Reuni Hati

by - July 01, 2012


                Counter baru memang membutuhkan perhatian lebih. Apalagi baru ada satu pegawai di situ. Gynta sedang merapikan scarf sesuai gradasi warna. Pengunjung yang datang kemarin lumayan banyak. Membuat ia harus kerja ekstra juga merapikan kembali barang-barang yang sudah dipilih-pilih. Banyak juga dari mereka yang hanya mengacak-acak, namun tak menjatuhkan pilihan yang mana pun.
                “mba, adek saya baru lulus kemarin. Bolah ga kalo ikut kerja disini. Sekalian aja saya yang ajarin. Biar ga canggung juga.” Nita menghentikan aktifitasnya sebentar menunggu tanggapan bossnya itu.
                “ya boleh. Bawa aja langsung lamarannya kesini. Nanti saya atau Janny wawancara dia. Biar saya juga enggak harus dari pagi datengnya.” Yang ditanya menoleh dan kembali melanjutkan tata letak pashmina kali ini.
                “iya deh, Mba. Nanti saya suruh dia kesini secepatnya.” Senyum sumringah terlukis di bibir Nita. Adiknya yang baru lulus SMA itu setidaknya memiliki peluang besar. Gynta memang lebih senang merekrut pegawai hasil rekomendasi pegawai yang sudah lebih dulu bergabung dengannya. Bukan karena ikut-ikutan menggalakkan nepotisme. Alasannya akan lebih mudah menaruh kepercayaan dan rasa persaudaraan kalau sesama pegawai sudah saling kenal. Toh sesungguhnya nepotisme itu dibolehkan asalkan orang tersebut memang memiliki kemampuan. Setidaknya itu yang dikatakan dosennya sewaktu menjalani kuliah Psikologinya.
                Ornamen pintu masuk mengeluarkan suara gemerincingnya. Pengunjung pertama.
“selamat datang. Silahkan.” Nita bangkit dari duduknya dan tersenyum menyambut.
Semoga menjadi langkah awal yang baik. Gynta memindahkan pandangannya ke arah pintu. Seorang perempuan berjilbab hingga pinggang menuntun bocah yang ia perkirakan berusia dua tahun. Ia melanjutkan kembali mengamati hasil karyanya. Tak sempat ia melihat sosok yang mengikuti sosok akhwat solehah itu.
“maaf Mba, saya lagi nyari baju buat ibu saya.”
Gynta terhenyak mendengar suara itu. Untuk beberapa nano detik ada jutaan perasaan yang ia tidak tahu apa itu. Sebagian kecil pikirannya meyuarakan untuk meninggalkan suara itu, namun tak luput juga yang menyarankan untuk menghadapinya. Siapa pun pemilik suara berat itu.
Gynta membalikkan badan. Melihat sosok yang ada di depannya dari bawah. Berharap ia dapat menebak dari sepatu atau bentuk kakinya mungkin.
Namun sosok itu telah lebih dulu melihat Gynta tepat di matanya. Mata yang sempat membuatnya rindu untuk sekedar melihatnya berkerut akibat tawa pemiliknya. Mata yang sempat menunjukkannya dunia luar yang dulu sempat ia takuti. Dan yang terakhir ia lihat, mata itu basah akibat sesuatu yang tak dapat ia jelaskan. Mata itu masih sama. Masih setajam dulu. Ada sedikit keangkuhan di sudutnya yang membuatnya sempat berdesir. Namun ia juga tetap dapat menemukan keteduhan dan sifat manja yang dulu juga sempat membuatnya merasa harus melindunginya.
Gynta tak ubahnya manekin kali ini. ia telah sampai pada bagian dimana otak sang pemilik berada. Otak cerdasnya yang membuat ia kagum yang terlanjur termanifestasikan sebagai rasa iri. Rasa yang berubah menjadi serangkaian reaksi dan gelombang yang tak pernah ia temukan dalam buku pelajaran Kimia maupun Fisikanya. Ia masih mengobrak-ngabrik gudang kenangannya. Berharap menemukan sesuatu sebagai petunjuk tentang orang di depannya ini. Jauh di sudut alam sadarnya, ada sebuah kotak yang telah tertutup debu disana. Kotak yang sepertinya sengaja ditutup rapat. Sebuah kotak kecil namun juga sepertinya secara sengaja pula dilukis indah. Tak sedikit pun celah dari bagiannya yang tak berwarna.
