Dilematisnya Hidup

by - November 24, 2013



Hidup itu tentang pilihan. Dan setiap pilihan itu kadang mengundang kedilematisan. Basi ya. Tapi ungkapan itu tidak akan jadi basi selama manusia masih hidup.Karena pilihan hanya ada di dunia. Ketika sudah mati, barulah manusia tidak memiliki pilihan. Kecuali mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia pilih ketika hidup.

Memilih untuk jadi orang baik atau orang jahat. Memilih rizki halal atau rizki haram. Memilih jodoh baik atau jodoh kurang baik. Ehh malah nyerempet kesitu. Maaf kebiasaan. Mehh

Bermula dari renungan saya ketika tanpa sengaja membaca status facebook salah satu teman KKN saya. Anggya namanya. Dia mengungkapkan yang kira-kira isinya tentang kegundahan dia untuk memilih lulus cepat atau banyak pengalaman selama kuliah. Idealnya sih hampir semua orang pasti memilih untuk banyak pengalaman (dan juga lulus cepat). Tapi apa praktisnya semudah itu?

Saya bukan tipe orang yang suka dengan tantangan atau mencoba hal baru. Masalah beli miuman atau jajan saja. Biasanya saya akan beli jus strawberry atau jajan ke warung yang sama. Saya selalu takut kecewa ketika membeli minuman atau jajan ke warung yang berbeda. Untung saja sekarang, di bangku kuliah, saya punya teman yang selalu penasaran terhadap sesuatu hal. Salah satunya makanan baru misalnya. Jadinya saya jadi terbawa. Haha. Itu baru masalah sepele. Karena hidup bukan hanya tentang memilih jajanan.

Hmm, kalau ada diantara kalian yang pernah membaca bio twitter saya, mungkin akan sedikit tau tentang keinginan saya yang satu ini. Iya. Saya sedang mencoba untuk menyukai tantangan. Tanpa memikirkan apa hasilnya. Yang penting proses yang saya jalani alias pengalaman yang saya peroleh. Lagi-lagi pengalaman.

Saya ambil contoh masalah pemilihan tempat KKN. Saya sengaja memilih tempat terdekat dengan rumah. Bisa dibilang KKN di rumah sih. Karena memang satu kelurahan dengan rumah saya. Hanya saja yang menjadi fokus program waktu itu bukan di RW lingkungan rumah. Karena waktu itu program yang diusung tentang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang memang tidak ada di lingkungan rumah.

Sebagian orang akan bilang “Ihh apaan sih. KKN di rumah. Enggak ada pengalamannya?”. Lagi-lagi lagi tentang pengalaman. Saya mengiyakan. Memang mungkin pengalaman yang diperoleh dari KKN di sekitar rumah jauh jauh lebih sedikit ketimbang KKN di tempat jauh atau pedalaman. Tapi saya mau membela diri. Tahu apa yang membuat saya memilih tempat KKN dekat? Alasan pertama, memang itu tuntutan (bukan tuntutan juga sih. Lebih tepatnya saran yang sangat diharapkan untuk dikabulkan) orang tua. Alasan mereka supaya kalau dekat, biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit. Meski setelah dijalani, rasanya sama saja. Haha. Alasan kedua, memang datang dari saya. Saya adalah tipe orang yang mudah home sick. Jangankan untuk berminggu-minggu di tempat orang lain. Baru saja satu malam menginap di kosan atau rumah teman, pasti ada satu kali saya bilang “kangen rumah ih”. Alasan ketiga yang cukup jadi alibi saya ketika orang mencibir saya adalah pengalaman itu bisa diperoleh dari lingkungan sekitar kita. Kenapa harus jauh-jauh ingin mengabdi pada daerah orang lain, sementara masih ada masalah yang harus dibenahi di daerah sendiri?

Saya tidak tahu apa ketiga alasan yang saya sebut di atas itu bisa dibenarkan, bisa diterima, atau memang hanya sekedar alasan dari seorang yang takut akan tantangan.

