Sekardus Taro
Euheum. Tulisan ini tidak
memiliki niat apa-apa. Tidak untuk membuka kenangan atau cerita lama lagi. Karena
kenangan ya hanya kenangan. Tidak bisa terulang. Kalau terulang, bukan kenangan
namanya. Tapi lebih tepat disebut masa depan yang tertunda. Lewat tulisan ini
saya hanya ingin menyampaikan terima kasih pada seseorang yang dulu sempat
membuat saya merasa istimewa dan diistemewakan. Namanya ... sebutin jangan?
Inisialnya saja ya. Kalau teman SMA saya pasti tahu siapa dia. Sebut saja dia Bunga.
Eh salah. Sebut saja dia D.
D itu teman dekat saya. Pacar? Ya
bisa dibilang begitu. Dulu tapi. Sekarang kita sudah punya kehidupan masing-masing.
Dan yang saya syukuri, kami masih berhubungan baik. Karena tidak sedikit orang
yang pernah pacaran kemudian putus, malah jadi musuhan. Mungkin karena kami
saling menghormati prinsip hidup kami masing-masing sekarang. Kapan ceritanya?
oh ya. Kita mulai
Cerita ini konyol sih. Ada
lucunya. Ada romantisnya. Saya terpikir untuk menuliskan cerita ini karena
tulisan Pidi Baiq tentang Dilan. Saya juga jadi ingin menceritakan bahwa saya
juga pernah mengalami cerita lucu nan romantis. Hahaha
Pernah ingat tidak, dulu ada
undian dari salah satu merk snack, sebut saja Taro. Haha. Disebut. Hadiahnya
macam-macam. Dan cara untuk mengikuti undian itu adalah mengumpulkan poin yang
ada dalam kemasan snack itu. Kalau tidak salah sekarang juga ada lagi.
Waktu itu saya belum punya handphone. D sudah.
Kebayang tidak anak SMA pacaran, tapi yang satu belum punya handphone. Kadang D
nelpon ke rumah lewat telpon umum di depan rumahnya. Itu pun kadang sambil
diganggu tetangga-tetangga dia yang lewat yang juga teman SMA saya sih. Sebel
juga kadang. Malah kadang saya harus ngobrol dulu sama temennya kalau temannya
itu lagi usil. Atau mendengarkan teriakan-teriakan yang bikin saya
ketawa-ketawa.
Nah, dari situ lah saya pengen punya handphone (kasihan banget
kan saya). Karena tidak mungkin meminta pada orang tua, makanya saya berinisiatif
untuk mengikuti undian itu, karena salah satu hadiahnya handphone. Jangan
ketawa lho. Ini kan sedih. Setiap hari di sekolah saya pasti beli snack itu.
Kebayang tidak sih bagaimana bosennya saya. Saya juga tidak tahu apakah D
memperhatikan saya atau gimana, yang jelas dia memang pernah tanya “Kok
perasaan jajannya itu mulu sih dari kemaren?” Saya Cuma bisa nyengir kuda.
Kemudian dia nebak lagi “jangan-jangan ngumpulin poinnya pengen dapet handphone”.
Saya nyengir lagi.
Beberapa hari kemudian (kalau
tidak salah), setelah pelajaran sekolah selesai. Ketika saya membereskan buku
ke dalam tas, teman dekat saya yang beda kelas (kelas dia sudah selesai duluan)
teriak-teriak sambil menggedor-gedor kaca kelas saya menyuruh saya keluar kelas
dan menghampirinya. Waktu saya keluar kelas dan ... hahaha. Saya melihat D dan
teman-teman saya yang lain sedang asyik makan Taro .. sekardus. Saya melongo.
Tidak tahu apa ini yang namanya romatis atau apa lah. Sikap D biasa saja. Dia
tidak membungkus atau memberi pita pada kardusnya. Bahkan D dan teman-temannya
sudah memakannya sebelum saya datang. D hanya menyuruh saya untuk ikut makan
dan mewanti-wanti teman-temannya untuk tidak membuang bungkus Taro itu. Saya
juga sempat membagi beberapa bungkus kepada teman sekelas dan meminta mereka
untuk makan di tempat dan tidak membuang bungkusnya. Hihi.
Setelah semua bungkusnya terkumpul, saya lupa apa bungkus
Taro itu dibawa saya atau dibawa D ya. Yang jelas, malam harinya D datang.
Membantu saya memotong bagian kemasan yang harus dipotong untuk dikirimkan.
Menghitung jumlah poin dari tiap kemasan yang ternyata cukup untuk ‘harga sebuah
handphone’. Dan besoknya mengirimkannya. Meskipun tidak menang. Tapi akhirnya
dari situ, orang tua saya akhirnya membelikan saya handphone juga. Mungkin
karena mereka melihat kami asyik memotong-motong sampah yang awalnya mereka
kira untuk tugas seni rupa.
Cerita sekardus Taro itu tidak
akan pernah saya lupa dari seorang D. Romantis? Tidak juga sih. Tapi yaa
seperti itu lah. Lucu. Unik. Sama seperti ketika saya meminta mushaf untuk
hadiah ulang taun. Eh ternyata benar. Dia belikan. Dan sekarang masih saya
baca. Semoga amalnya juga mengalir untuk yang memberikannya ya.
Sekali lagi, tulisan ini tidak
memiliki niat apa-apa. Hanya ingin berbagi cerita dan mengucapkan terima kasih
pada yang memberi cerita.
0 comments