Menjadi Guru Itu (tidak) Mudah vol. 2
Saya anak UPI. Ambil kuliah jurusan pendidikan. Dicetak
untuk menjadi seorang pendidik. Meski tidak semua mahasiswa UPI, menjadikan
pendidikan itu sebagai hal yang disukainya. Mungkin juga termasuk
dosen-dosennya. Banyak juga dari mereka yang merasa terjebak di jurusan yang
saat ini jadi tempat mereka menuntut ilmu. Tapi saya rasa dari ketidakseriusan
ini, akhirnya menghasilkan lulusan yang tidak serius juga.
Rasanya tidak asing guru-guru bimbel bahkan guru di sekolah
yang ternyata bukan berasal dari jurusan pendidikan. Entah mereka memang
akhirnya suka pendidikan atau karena keterpaksaan, hingga memilih untuk menjadi
pendidik. Buat saya itu cambukan. Sering saya diskusi ringan bersama
teman-teman. Kami merasa tidak adil, apabila orang-orang yang tidak memiliki basic
pendidikan, ikut berkecimpung juga dalam ‘bisnis’ ini. Saya sebut ini bisnis,
karena memang banyak kepentingan yang ada dalam pendidikan. Kita tidak bisa
menutup mata bahwa pendidikan juga menghasilkan uang.
Namun, jangan pula sampai
tertutup matanya dengan tujuan utama dari pendidikan itu sendiri. Kembali pada
orang-orang yang sebut ‘mengambil lahan orang lain’ itu. Apabila saya kemukakan
hal ini dihadapan orang lain atau mereka. Pasti semuanya akan tertawa. Semua
orang akan bilang bahwa kami, hanya mencemaskan sesuatu karena kami tidak siap
bersaing. Kami memang tidak bisa lari dari kenyataan, bahwa kami memiliki
kemampuan keilmuan yang lebih rendah dibanding mereka yang berasal dari kampus
yang lebih bergengsi.
Menjadi seorang pendidik itu bukan sekedar punya ilmu. Tapi
bagaimana bisa mentransformasi ilmu itu kepada siswa. Saya sebut ini mentransformasi.
Karena menurut saya proses pendidikan itu bukan hanya sekedar membuat siswa
paham akan materi pelajaran. Namun, bagaimana menjadikan siswa dapat mengaitkan
ilmu yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih dapat
menghasilkan sesuatu yang berguna dari ilmu yang mereka pelajari. Apa kemampuan
ini dimiliki setiap orang?
Saya rasa, kami saja yang sebagai mahasiswa ‘pendidikan’
yang setiap hari bergelut dengan strategi pembelajaran, masih sering merasa
kesulitan mencari langkah yang tepat untuk mencerdaskan siswa. Saya rasa,
pekerjaan guru bukan hanya sekedar membutuhkan ilmu dan kreativitas. Tapi juga
hati.
Saya miris mendengar curhatan siswa yang bilang bahwa ia lebih senang belajar bersama guru bimbelnya (yang bukan berasal dari kampus pendidikan) dibanding gurunya di sekolah. Saya yakin siswa tidak tahu bahwa sesungguhnya gurunya di sekolah itu lebih punya ‘hati’ untuk menjadikan mereka orang cerdas dan berakhlak dibanding guru bimbelnya itu. Siswa itu tidak tahu bahwa jumlah uang yang orang tua mereka keluarkan untuk bimbel lebih besar dibandingkan uang sekolah mereka. Lantas bagaimana ini bisa terjadi?
Mungkin berawal ketidakseriusan itu. Bahwa tidak semua orang
yang dididik dalam pendidikan keguruan, berniat sedari awal menjadi seorang
pendidik. Hingga ilmu pendidikan yang diberikan di bangku kuliah tidak
diperoleh secara optimal. Kami baru menyadari dan menerima bahwa kami memiliki
tanggung jawab besar itu, setelah mendekati tingkat akhir atau justru setelah
menjadi guru.
Saya tidak tahu apakah menjadi seorang guru itu harus
memiliki bakat tersendiri. Namun yang jelas, bukankah bakat itu bisa terkalahkan
oleh niat dan kesungguhan?
0 comments