***
                “kayanya kita harus jauh aja deh.” sudah kesekian kalinya ia mengungkapkan kalimat ini.
                “kenapa?” Gynta mulai membaca gelagat tidak enak.
                “aku pengen serius kuliah.” Laki-laki itu masih menatap ke depan. Menyusuri aliran air di bawah tempatnya berpijak.
                “tapi kan ga harus jauh. Kenapa? Nilai ujian kamu jelek yaaa?” Gynta mencoba menenangkan hatinya yang tak tenang. Ia pernah membaca bahwa memgeluarkan joke dapat membuat suasana lebih rileks.
                Laki-laki itu kemudian merubah posisinya. Menghadap Gynta.
                “Gyn, aku punya tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar bermain-main kaya kita gini.”
                Apa? Main-main? Jadi selama ini ia anggap semua ini main-main. Gynta mengumpat dalam hati.
Perempuan memang selalu terburu-buru. Terlalu cepat mengartikan perasaan, terlalu cepat berharap, bahkan terlalu cepat berpikir jauh.
“ada cewek lain ya?” suara Gynta mulai parau. Ia bingung juga. Laki-laki itu bukan pacarnya. Bukan pula teman biasa. Selama ini mereka seperti melewati jalanan di pagi buta. Menyejukkan namun kabur terhalang embun.
“enggak. Aku ngerasa kedekatan kita terlalu berlebihan aja.” Laki-laki itu masih dengan tenang menjawab.
Gynta memang mahasiswa psikologi. Namun ilmunya di semester tiga ini belum cukup untuk mengetahui isi hati orang sebenarnya.
“pasti gara-gara organisasi kamu itu ya? Udah ada akhwat yang nyangkut di hati kamu?” perempuan juga memang terlalu cepat emosi.
“aku udah bilang. Jangan bawa-bawa organisasi aku. Kamu yang terlalu kekanak-kanakkan. Belajar dewasa dong, Gyn. Masih banyak yang harus kita pikirin daripada sekedar cerita cinta monyet kaya gini. Kita udah jadi mahasiswa, Gyn. Udah beda sama waktu sekolah.”
Ya memang beda. Beda kampus, beda lingkungan, beda teman sepermainan. Dan yang pasti beda gengsi. Terbersit dalam pikiran Gynta kalau laki-laki itu merasa malu dekat dengan Gynta yang bukan berasal dari kampus bergengsi sepertinya.
Gynta menelan ludah. Menahan sebongkah amarah, kecewa, entah apa namanya. Sudah sekian kali pula mereka terlibat perdebatan dengan judul yang sama. Dan mungkin pula ini puncaknya.
“aku ga bisa janji apa-apa ke kamu. Bukan aku ga mau, aku cuma ga mau kamu terlalu mengharapkan aku. Jangan berharap pada makhluk, Gyn. Aku ga mau kamu jadi seolah ngemis cinta. Lupain aku. Cari yang lebih baik.”
Laki-laki itu melangkah tanpa ada kata lagi. Tanpa ucapan perpisahan. Tanpa perayaan kepergian.
Tak ada perselisihan yang membuat mereka diam untuk waktu yang lama sebelumnya. Mereka hanya terdiam karena tengah asyik dengan kegiatan kampusnya masing-masing. Gynta yang sedang mencoba sibuk dengan dunia kampus karena cerita-cerita pria itu tentang kegiatan di kampusnya. Dan laki-laki itu juga tengah asyik dengan.. Gynta masih belum menemukan jawaban yang membuatnya puas. Meskipun laki-laki itu berulang kali meyakinkan penjelasan itu lah yang seharusnya membuat Gynta paham maksudnya. Gynta senang laki-laki itu menjadi lebih taat. Lebih peduli sesamanya. Lebih aktif di kampusnya. Tapi ternyata tak sadar sedang mempersiapkan pula kesakitannya.