Contoh lain yang sedang saya hadapi saat ini adalah masalah pemilihan tempat PPL. Ada yang belum tahu PPL. Singkatnya itu seperti kuliah praktek atau kuliah lapangan bagi para calon guru. Jadi ngapain? Ya ngajar. Di sekolah-sekolah yang sudah ditentukan oleh kampus. Dan kita memilih ingin masuk sekolah mana. Beberapa teman sengaja memilih sekolah bagus. Sekolah favorit. Sekolah elit. Atau bahkan sekolah internasional. Kalau sekolah internasional, saya bukan tidak tertarik. Tapi kemampuan bahasa inggris saya memang kurang baik. Jadi tidak mungkin saya memilih sekolah internasional.

Lagi-lagi dalam hal ini saya memilih sekolah tempat saya menimba ilmu saat SMA. Bukan sekolah favorit. Letaknya di pinggiran kota. Nun jauh dari peradaban sana. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Lulusan setiap tahun yang bisa masuk PTN favorit bisa dihitung jari. Meskipun lulusannya di UPI (kampus saya) hampir ada di setiap jurusan. Ya berarti lumayan juga ya. Bukannya saya sedang menjelek-jelekkan almamater saya sendiri. Karena memang begitu lah kenyatannya. Meski dalam hati kecil saya, ada keinginan untuk memajukan sekolah saya itu. Lagi-lagi entah kenapa. Saya terlanjur jatuh cinta pada SMA saya itu. Perasaan jatuh cinta ini tidak saya rasakan pada SMP atau SD saya (SD lumayan cinta juga sih. Lebih tepatnya bangga, karena SD saya termasuk sekolah favorit. Hehe).

Oke. Kembali ke masalah kedilematisan. Tentu saja sebagian orang akan mengatakan seperti ketika saya memilih tempat KKN. Meski ada juga beberapa orang yang mengatakan saya beruntung. Mungkin juga mereka itu seperti saya, takut tantangan. Entahlah. Alasan mengapa saya memilih SMA sendiri hampir sama dengan alasan saya memilih tempat KKN. Tapi justru sekarang lebih dilema ketimbang pemilihan tempat KKN. Masalahnya ini PPL. Jalur yang akan sangat berhubungan dengan masa depan saya yang calon guru ini.

Ketika saya bercerita pada orang tua saya, Ibu saya malah berpendapat kalau saya kurang bersyukur pada kemudahan-kemudahan yang Allah beri. Mengingat pemilihan tempat PPL dan KKN itu penuh perjuangan. Lagi-lagi saya mengiyakan apa yang Ibu saya bilang. Saya berpikir ulang kalau semua ini adalah keputusan Allah yang pasti sudah jadi yang terbaik untuk saya menurut Allah. Bisa jadi ketika saya ditempatkan di sekolah lain, saya malah tidak bisa melewatinya. Meski kadang saya berpikir lagi, apakah tantangan itu ditemukan atau diciptakan? Nah ini yang belum saya tahu jawabannya. Saya sempat berpikir kalau pola pikir orang tua saya itu seperti saya. Takut akan tantangan. Takut mencoba hal baru. Selalu memilih jalan termudah. Saya bukan sedang menyalahkan orang tua saya. Karena mungkin sebagian besar orang tua akan punya punya pikiran ‘kolot’ yang sama. Setidaknya ini cukup menjadi pelajaran untuk saya ke depannya agar menjadi orang tua yang lebih baik untuk anak-anak saya. Menanamkan keberanian terhadap anak-anak saya.

Contoh lain dari pola pikir orang tua saya dalam masalah pemilihan sekolah. Orang tua saya berpikir bahwa sekolah dimana saja ya sama saja. Mau di sekolah favorit atau sekolah ecek-ecek, tergantung muridnya. Itu juga yang mungkin akhirnya membuat saya masuk sekolah yang biasa-biasa saja, meskipun nilai saya waktu itu cukup untuk masuk sekolah favorit. Kalau masalah ini, ketakutan orang tua saya bukan pada takut kalau saya tidak bisa mengikuti pelajaran. Tapi lebih kepada ketakutan tidak bisa membiayai biaya sekolah di sekola favorit. Ckck. Yang ini ironis ya. Meski akhirnya setelah saya, yang dulu punya prestasi yang cukup tapi bersekolah di sekolah biasa-biasa saja, hanya bisa masuk kampus yang biasa-biasa saja. Tidak sesuai dengan ekspekatsi orang tua. 

