Akhirnyaa ada ide lagi buat
nulis. Haa. Di sela-sela menunggu kegiatan PPL dimulai.
Tadi sore (selepas maghrib
sebetulnya) saya mengajar private anak SMP. Baru Kelas 7. Dan di sela-sela
belajar, biasa kalau selalu ada sesi curhat. Supaya enggak ngantuk juga. Waktu
selepas maghrib itu kan memang cocok untuk tidur-tiduran di kasur sambil twitteran
atau sekedar dengerin radio. Ini malah disuruh belajar. Yaa siapa yang tidak
bosan. Hehe.
Di curhatnya itu, dia cerita
tentang kejadian tadi pagi yang hampir membuat dia telat masuk sekolah. Membuat
dia menggerutu pada Ayahnya dalam perjalanan. Meski menurut pengakuan sang
anak, Ayahnya malah bilang “ehh, ya ga boleh bilang gitu dong”. Jadii,
ceritanya tadi pagi itu dia ke sekolah diantar ayahnya dan mendapati jalanan
terhenti. Ternyata ada serombongan kawalan polisi. Awalnya dia tidak tahu apa
yang dikawal polisi itu. Sampai beberapa meter dia mengamati dan ternyata....
serombongan orang yang sedang naik sepeda. Hah? Naik sepeda dikawal polisi?
Iya. Meskipun tidak tahu pasti, tapi menurut dia itu adalah rombongan pejabat
penting yang sedang melaksanakan program Jumat Bersepeda yang diagagas Walkot
Bandung. Ckck. Dan dengan kesal kemudian dia menggerutu “lebay amat ampe
dikawal gitu. Padahal rakyatnya udah telah mau masuk sekolah”. Hohoho. Saya
jadi tergelitik sendiri. Kritikan semacam itu bisa juga keluar dari anak Kelas
7 SMP. Kritikan terhadap sebuah kebijakan yang ternyata dalam pelaksanaanya
malah tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Hmm
Dan ... yang masih saya kurang
paham adalah kenapa ya pejabat-pejabat itu senang sekali diistemewakan? Tidak
semua sih. Banyak juga dari mereka yang bersikap merakyat.
Jadi ingat kejadian beberapa
minggu lalu, saat saya harus kuliah jam 1 siang. Seperti biasa saya pergi jam 11
dari rumah. Jarak yang jauh dan antisipasi macet membuat saya harus menyediakan
waktu ekstra untuk perjalanan yang ‘hanya’ sekedar ke kampus. Yang menurut
teman saya, sama seperti waktu tempuh Setiabudhi dengan kota asalnya, Subang. Ohh
Bandung, mengapa engkau sekarang sudah mirip Jakarta?
Tidak biasanya macet di daerah
Halteu (Jl. Abdurahman Saleh) menjadi luar biasa panjang dan lama. Menurut
sopir angkot arah sebaliknya sih, macetnya sampai Padjadjaran. Banyak juga yang
menyerah dan akhirnya memilih untuk turun dan berjalan kaki. Termasuk saya
akhrinya. Tapi tidak mungkin juga kalau saya harus berjalan kaki sampai kampus.
Akhirnya saya putuskan untuk jalan kaki hingga menemukan angkot yang harus saya
naiki selanjutnya, jurusan Lembang. Meski sudah turun dan jalan kaki, tetap
saja membuat saya harus menghubungi dosen meminta izin untuk datang telat. Dan
alhamdulillah diizinkan. Sampai di kampus pun jadi jam 1.30 yang biasanya hanya
sekitar jam 12.30 atau paling lambat juga jam 12.45. Saya pun bingung ketika
menjelaskan alasan mengapa saya datang terlambat. Karena terkesan konyol dan
mengada-ada. Tapi memang itu lah adanya. Macet yang sampai mengakibatkan semua
siswa yang masuk sekolah shift siang hari itu disebabkan oleh ... pemakaman
salah satu ‘orang penting’ yang dimakamkan di Sirnaraga. Dengan jumlah
pengantar dan juga kendaraannya yang banyak hingga membuat berita macet itu
ramai di social media. Komentar lucu dari sopir yang saya naiki adalah “Euhh
ini orang udah meninggal aja nyusahin orang banyak orang. Gimana waktu hidup”
sambil bercanda juga sih. Hehe.