yang tetap bersahaja walau bisa saja dengan mudah ia tampil petantang-petenteng, dengan sabar dan serius mendengarkan penjelasan saya selaku wali kelasnya tentang perkembangan anaknya.

Saya ga bilang kalau output pendidikan jaman old macam angkatan saya sudah berhasil memberikan kontribusi yang baik bagi umat. Bisa jadi kami juga sebetulnya produk gagal yang meneruskan kegagalan sebelumnya.

Tapi, gini.

Dunia ini adalah tempat berbuat salah. Tapi bukan tempat untuk selalu mengulang kesalahan.

Cerita tadi terlihat sederhana bagi sebagian orang. Bahkan beberapa orang cenderung apatis sama hal yang tidak bisa diukur oleh angka kebenaran. Bahkan sekarang malah terkesan makin blur, ga ada sekat pemisah antara benar dan salah. Banyak orang yang akhirnya menetapkan grey area seperti gradasi yang kontinu. Dan kebanyakan orang berada di warna pertengahan untuk mencari aman. Tidak terlihat terlalu salah serta menghindari terlihat sok alim. Akhlak, budi pekerti, moral, karakter. Entah lah istilah yang tepat apa. Seolah menjadi terlupakan karena batasan kewajaran jadi makin runyam. "Wajar lah buang sampah sembarangan, tempat sampahnya aja ga ada". Semua sibuk mencari pembenaran atas kesalahan yang dilakukan atas dalih pemafhuman.

Esensi pendidikan tentang akhlak jadi terlupakan di tengah gempuran dan desakan hafalan dan rumus yang mungkin akan mereka lupakan setelah ujian. Padahal banyak ulama terdahulu yang ilmunya tidak diragukan lagi, belajar tentang adab lebih lama dibanding tentang ilmu.

Kadang setiap siswa atau bahkan kita saat sekolah dulu pernah bertanya, untuk apa rumus matematika yang kita pelajari ini? Apa akan terpakai saat terjun ke dunia kerja nanti? Bisa jadi memang tidak. Bahkan banyak yang akhirnya bekerja tidak sesuai dengan titel. Lalu apa yang kita dapat dari sekolah? Seharusnya ada. Kalau saja kita mau sedikit peka, konsep sekolah adalah laboratorium kehidupan harusnya memang tertanam.

Dan yang perlu diingat juga adalah anak memasuki sekolah setelah ia menerima pendidikan pertamanya. Setiap anak telah memiliki dasar karakter yang dibawa sebagai hasil pengasuhan orang tua dan lingkungan. Sedangkan sekolah bertugas mengembangkan karakter bawaan tersebut. Sekolah bukan ketok magic yang bisa diharapkan akan mengubah karakter anak yang dititipkan beberapa tahun saja. Itu pun jika dihitung hanya beberapa jam dalam sehari. Sisanya? Maka, perlu difikir ulang ketika menegur anak dengan kalimat "kamu udah disekolahin masih aja nakal".

Jika mau berpikir secara global lagi, pendidikan juga bukan tentang peran sekolah dan orang tua. Ada pengaruh yang lebih besar yang tidak bisa lagi mendapat pengawasan dari sekolah mau pun orang tua. Berbagai tontonan tanpa bobot tuntunan yang lagi-lagi lolos uji kelayakan untuk tayang. Belum lagi kebebasan akses media sosial yang memudahkan anak menemukan sosok 'idola' yang tak patut. Penggunaan media sosial yang tak bijak hingga menjadikannya sebagai ajang unjuk diri namun bukan dari sisi prestasi. PR kita bersama.

You May Also Like

0 comments