Hidup itu tentang pilihan. Dan
setiap pilihan itu kadang mengundang kedilematisan. Basi ya. Tapi ungkapan itu
tidak akan jadi basi selama manusia masih hidup.Karena pilihan hanya ada di
dunia. Ketika sudah mati, barulah manusia tidak memiliki pilihan. Kecuali
mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia pilih ketika hidup.
Memilih untuk jadi orang baik
atau orang jahat. Memilih rizki halal atau rizki haram. Memilih jodoh baik atau
jodoh kurang baik. Ehh malah nyerempet kesitu. Maaf kebiasaan. Mehh
Bermula dari renungan saya ketika
tanpa sengaja membaca status facebook salah satu teman KKN saya. Anggya
namanya. Dia mengungkapkan yang kira-kira isinya tentang kegundahan dia untuk
memilih lulus cepat atau banyak pengalaman selama kuliah. Idealnya sih hampir
semua orang pasti memilih untuk banyak pengalaman (dan juga lulus cepat). Tapi
apa praktisnya semudah itu?
Saya bukan tipe orang yang suka
dengan tantangan atau mencoba hal baru. Masalah beli miuman atau jajan saja.
Biasanya saya akan beli jus strawberry atau jajan ke warung yang sama. Saya
selalu takut kecewa ketika membeli minuman atau jajan ke warung yang berbeda.
Untung saja sekarang, di bangku kuliah, saya punya teman yang selalu penasaran
terhadap sesuatu hal. Salah satunya makanan baru misalnya. Jadinya saya jadi terbawa.
Haha. Itu baru masalah sepele. Karena hidup bukan hanya tentang memilih
jajanan.
Hmm, kalau ada diantara kalian
yang pernah membaca bio twitter saya, mungkin akan sedikit tau tentang
keinginan saya yang satu ini. Iya. Saya sedang mencoba untuk menyukai
tantangan. Tanpa memikirkan apa hasilnya. Yang penting proses yang saya jalani
alias pengalaman yang saya peroleh. Lagi-lagi pengalaman.
Saya ambil contoh masalah
pemilihan tempat KKN. Saya sengaja memilih tempat terdekat dengan rumah. Bisa
dibilang KKN di rumah sih. Karena memang satu kelurahan dengan rumah saya.
Hanya saja yang menjadi fokus program waktu itu bukan di RW lingkungan rumah.
Karena waktu itu program yang diusung tentang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
yang memang tidak ada di lingkungan rumah.
Sebagian orang akan bilang “Ihh
apaan sih. KKN di rumah. Enggak ada pengalamannya?”. Lagi-lagi lagi tentang
pengalaman. Saya mengiyakan. Memang mungkin pengalaman yang diperoleh dari KKN
di sekitar rumah jauh jauh lebih sedikit ketimbang KKN di tempat jauh atau
pedalaman. Tapi saya mau membela diri. Tahu apa yang membuat saya memilih
tempat KKN dekat? Alasan pertama, memang itu tuntutan (bukan tuntutan juga sih.
Lebih tepatnya saran yang sangat diharapkan untuk dikabulkan) orang tua. Alasan
mereka supaya kalau dekat, biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit. Meski
setelah dijalani, rasanya sama saja. Haha. Alasan kedua, memang datang dari
saya. Saya adalah tipe orang yang mudah home sick. Jangankan untuk berminggu-minggu
di tempat orang lain. Baru saja satu malam menginap di kosan atau rumah teman,
pasti ada satu kali saya bilang “kangen rumah ih”. Alasan ketiga yang cukup
jadi alibi saya ketika orang mencibir saya adalah pengalaman itu bisa diperoleh
dari lingkungan sekitar kita. Kenapa harus jauh-jauh ingin mengabdi pada daerah
orang lain, sementara masih ada masalah yang harus dibenahi di daerah sendiri?
Saya tidak tahu apa ketiga alasan
yang saya sebut di atas itu bisa dibenarkan, bisa diterima, atau memang hanya
sekedar alasan dari seorang yang takut akan tantangan.
Contoh lain yang sedang saya
hadapi saat ini adalah masalah pemilihan tempat PPL. Ada yang belum tahu PPL.
