Counter
baru memang membutuhkan perhatian lebih. Apalagi baru ada satu pegawai di situ.
Gynta sedang merapikan scarf sesuai
gradasi warna. Pengunjung yang datang kemarin lumayan banyak. Membuat ia harus
kerja ekstra juga merapikan kembali barang-barang yang sudah dipilih-pilih.
Banyak juga dari mereka yang hanya mengacak-acak, namun tak menjatuhkan pilihan
yang mana pun.
“mba,
adek saya baru lulus kemarin. Bolah ga kalo ikut kerja disini. Sekalian aja
saya yang ajarin. Biar ga canggung juga.” Nita menghentikan aktifitasnya
sebentar menunggu tanggapan bossnya
itu.
“ya
boleh. Bawa aja langsung lamarannya kesini. Nanti saya atau Janny wawancara
dia. Biar saya juga enggak harus dari pagi datengnya.” Yang ditanya menoleh dan
kembali melanjutkan tata letak pashmina kali
ini.
“iya
deh, Mba. Nanti saya suruh dia kesini secepatnya.” Senyum sumringah terlukis di
bibir Nita. Adiknya yang baru lulus SMA itu setidaknya memiliki peluang besar.
Gynta memang lebih senang merekrut pegawai hasil rekomendasi pegawai yang sudah
lebih dulu bergabung dengannya. Bukan karena ikut-ikutan menggalakkan nepotisme.
Alasannya akan lebih mudah menaruh kepercayaan dan rasa persaudaraan kalau
sesama pegawai sudah saling kenal. Toh sesungguhnya nepotisme itu dibolehkan
asalkan orang tersebut memang memiliki kemampuan. Setidaknya itu yang dikatakan
dosennya sewaktu menjalani kuliah Psikologinya.
Ornamen
pintu masuk mengeluarkan suara gemerincingnya. Pengunjung pertama.
“selamat datang. Silahkan.” Nita
bangkit dari duduknya dan tersenyum menyambut.
Semoga menjadi langkah awal yang
baik. Gynta memindahkan pandangannya ke arah pintu. Seorang perempuan berjilbab
hingga pinggang menuntun bocah yang ia perkirakan berusia dua tahun. Ia
melanjutkan kembali mengamati hasil karyanya. Tak sempat ia melihat sosok yang
mengikuti sosok akhwat solehah itu.
“maaf Mba, saya lagi nyari baju
buat ibu saya.”
Gynta terhenyak mendengar suara
itu. Untuk beberapa nano detik ada jutaan perasaan yang ia tidak tahu apa itu. Sebagian
kecil pikirannya meyuarakan untuk meninggalkan suara itu, namun tak luput juga
yang menyarankan untuk menghadapinya. Siapa pun pemilik suara berat itu.
Gynta membalikkan badan. Melihat sosok
yang ada di depannya dari bawah. Berharap ia dapat menebak dari sepatu atau
bentuk kakinya mungkin.
Namun sosok itu telah lebih dulu
melihat Gynta tepat di matanya. Mata yang sempat membuatnya rindu untuk sekedar
melihatnya berkerut akibat tawa pemiliknya. Mata yang sempat menunjukkannya
dunia luar yang dulu sempat ia takuti. Dan yang terakhir ia lihat, mata itu
basah akibat sesuatu yang tak dapat ia jelaskan. Mata itu masih sama. Masih setajam
dulu. Ada sedikit keangkuhan di sudutnya yang membuatnya sempat berdesir. Namun
ia juga tetap dapat menemukan keteduhan dan sifat manja yang dulu juga sempat
membuatnya merasa harus melindunginya.
Gynta tak ubahnya manekin kali ini. ia telah sampai pada
bagian dimana otak sang pemilik berada. Otak cerdasnya yang membuat ia kagum
yang terlanjur termanifestasikan sebagai rasa iri. Rasa yang berubah menjadi
serangkaian reaksi dan gelombang yang tak pernah ia temukan dalam buku
pelajaran Kimia maupun Fisikanya. Ia masih mengobrak-ngabrik gudang
kenangannya. Berharap menemukan sesuatu sebagai petunjuk tentang orang di
depannya ini. Jauh di sudut alam sadarnya, ada sebuah kotak yang telah tertutup
debu disana. Kotak yang sepertinya sengaja ditutup rapat. Sebuah kotak kecil
namun juga sepertinya secara sengaja pula dilukis indah. Tak sedikit pun celah
dari bagiannya yang tak berwarna.
