Cerita
KKN memang beragam. Mulai dari keindahan alam pedesaan tempat KKN hingga cerita
mistis yang menyertai perjalanan selama kegiatan. Hmm, rasanya itu semua akan
jadi cerita sendiri selama jadi mahasiswa. Tapi rasanya tidak bagi saya. Tempat
KKN saya terbilang dekat dengan kota. Jadi jauh dengan cerita-cerita ala Ethnic
Runaway. Tapi yang akan tetap sama adalah cerita tentang bagaimana berbaur
dengan masyarakat.
Bergaul
dalam lingkungan, adat-istiadat, dan orang-orang baru memang susah-susah
gampang. Sama saja seperti saat kita pindah rumah. Tentu butuh waktu yang
panjang supaya kita bisa kenal dengan tetangga satu RT. Sementara saat KKN,
dengan waktu yang hanya 40 hari kita dituntut untuk bisa mengenal dan
mengidentifikasi serta lengkap dengan mewadahi dan memberi solusi bagi
permasalahan yang terjadi di daerah tersebut.
Masyarakat.
KKN. Dua hal yang sangat berkaitan. KKN sebagai media sekaligus kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh seorang mahasiswa dalam rangka melaksanakan Tri Dharma
Perguruan Tinggi (red. Pengabdian pada masyarakat). Dan masyarakat sebagai
laboratorium sesungguhnya dari teori yang telah kita dapat di bangku
perkuliahan. Meskipun terkadang tidak semua ilmu yang dibutuhkan saat terjun ke
masyarakat akan diperoleh di sana. Kebanyakan malah diperoleh dari kegiatan di
luar itu.
Tipe
masyarakat yang sangat beragam. Mulai dari masyarakat yang antusias dengan
kedatangan kamu intelektual, yang memiliki ekspektasi tinggi dan menganggap
bahwa mahasiswa akan bisa dalam segala hal. Mereka kadang tidak menerima
jawaban ‘tidak tahu’ saat mereka bertanya tentang suatu penyakit pada mahasiswa
jurusan manajemen. Dalam benak mereka, mahasiswa itu ‘pintar’. Hanya itu. Bagi teman-teman
yang mendapat tipe masyarakat ini rasanya lebih beruntung. Karena meskipun
sedikit repot, setidaknya sikap mereka baik dan hangat. Soal pertanyaan mereka
yang kadang di luar kemampuan kita, toh bisa kita cari di internet.
Berbanding
terbalik dengan mereka yang mendapat masyarakat yang sangat antipati terhadap
kedatangan pendatang. Penyebabnya banyak. Bisa jadi memang merke sulit menerima
hal baru dan takut akan suatu perubahan. Bahkan tidak aneh lagi dengan cerita
bahwa di suatu desa, kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok KKN menngeluarkan
banyak dana untuk memancing warga supaya datang dan mengikuti kegiatan. Kalau
sudah begini, lantas siapa yang salah? Apa mahasiswa yang tidak bisa membuat
suatu kegiatan yang dapat menarik masyarakat? Apa masyarakat tersebut memang
tidak mau menerima suatu perbaikan?
Saya
tidak menawarkan solusi bagi permasalahan saat berhadapan dengan masyarakat. Hanya saja ingin sedikit berbagi
tentang cerita-cerita yang saya ambil sendiri hikmahnya. Yaa dengan sedikit analisa
abal-abal tentunya. Bisa jadi jangan-jangan ada sedikit kesalahan yang kita
lakukan saat pendekatan dengan masyarakat. Bagi saya KKN itu seperti dua sisi
uang logam. Di satu sisi, kita akan membantu masyarakat (katanya). Di lain
sisi, kita tidak bisa melaksanakan KKN tanpa masyarakat. Jadi sebetulnya, siapa
yang membutuhkan siapa?
Saya
rasa keduanya. Masyarakat membutuhkan kita. Namun tidak semua dari mereka sadar
dan mau mengakui. Masih banyak mayarakat yang menganggap bahwa ‘jam terbang’
dan ‘pengalaman’ itu adalah guru yang terbaik. Jadi, anak muda jangan sok tau
deh. Kaum ini mungkin adalah kaum yang tidak bisa mengambil hikmah dari
peristiwa Rengasdengklok. Mahasiswa sendiri tentu butuh masyarakat. Buktinya
ada yang rela ‘bayar’ masyarakat buat dateng di kegiatan mereka.
Hmm,
kayanya emang harus ada basa-basi yang diubah. Jangan sebut diri kita sebagai
orang yang akan ‘membantu’. Karena kita juga punya keterbatasan. Ada hal-hal
yang akan kita pelajari dari masyarakat disana. Bagi saya kata yang tepat
adalah ‘saling belajar’. Dan semoga dari proses kedatangan kita ada manfaat
yang bisa diambil oleh masyarakat tersebut.