TETANGGA
Aku
masih mempertahankan posisi botol minyak itu terbalik di atas wajan. Sambil
sesekali mengetuk-ngetukkannya pada pinggir wajan. Berharap masih ada tetesan
minyak yang cukup untuk kegiatan masak ku kali ini. Aku berencana membuat tahu
yang dipotong memanjang yang dibalut dengan adonan tepung dan diberi sentuhan
akhir tepung roti. Awalnya aku sempat mencicipi makanan itu di sebuah kafe di
salah satu mall saat aku dan teman-temanku hendak mencoba shisa. Memang aneh. Shisa memang
sudah ada dan populer beberapa tahun yang lalu, namun aku baru mencobanya. Rasa
penasaran itu memang baru muncul beberapa waktu lalu.
Karena aku pikir makanan berbahan
dasar tahu ini mudah tertebak bahan dan pembuatannya, maka semenjak saat itu
aku menjadi sering membuatnya sendiri di rumah. Apalagi saat libur dan tak ada
rencana keluar rumah. Lumayan untuk sekedar teman nonton tv atau membaca novel
yang sengaja ku pinjam dari perpustakaan kampus.
Aku
melirik selembar uang sepuluh ribu yang ibu letakkan di meja makan. Sebelum tidur
ia memang bilang, minyak gorengnya mungkin tak cukup untuk menggoreng makanan yang ibu bilang ‘tahu aneh’ itu. Aku
menghela nafas. Semoga minyak ini cukup lah dan tak membuat karya ku menjadi
gosong.
Aku
malas membeli minyak goreng itu. Bukan tentang matahari yang sedang terik.
Warung itu hanya berjarak tak lebih dari lima meter. Di seberang rumah ku
tepatnya. Keluarga ku sudah tahu kalau aku memang malas untuk keluar rumah.
Namun bila diajak berjalan-jalan jauh, toh aku paling semangat. Mereka tidak
tahu apa alasannya.
Aku malas bertemu tetangga.
Bagiku mereka hanya tak lebih dari sekedar orang-orang yang hobi bergosip dan
bersorak di belakang saat yang lain mendapat musibah. Ibu ku bukan orang yang
suka berkumpul lama-lama di warung untuk ikut nimbrung, makanya beliau jadi
orang yang mungkin paling akhir mengetahui gosip-gosip di sekitar tempat
tinggal ku.
Aku masih belum memahami ungkapan
bahwa tetangga adalah saudara terdekat. Aku masih meraba-raba dimana letak
saudaranya. Entah aku juga yang kurang bersosialisasi.
“punteeeen !” seseorang berteriak
dari arah depan rumahku.
Siapa sih siang-siang begini
berrtamu. Paling sales yang memaksa membeli serbuk pencegah demam berdarah.
Percuma. Aku tidak akan membelinya. Namun suara itu terdengar hingg tiga kali.
Aku mematikan kompor dan berjalan ke depan
Aku membuka pintu. Seseorang yang
banjir dengan keringat dengan tergopoh-gopoh menuntun motor bebeknya. Ia
berdiri di carport. Aku pun tak
menghampirinya dan hanya berdiri di ambang pintu.
“mba, ikut nitip motor boleh?
Rumahnya lagi diberesin.” Laki-laki berbadan tinggi tegap itu tersenyum sambil
menyeka keringat di dahinya.
Aku tersenyum dan mengiyakan. Ia
pun pamit pulang setelah meletakkan motornya di bawah pohon mangga agar tidak
kepanasan sesuai saranku.
Mas Wahyu. Tetanggaku yang hanya
terhalang dua rumah. Orang tuanya berasal dari jawa sehingga orang-orang di
sekitar ku memanggilnya dengan sebutan ‘mas’. Dan aku yang bisa dibilang
pendatang dibandingkan keluarga Mas Wahyu yang lebih dahulu tinggal di sini,
mengikuti memanggilnya dengan awalan ‘mas’ baru kemudian namanya.
***
Ibu masuk ke rumah dengan membawa
bungkusan berwarna hitam. Mungkin berisi minyak goreng yang tadi siang tak ku
beli itu.
“motor siapa di luar?” ibu
mendongakkan kepalanya di pintu kamarku.
“Mas Wahyu. Katanya rumahnya lagi
diberesin.” Aku hanya menjawab tanpa berpaling dari layar laptopku.
“ohh, mau lebaran mungkin ya.
Tuh, orang lain juga gitu. Mending sekarang kalau mau bebenah rumah. Kalau
nanti udah puasa kan jadi males.”
Aku hanya tersenyum. Aku tahu itu
sindiran untuk Ayah yang sedang menonton tv. Cat yang sudah dibeli beberapa
minggu lalu masih tergeletak rapi di sudut dapur.
***
Ibu selalu memuji Mas Wahyu
sebagai sosok yang sopan. Tak heran bila ia seolah selalu memaksa penghuni
rumahku untuk keluar hanya untuk menyunggingkan senyum dan memberikan izin saat
ia hendak menitipkan motornya di pagi hari. Begitu pun ketika sore hari untuk
mengucapkan terima kasih saat ia hendak mengambil kembali motornya.
Dan sudah beberapa hari ini pula aku yang
selalu harus bolak-balik keluar rumah. Adik ku sedang menghabiskan liburan
sekolahnya di rumah Eyang. Dan tinggal aku lah satu-satunya anak tersisa yang
jadi korban suruhan orang tua.
“mba, biasa ikut nitip motor.”
Seseorang yang tak asing itu mengagetkan ku yang sedang berusaha menggapai
salah satu dahan pohon mangga depan rumahku.
Aku pun membalikkan badan ,
tersenyum dan mengangguk sambil menuggu ia pamit pulang seperti biasa. Namun
dugaanku salah. Ia mendongak ke atas pohon mangga. Dan kembali menatapku.