***
“kayanya
kita harus jauh aja deh.” sudah kesekian kalinya ia mengungkapkan kalimat ini.
“kenapa?”
Gynta mulai membaca gelagat tidak enak.
“aku
pengen serius kuliah.” Laki-laki itu masih menatap ke depan. Menyusuri aliran
air di bawah tempatnya berpijak.
“tapi
kan ga harus jauh. Kenapa? Nilai ujian kamu jelek yaaa?” Gynta mencoba
menenangkan hatinya yang tak tenang. Ia pernah membaca bahwa memgeluarkan joke dapat membuat suasana lebih rileks.
Laki-laki
itu kemudian merubah posisinya. Menghadap Gynta.
“Gyn,
aku punya tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar bermain-main kaya kita
gini.”
Apa? Main-main?
Jadi selama ini ia anggap semua ini main-main. Gynta mengumpat dalam hati.
Perempuan memang selalu
terburu-buru. Terlalu cepat mengartikan perasaan, terlalu cepat berharap,
bahkan terlalu cepat berpikir jauh.
“ada cewek lain ya?” suara Gynta
mulai parau. Ia bingung juga. Laki-laki itu bukan pacarnya. Bukan pula teman
biasa. Selama ini mereka seperti melewati jalanan di pagi buta. Menyejukkan namun
kabur terhalang embun.
“enggak. Aku ngerasa kedekatan
kita terlalu berlebihan aja.” Laki-laki itu masih dengan tenang menjawab.
Gynta memang mahasiswa psikologi.
Namun ilmunya di semester tiga ini belum cukup untuk mengetahui isi hati orang
sebenarnya.
“pasti gara-gara organisasi kamu
itu ya? Udah ada akhwat yang nyangkut
di hati kamu?” perempuan juga memang terlalu cepat emosi.
“aku udah bilang. Jangan bawa-bawa
organisasi aku. Kamu yang terlalu kekanak-kanakkan. Belajar dewasa dong, Gyn. Masih
banyak yang harus kita pikirin daripada sekedar cerita cinta monyet kaya gini.
Kita udah jadi mahasiswa, Gyn. Udah beda sama waktu sekolah.”
Ya memang beda. Beda kampus, beda
lingkungan, beda teman sepermainan. Dan yang pasti beda gengsi. Terbersit dalam
pikiran Gynta kalau laki-laki itu merasa malu dekat dengan Gynta yang bukan
berasal dari kampus bergengsi sepertinya.
Gynta menelan ludah. Menahan sebongkah
amarah, kecewa, entah apa namanya. Sudah sekian kali pula mereka terlibat
perdebatan dengan judul yang sama. Dan mungkin pula ini puncaknya.
“aku ga bisa janji apa-apa ke
kamu. Bukan aku ga mau, aku cuma ga mau kamu terlalu mengharapkan aku. Jangan berharap
pada makhluk, Gyn. Aku ga mau kamu jadi seolah ngemis cinta. Lupain aku. Cari yang
lebih baik.”
Laki-laki itu melangkah tanpa ada
kata lagi. Tanpa ucapan perpisahan. Tanpa perayaan kepergian.
Tak ada perselisihan yang membuat
mereka diam untuk waktu yang lama sebelumnya. Mereka hanya terdiam karena
tengah asyik dengan kegiatan kampusnya masing-masing. Gynta yang sedang mencoba
sibuk dengan dunia kampus karena cerita-cerita pria itu tentang kegiatan di
kampusnya. Dan laki-laki itu juga tengah asyik dengan.. Gynta masih belum
menemukan jawaban yang membuatnya puas. Meskipun laki-laki itu berulang kali
meyakinkan penjelasan itu lah yang seharusnya membuat Gynta paham maksudnya. Gynta
senang laki-laki itu menjadi lebih taat. Lebih peduli sesamanya. Lebih aktif di
kampusnya. Tapi ternyata tak sadar sedang mempersiapkan pula kesakitannya.