Akhirnya saya pula yang bisa merubah pola pikir orang tua saya itu. Saya katakan bahwa sekolah dimana saja sama saja itu memang betul. Selama yang bersekolah adalah anak yang juga biasa-biasa saja. Tapi ketika anak itu punya potensi dan semangat yang tinggi, hal ini akan jadi kesulitan ketika anak itu bersekolah di sekolah yang biasa-biasa saja. Dengan persaingan yang biasa-biasa saja, anak tersebut akan mudah puas dengan apa yang dia raih. Tolak ukur anak tersebut akan rendah mengingat pesaingnya adalah anak yang biasa-biasa saja. Ketika anak itu melihat ke luar dan bersaing dengan murid sekolah favorit, jadilah seperti saya. Yang saya syukuri adalah akhirnya orang tua saya mengerti. Mereka juga akhirnya berniat menyekolahkan adik saya di sekolah favorit sekarang. Baru niat orang tua. Tergantung nilai adik saya juga. Tapi setidaknya saya senang ketika bisa merubah pola pikir itu. Bukan karena saya merasa puas bisa mengalahkan orang tua sendiri. Tapi karena saya menyayangi orang tua saya, keluarga saya, dan diri saya sendiri.

Panjang banget ceritanya. Hehe. Itu sepanggal kisah saya tentang pilihan. Juga tentang tantangan.

Yang saya rasakan saat tingkat akhir ini ya menyesal. Menyesal tidak bisa memanfaatkan kesempatan saat jadi mahasiswa untuk bisa ke luar negeri gratis, jadi ketua salah satu organisasi, memperluas jaringan, dan ... masih banyak lagi.

Lagi-lagi tentang pilihan. Hidup itu memang pilihan. Pilihan untuk jadi orang yang biasa atau luar biasa. Tapi memang tidak akan ada orang yang luar biasa tanpa orang yang biasa. Heu. Jadi ini pembelaan saya ketika saya memang dihasilkan untuk jadi orang yang biasa saja? Mungkin. Tapi yang masih saya syukuri adalah kesadaran diri saya kalau saya adalah orang yang biasa dan bertekad bahwa saya akan mendidik anak-anak dan murid-murid yang akan jadi orang yang luar biasa.

Biarkan saya, ketika saya menjadi seorang Ibu, mengelus kepala anak-anak saya sambil berkata “Nak, Ibumu ini hanya orang biasa. Merasa dididik dengan cara yang gagal. Tapi jangan pula salahkan orang yang mendidik Ibumu ini. Karena dengan didikannya, Ibumu ini jadi punya masa depan yang sesuai dengan cita-cita Ibu. Menjadi seorang guru. Cara termudah untuk bisa bermanfaat untuk orang lain. Nak, kamu harus jadi yang lebih baik ya. Wujudkan berbagai cita-cita Ibu yang tidak bisa Ibu raih. Jadi dokter. Jadi pramuagri. Jadi penulis. Atau pilih lah apa pun cita-cita sesuai keinginanmu selama itu masih bisa memberi manfaat untuk orang lain.”

Dan ketika saya menjadi seorang guru, saya juga akan mengatakan hal yang sama. Ahh, rasanya jadi dilema juga. Mengingat nasihat guru tempo hari. Saat saya masih menjadi seorang murid. Semua guru menginginkan murid-muridnya agar menjadi yang lebih baik dibanding dirinya. Dulu saya anggap itu hanya nasihat biasa. Sekarang ketika saya akan menjadi guru, saya baru tahu kalau nasihat itu memang betul-betul beliau sampaikan dari hati. Disertai doa juga.

You May Also Like

0 comments