“lagi apa mbak?”
“ohh ini tadi waktu ngejemur di atas, eh ada baju yang jatoh dan nyangkut di pohon.” Aku tersenyum malu menutupi rasa kikuk atas kecerobohanku. Ia kembali mendongak ke atas dan mencari-cari benda yang ku sebutkan.
“ohh ini tadi waktu ngejemur di atas, eh ada baju yang jatoh dan nyangkut di pohon.” Aku tersenyum malu menutupi rasa kikuk atas kecerobohanku. Ia kembali mendongak ke atas dan mencari-cari benda yang ku sebutkan.
“ohh, coba saya ambilin. Siapa
tau bisa.” Ia mengambil bambu panjang di tanganku dan memulai perburuannya.
“ga kuliah mba?” Rada aneh memang
mendengarnya terus-terusan memanggilku dengan sebutan mba. Meskipun itu
perwujudan dari rasa hormatnya tetap saja aku merasa tersinggung, bukannya
justru ia yang lebih tua dari ku.
“lagi libur abis uas. Nanti setelah
lebaran baru masuk. Sebenarnya ada SP, tapi males ikut. Toh ikut SP juga ga
bikin kuliah jadi tiga setengah taun.”
Dia hanya tersenyum sambil
meneruskan aksinya.
Setelah mendapatkan baju yang
tersangkut itu, kami jadi terlibat percakapan ringan. Ia duduk di jok motornya
sementara aku berdiri bersandar pada batang pohon mangga. Tidak lebih dari
sepuluh menit. Bahan obrolannya pun hanya seputar kuliah ku karena ia
menanyakannya. Atau aku yang bertanya tentang pekerjaannya di sebuah dealer
untuk menghormatinya dan memberi kesan bahwa aku juga peduli. Agak basi memang.
Tapi itu jadi awal hubungan baik ku dengan tetangga.
Sejak itu aku jadi sering
menantikan saat ia datang ke rumah untuk menitipkan atau mengambil motornya. Tak
jarang aku sengaja nongkrong di ruang tamu, berpura-pura membaca novel, padahal
agar lebih cepat menghampiri saat ia datang.
Begitu pula saat Ramadan tiba. Kami
sering tak sengaja pulang bareng usai solat tarawih atau kuliah subuh. Ia juga
banyak mengutarakan pendapatnya tentang isu yang sedang hangat, pemerintahan
yang sedang berkuasa, atau kondisi masyarakat saat ini. Sepertinya ia tipe
mahasiswa yang senang berkumpul di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, mengikuti
berbagai kajian politik, atau bahkan memimpin demo. Aku jadi menerka sendiri. Sayang
statusnya sebagai mahasiswa harus dilepas si tengah jalan. Aku pernah dengar
waktu masih menjadi warga baru, ia terpaksa berhenti kuliah karena, Pak Farid,
ayahnya kena PHK.
Sekarang Mas Wahyu juga tak pernah
menitipkan motornya lagi. Rumahnya telah rampung dibersihkan. Maksudnya sedikit
direnovasi. Hanya saja dia memandang itu cuma beres-beres rumah. Aku pun
mengetahuinya setelah aku melewati rumahnya saat hendak membeli isi pensil
mekanik yang tak disediakan warung depan rumah.
Beberapa ember yang terlihat
bekas adonan semen. Pasir yang berserakan disana-sini hingga beberapa
butirnyatumpah ruah ke jalan. Ia dengan sapu lidi di tangannya terlihat asyik
menyingkirkan debu yang bertebaran. Sesekali aktifitasnya itu terhenti untuk
membuang kertas pembungkus semen ke tempat sampah. Dan saat itu ia melihatku
dan tersenyum.
“mau kemana, mba?” sapanya ramah
dengan tak melepaskan lengkungan di bibirnya.
“ini mau ke warungnya Pak Untung.”
Aku pun hendak meneruskan perjalanan dan berharap ia meneruskan aktifitasnya. Namun
ternyata tidak. Ia masih mematung dengan seyumnya itu. Ya Allah menunggu apa lagi
orang ini. aku jadi gugup dan tak tahu harus berbuat apa.
“lagi bersih-bersih mas?” hanya
itu yang dapat keluar. Terlihat bodoh memang. Dan sekitar sepuluh meter dari
situ aku memukul jidatku setelah sebelumnya mesem-mesem sendiri.
***
Aku segera masuk rumah dan
menghampiri meja makan kemudian membuka tudung saji. Sepertinya sudah kebiasaan
ku usai keluar rumah pasti melakukan ritual itu. Entah juga karena lapar tak
tertahankan usai mengerjakan pre test awal semester dari dosen dengan dalih
ingin tahu kemampuan awal mahasiswa. Ada
dua kotak disana. Satunya berukuran agak besar berisi nasi beserta lauknya. Satunya
lahi berukuran kecil berisi panganan ringan. Ada jejak jamahan manusia disana. Aku
hanya tersenyum. Aku keduluan adik ku.
“hantaran dari siapa, Bu?” Aku mencomot
risoles dari kotak kecil itu.
“itu tadi habis ngaji di rumah Bu
Farid. Mas Wahyu kan minggu depan mau nikah. Sama orang Bekasi kalau ga salah
....”
Tak ku dengar lagi cerita ibu. Risoles
itu masih melayang di udara. Belum sempat singgah di bibirku bahkan. Aku masih
mematung. Mungkin kalau tak ada meja makan sebagai tempat bersandar aku sudah
terduduk di lantai.
1 comments
wah, kade jatuh ngageblag ke belakang nanti malah gegar otak .. hehehe ..
ReplyDelete