Singkatnya itu seperti kuliah praktek atau kuliah lapangan bagi para calon
guru. Jadi ngapain? Ya ngajar. Di sekolah-sekolah yang sudah ditentukan oleh
kampus. Dan kita memilih ingin masuk sekolah mana. Beberapa teman sengaja
memilih sekolah bagus. Sekolah favorit. Sekolah elit. Atau bahkan sekolah
internasional. Kalau sekolah internasional, saya bukan tidak tertarik. Tapi kemampuan
bahasa inggris saya memang kurang baik. Jadi tidak mungkin saya memilih sekolah
internasional.
Lagi-lagi dalam hal ini saya
memilih sekolah tempat saya menimba ilmu saat SMA. Bukan sekolah favorit.
Letaknya di pinggiran kota. Nun jauh dari peradaban sana. Tidak ada yang bisa
dibanggakan. Lulusan setiap tahun yang bisa masuk PTN favorit bisa dihitung
jari. Meskipun lulusannya di UPI (kampus saya) hampir ada di setiap jurusan. Ya
berarti lumayan juga ya. Bukannya saya sedang menjelek-jelekkan almamater saya
sendiri. Karena memang begitu lah kenyatannya. Meski dalam hati kecil saya, ada
keinginan untuk memajukan sekolah saya itu. Lagi-lagi entah kenapa. Saya
terlanjur jatuh cinta pada SMA saya itu. Perasaan jatuh cinta ini tidak saya rasakan
pada SMP atau SD saya (SD lumayan cinta juga sih. Lebih tepatnya bangga, karena
SD saya termasuk sekolah favorit. Hehe).
Oke. Kembali ke masalah kedilematisan.
Tentu saja sebagian orang akan mengatakan seperti ketika saya memilih tempat
KKN. Meski ada juga beberapa orang yang mengatakan saya beruntung. Mungkin juga
mereka itu seperti saya, takut tantangan. Entahlah. Alasan mengapa saya memilih
SMA sendiri hampir sama dengan alasan saya memilih tempat KKN. Tapi justru
sekarang lebih dilema ketimbang pemilihan tempat KKN. Masalahnya ini PPL. Jalur
yang akan sangat berhubungan dengan masa depan saya yang calon guru ini.
Ketika saya bercerita pada orang
tua saya, Ibu saya malah berpendapat kalau saya kurang bersyukur pada
kemudahan-kemudahan yang Allah beri. Mengingat pemilihan tempat PPL dan KKN itu
penuh perjuangan. Lagi-lagi saya mengiyakan apa yang Ibu saya bilang. Saya
berpikir ulang kalau semua ini adalah keputusan Allah yang pasti sudah jadi
yang terbaik untuk saya menurut Allah. Bisa jadi ketika saya ditempatkan di
sekolah lain, saya malah tidak bisa melewatinya. Meski kadang saya berpikir
lagi, apakah tantangan itu ditemukan atau diciptakan? Nah ini yang belum saya
tahu jawabannya. Saya sempat berpikir kalau pola pikir orang tua saya itu
seperti saya. Takut akan tantangan. Takut mencoba hal baru. Selalu memilih
jalan termudah. Saya bukan sedang menyalahkan orang tua saya. Karena mungkin
sebagian besar orang tua akan punya punya pikiran ‘kolot’ yang sama. Setidaknya
ini cukup menjadi pelajaran untuk saya ke depannya agar menjadi orang tua yang
lebih baik untuk anak-anak saya. Menanamkan keberanian terhadap anak-anak saya.
Contoh lain dari pola pikir orang
tua saya dalam masalah pemilihan sekolah. Orang tua saya berpikir bahwa sekolah
dimana saja ya sama saja. Mau di sekolah favorit atau sekolah ecek-ecek,
tergantung muridnya. Itu juga yang mungkin akhirnya membuat saya masuk sekolah
yang biasa-biasa saja, meskipun nilai saya waktu itu cukup untuk masuk sekolah
favorit. Kalau masalah ini, ketakutan orang tua saya bukan pada takut kalau
saya tidak bisa mengikuti pelajaran. Tapi lebih kepada ketakutan tidak bisa
membiayai biaya sekolah di sekola favorit. Ckck. Yang ini ironis ya. Meski
akhirnya setelah saya, yang dulu punya prestasi yang cukup tapi bersekolah di
sekolah biasa-biasa saja, hanya bisa masuk kampus yang biasa-biasa saja. Tidak
sesuai dengan ekspekatsi orang tua.
