Menjadi Guru Itu (tidak) Mudah vol. 2

by - March 09, 2013

Saya anak UPI. Ambil kuliah jurusan pendidikan. Dicetak untuk menjadi seorang pendidik. Meski tidak semua mahasiswa UPI, menjadikan pendidikan itu sebagai hal yang disukainya. Mungkin juga termasuk dosen-dosennya. Banyak juga dari mereka yang merasa terjebak di jurusan yang saat ini jadi tempat mereka menuntut ilmu. Tapi saya rasa dari ketidakseriusan ini, akhirnya menghasilkan lulusan yang tidak serius juga.

Rasanya tidak asing guru-guru bimbel bahkan guru di sekolah yang ternyata bukan berasal dari jurusan pendidikan. Entah mereka memang akhirnya suka pendidikan atau karena keterpaksaan, hingga memilih untuk menjadi pendidik. Buat saya itu cambukan. Sering saya diskusi ringan bersama teman-teman. Kami merasa tidak adil, apabila orang-orang yang tidak memiliki basic pendidikan, ikut berkecimpung juga dalam ‘bisnis’ ini. Saya sebut ini bisnis, karena memang banyak kepentingan yang ada dalam pendidikan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa pendidikan juga menghasilkan uang. 

Namun, jangan pula sampai tertutup matanya dengan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri. Kembali pada orang-orang yang sebut ‘mengambil lahan orang lain’ itu. Apabila saya kemukakan hal ini dihadapan orang lain atau mereka. Pasti semuanya akan tertawa. Semua orang akan bilang bahwa kami, hanya mencemaskan sesuatu karena kami tidak siap bersaing. Kami memang tidak bisa lari dari kenyataan, bahwa kami memiliki kemampuan keilmuan yang lebih rendah dibanding mereka yang berasal dari kampus yang lebih bergengsi.

Menjadi seorang pendidik itu bukan sekedar punya ilmu. Tapi bagaimana bisa mentransformasi ilmu itu kepada siswa. Saya sebut ini mentransformasi. Karena menurut saya proses pendidikan itu bukan hanya sekedar membuat siswa paham akan materi pelajaran. Namun, bagaimana menjadikan siswa dapat mengaitkan ilmu yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih dapat menghasilkan sesuatu yang berguna dari ilmu yang mereka pelajari. Apa kemampuan ini dimiliki setiap orang?
Saya rasa, kami saja yang sebagai mahasiswa ‘pendidikan’ yang setiap hari bergelut dengan strategi pembelajaran, masih sering merasa kesulitan mencari langkah yang tepat untuk mencerdaskan siswa. Saya rasa, pekerjaan guru bukan hanya sekedar membutuhkan ilmu dan kreativitas. Tapi juga hati.

Saya miris mendengar curhatan siswa yang bilang bahwa ia lebih senang belajar bersama guru bimbelnya (yang bukan berasal dari kampus pendidikan) dibanding gurunya di sekolah. Saya yakin siswa tidak tahu bahwa sesungguhnya gurunya di sekolah itu lebih punya ‘hati’ untuk menjadikan mereka orang cerdas dan berakhlak dibanding guru bimbelnya itu. Siswa itu tidak tahu bahwa jumlah uang yang orang tua mereka keluarkan untuk bimbel lebih besar dibandingkan uang sekolah mereka. Lantas bagaimana ini bisa terjadi?

Mungkin berawal ketidakseriusan itu. Bahwa tidak semua orang yang dididik dalam pendidikan keguruan, berniat sedari awal menjadi seorang pendidik. Hingga ilmu pendidikan yang diberikan di bangku kuliah tidak diperoleh secara optimal. Kami baru menyadari dan menerima bahwa kami memiliki tanggung jawab besar itu, setelah mendekati tingkat akhir atau justru setelah menjadi guru.

Saya tidak tahu apakah menjadi seorang guru itu harus memiliki bakat tersendiri. Namun yang jelas, bukankah bakat itu bisa terkalahkan oleh niat dan kesungguhan?

You May Also Like

0 comments