Bukan. Ini bukan kesakitan ini
hanya sementara. Ia meletakkan semua cerita-cerita bersama laki-laki itu pada
sebuah kotak kecil yang sengaja ia lukis dengan tanpa meninggalkan seinci pun tanpa sapuan kuas. Ia sebut itu
kenangan kecil namun cukup indah jika dibuka.
Tidak. Ia tidak berminat untuk
membukanya. Ia sudah memberinya gembok terbaik di dunia. Kuncinya ia buang jauh
di negeri antah berantah. Mungkin juga di negeri tempat tinggal Batara Kala. Berharap
monster itu bisa ikut memakan kuncinya agar ia tak dapat menemukannya kembali.
***
Susah payah
Gynta melewati negeri antah berantah dan meminta kunci itu kembali pada Batara
Kala.
Kotak itu
masih terbuka. Isinya tercecer memenuhi ruang pikirnya yang semula kosong.
Sejujurnya
hingga ia menyelesaikan kuliah psikologinya, ia juga belum bisa menerka apa
yang ada dalam pikiran seseorang. Begitu pun kali ini. Laki-laki yang juga
sempat ia ingin tahu perasaannya.
“oh ya,
Pa. Sebelah sini.” Gynta tersenyum sambil memberi tanda pada laki-laki itu
untuk mengikutinya.
Gynta membawanya
pada deretan baju gamis. Tak ada percakapan teman lama. Atau sekedar basa-basi
lama tak jumpa. Keduanya seperti sudah kompak menyimpan percakapan dan
basa-basinya dalam hati.
“Abby, gimana? Udah nemu?” perempuan berjilbab itu mendekati laki-laki itu setelah memberikan seulas senyum pada Gynta.
“Abby, gimana? Udah nemu?” perempuan berjilbab itu mendekati laki-laki itu setelah memberikan seulas senyum pada Gynta.
Gynta beranjak
dari tempatnya. Menghampiri meja kasir. Menyuruh Nita untuk melayani pelanggan
pertamanya itu, tanpa memberitahunya pertualangan yang baru saja ia jalani. Berpura-pura
sibuk dengan tumpukan kertas. Sesekali ia perhatikan juga percakapan dua orang
itu.
Perempuan
itu berjalan di depan diikuti laki-laki itu menuju meja kasir. Gynta hanya
menyunggingkan senyum tanpa mengeluarkan kata. Mengscan lebelnya, memasukkan salah satu gamis itu ke dalam paper bag, menerima uang yang disodorkan
perempuan itu, membuka laci pada mesin kasir, mengatur kembalian, menyerahkan
belanjaan, uang kembali, dan struk belanjanya.
“terima
kasih. Lain kali berkunjung lagi ya.” Kali ini Gynta bersuara.
Perempuan itu berlalu sambil
menuntun bocah laki-lakinya.
“makasih ya, Gyn.” Suaranya itu
mungkin tak terdengar perempuan yang telah lebih dulu berlalu menuntun bocah
laki-laki yang masih merengek minta es krim. Laki-laki itu tersenyum. Senyum yang
pernah membuat ia lupa dunia mungkin.
Meja kasir itu terletak dekat
pintu masuk. Ia masih bisa melihat mereka masuk mobil. Gynta tersenyum.
Beep beeep
‘My Beloved Husband’ tertulis di screen handphonenya.
Segera ia bereskan lamunannya. Memasukkan
kembali album dan potongan cerita itu ke dalam kotaknya. Ia sudah berjanji
untuk memberikannya pada Batara Kala. Dan memintanya untuk jangan pernah
memuntahkannya lagi sekuat apa pun ia memohon.
Catatan Gynta : aku tidak tahu apa yang membedakan khayalan
dengan impian. Ada yang bilang impian adalah imajinasi yang dapat membuatmu
bahagia. Sedangkan khayalan tidak. Aku juga tidak tahu bagian mana dari cerita
ini yang harus ku anggap sebagai khayalan dan mana sebagian lagi sebagai
impian.