Bukan. Ini bukan kesakitan ini hanya sementara. Ia meletakkan semua cerita-cerita bersama laki-laki itu pada sebuah kotak kecil yang sengaja ia lukis dengan tanpa meninggalkan seinci pun tanpa sapuan kuas. Ia sebut itu kenangan kecil namun cukup indah jika dibuka.
Tidak. Ia tidak berminat untuk membukanya. Ia sudah memberinya gembok terbaik di dunia. Kuncinya ia buang jauh di negeri antah berantah. Mungkin juga di negeri tempat tinggal Batara Kala. Berharap monster itu bisa ikut memakan kuncinya agar ia tak dapat menemukannya kembali.
***
                Susah payah Gynta melewati negeri antah berantah dan meminta kunci itu kembali pada Batara Kala.
                Kotak itu masih terbuka. Isinya tercecer memenuhi ruang pikirnya yang semula kosong.
                Sejujurnya hingga ia menyelesaikan kuliah psikologinya, ia juga belum bisa menerka apa yang ada dalam pikiran seseorang. Begitu pun kali ini. Laki-laki yang juga sempat ia ingin tahu perasaannya.
                “oh ya, Pa. Sebelah sini.” Gynta tersenyum sambil memberi tanda pada laki-laki itu untuk mengikutinya.
                Gynta membawanya pada deretan baju gamis. Tak ada percakapan teman lama. Atau sekedar basa-basi lama tak jumpa. Keduanya seperti sudah kompak menyimpan percakapan dan basa-basinya dalam hati.
                “Abby, gimana? Udah nemu?” perempuan berjilbab itu mendekati laki-laki itu setelah memberikan seulas senyum pada Gynta.
                Gynta beranjak dari tempatnya. Menghampiri meja kasir. Menyuruh Nita untuk melayani pelanggan pertamanya itu, tanpa memberitahunya pertualangan yang baru saja ia jalani. Berpura-pura sibuk dengan tumpukan kertas. Sesekali ia perhatikan juga percakapan dua orang itu.
                Perempuan itu berjalan di depan diikuti laki-laki itu menuju meja kasir. Gynta hanya menyunggingkan senyum tanpa mengeluarkan kata. Mengscan lebelnya, memasukkan salah satu gamis itu ke dalam paper bag, menerima uang yang disodorkan perempuan itu, membuka laci pada mesin kasir, mengatur kembalian, menyerahkan belanjaan, uang kembali, dan struk belanjanya.
                “terima kasih. Lain kali berkunjung lagi ya.” Kali ini Gynta bersuara.
Perempuan itu berlalu sambil menuntun bocah laki-lakinya.
“makasih ya, Gyn.” Suaranya itu mungkin tak terdengar perempuan yang telah lebih dulu berlalu menuntun bocah laki-laki yang masih merengek minta es krim. Laki-laki itu tersenyum. Senyum yang pernah membuat ia lupa dunia mungkin.
Meja kasir itu terletak dekat pintu masuk. Ia masih bisa melihat mereka masuk mobil. Gynta tersenyum.
Beep beeep
‘My Beloved Husband’ tertulis di screen handphonenya.
Segera ia bereskan lamunannya. Memasukkan kembali album dan potongan cerita itu ke dalam kotaknya. Ia sudah berjanji untuk memberikannya pada Batara Kala. Dan memintanya untuk jangan pernah memuntahkannya lagi sekuat apa pun ia memohon.

Catatan Gynta : aku tidak tahu apa yang membedakan khayalan dengan impian. Ada yang bilang impian adalah imajinasi yang dapat membuatmu bahagia. Sedangkan khayalan tidak. Aku juga tidak tahu bagian mana dari cerita ini yang harus ku anggap sebagai khayalan dan mana sebagian lagi sebagai impian.
               

You May Also Like

0 comments