Haii..
Baru lulus dan sedang galau memikirkan pekerjaan? Terus terpikir untuk
pergi dari tempat tinggal alias merantau? Hmm, yakin? Ga mau pikir-pikir dulu?
Let’s see bagaimana saya menuturkan pengalaman jadi anak rantau yang lagi
ada dalam masa transisi dan adaptasi antara mutusin buat melanjutkan berjuang
di tanah orang atau menyerah pada keadaan.
Jadi gini, beberapa bulan lalu saya baru saja lulus dan merasa galau karena
sudah tiga minggu resmi tanpa pekerjaan. Sebetulnya bukan tanpa pekerjaan juga,
karena ada teman juga yang nawarin pekerjaan sampingan buat jadi pembimbing
olimpiade di salah satu sekolah. Lumayan. Meskipun cuma tiga minggu, tapi cukup
untuk menyambung status yang kemarin masih jadi mahasiswa. Jadi kalau ditanya
sekarang lagi sibuk apa, at least ga jawab diem di rumah aja. Hehehe. Dan
setelah pekerjaan itu hampir selesai, alhamdulillah dapat tawaran lagi dari
teman KKN untuk ngajar di kota yang jadi kota impian untuk ditinggali setelah
Malang dan Wonosobo. Yippii, seneng dong. Mau belajar rantau.
Ehh tapi bulan-bulan awal gitu deh. Masih sering homesick. Raga dimana tapi
pikiran dimana. Hahaha.
Dan setelah bulan ketiga sudah cukup enjoy. Hhmm, menyenangkan juga.
Tapi, sekarang ... galau lagi. Hahaha.
Mudah-mudahan ungkapan ini bukan salah satu indikasi kufur nikmat. Ya
Allah, hamba bersyukur sekali mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas.
Seperti yang telah Engkau janjikan, bahwa setiap manusia akan diberi ujian
sesuai dengan kemampuan. Dan hamba mengimani bahwa Engkau tidak pernah ingkar.
Dan tanpa mengurangi rasa terima kasih pada penunjuk jalan, teman masa KKN,
yang sudah berbaik hati menunjukkan pekerjaan dan melepaskan saya dari belenggu
kegalauan pengangguran, saya curhat dikit di sini boleh ya.
Banyak hal yang tak pernah terpikirkan bahwa jadi anak rantau itu ga
semudah nonton film Modus Anomali yang kamu tinggal duduk manis dan nikmatin
tegang-tegangnya aktor doang.
Pernah ngerasain ga sih ketika kamu pulang ke kota asal, terus baru sampai
di pintu tol perasaan aneh menyergap. Semacam perasaan tak disambut ramah.
Rasanya setiap bangunan yang saya lihat sepanjang jalan dari terminal menuju
rumah melirik sinis sambil berkata “Ihh nih orang ngapain sih pulang? Udah
pergi ninggalin kita juga.” Rasanya kaya pengen minta maaf, tapi sama siapa.
Agak lebay kedengerannya sih. Bodo amat.
Dan juga rengekan orang-orang sekitar yang meminta kembali. Terlepas dari
apakah mereka tulus berucap seperti itu atau tidak, tapi tetap ada perasaan
kangen ketika baca komen mereka entah di path, IG, atau jejaring sosial apapun
itu lah “Teteh kapan ke Bdg lagi?” “Bu, ajarin kita lagi atuh” “Bu, main atuh
ke sekolah. Meuni ga pernah ke sini lagi” atau ungkapan “Yeayy, balik Bdg Bu?
Ngajar lagi atuh” sewaktu saya posting foto ketika saya sedang berada di Bandung.
Belum lagi dengan sahabat, kawan, atau juga mantan (ups) yang meminjam
berjuta bentuk yang rasanya sayang untuk ditinggal jauh sehingga harus menunggu
momen semacam bukber atau reuni demi berjumpa. Itu juga kalau jadwalnya sesuai
dengan kepulangan.
Atau lagi melewatkan momen pernikahan sahabat dekat yang bikin nyeselnya ga
tau harus gimana. Ini benar-benar saya alami kemarin ketika sahabat jaman SMP
nikah dan saya ga hadir lantaran ga bisa pulang. Maafin ya Tiara.
Dan terakhir dan yang paling berharga yaa keluarga. Melewatkan berbagai
momen Ibu dan Bapak menuju tua. Tidak ikut membimbing secara langsung adik yang
seharusnya bisa lebih baik dari Kakaknya. Ada perasaan ga lengkap juga jadi
anggota keluarga.
Heyy, kalian anak rantau, pada ngerasain ini ga sih? Atau cuma saya aja
yang lagi mellow?