Akhirnya saya pula yang bisa
merubah pola pikir orang tua saya itu. Saya katakan bahwa sekolah dimana saja
sama saja itu memang betul. Selama yang bersekolah adalah anak yang juga
biasa-biasa saja. Tapi ketika anak itu punya potensi dan semangat yang tinggi,
hal ini akan jadi kesulitan ketika anak itu bersekolah di sekolah yang
biasa-biasa saja. Dengan persaingan yang biasa-biasa saja, anak tersebut akan
mudah puas dengan apa yang dia raih. Tolak ukur anak tersebut akan rendah
mengingat pesaingnya adalah anak yang biasa-biasa saja. Ketika anak itu melihat
ke luar dan bersaing dengan murid sekolah favorit, jadilah seperti saya. Yang
saya syukuri adalah akhirnya orang tua saya mengerti. Mereka juga akhirnya
berniat menyekolahkan adik saya di sekolah favorit sekarang. Baru niat orang
tua. Tergantung nilai adik saya juga. Tapi setidaknya saya senang ketika bisa
merubah pola pikir itu. Bukan karena saya merasa puas bisa mengalahkan orang
tua sendiri. Tapi karena saya menyayangi orang tua saya, keluarga saya, dan
diri saya sendiri.
Panjang banget ceritanya. Hehe.
Itu sepanggal kisah saya tentang pilihan. Juga tentang tantangan.
Yang saya rasakan saat tingkat
akhir ini ya menyesal. Menyesal tidak bisa memanfaatkan kesempatan saat jadi
mahasiswa untuk bisa ke luar negeri gratis, jadi ketua salah satu organisasi, memperluas
jaringan, dan ... masih banyak lagi.
Lagi-lagi tentang pilihan. Hidup itu
memang pilihan. Pilihan untuk jadi orang yang biasa atau luar biasa. Tapi
memang tidak akan ada orang yang luar biasa tanpa orang yang biasa. Heu. Jadi
ini pembelaan saya ketika saya memang dihasilkan untuk jadi orang yang biasa
saja? Mungkin. Tapi yang masih saya syukuri adalah kesadaran diri saya kalau
saya adalah orang yang biasa dan bertekad bahwa saya akan mendidik anak-anak
dan murid-murid yang akan jadi orang yang luar biasa.
Biarkan saya, ketika saya menjadi
seorang Ibu, mengelus kepala anak-anak saya sambil berkata “Nak, Ibumu ini
hanya orang biasa. Merasa dididik dengan cara yang gagal. Tapi jangan pula
salahkan orang yang mendidik Ibumu ini. Karena dengan didikannya, Ibumu ini
jadi punya masa depan yang sesuai dengan cita-cita Ibu. Menjadi seorang guru.
Cara termudah untuk bisa bermanfaat untuk orang lain. Nak, kamu harus jadi yang
lebih baik ya. Wujudkan berbagai cita-cita Ibu yang tidak bisa Ibu raih. Jadi
dokter. Jadi pramuagri. Jadi penulis. Atau pilih lah apa pun cita-cita sesuai
keinginanmu selama itu masih bisa memberi manfaat untuk orang lain.”
Dan ketika saya menjadi seorang
guru, saya juga akan mengatakan hal yang sama. Ahh, rasanya jadi dilema juga.
Mengingat nasihat guru tempo hari. Saat saya masih menjadi seorang murid. Semua
guru menginginkan murid-muridnya agar menjadi yang lebih baik dibanding
dirinya. Dulu saya anggap itu hanya nasihat biasa. Sekarang ketika saya akan
menjadi guru, saya baru tahu kalau nasihat itu memang betul-betul beliau sampaikan
dari hati. Disertai doa juga.