Pola Pengasuhan vs Pola Pendidikan

by - June 02, 2012


                Membaca sebuah pengalaman seorang di salah satu blog membuat saya merinding ketika membayangkan saya akan menjadi seorang guru. Bukan tentang pengalamannya melihat sosok ‘penghuni’ sekolah yang menyeramkan. Bukan pula tentang materi pelajaran yang dirasa semakin sulit hingga membingungkan pendidik bagaimana caranya mentransfer itu kepada murid-muridnya.
                Ia bercerita tentang pengalaman pertamanya mengajar. Sebuah kelas yang sudah dua kali ditinggalkan guru sebelumnya lantaran guru-guru itu tidak sanggup mengahadapi sikap murid-murid di kelas tersebut. Ahh mungkin guru-guru itu saja yang kurang profesional sampai harus menyerah di tengah jalan. Padahal jika mengingat bekal pendidikan yang sudah diperoleh di bangku kuliah kependidikan, rasa-rasanya semua peserta didik bisa diatasi. Hanya mungkin metodenya saja yang berbeda. Itu juga yang dipikirkan oleh guru tersebut. Namun setelah saya melanjutkan membaca, saya jadi pesimis untuk menjadi seorang guru. Atau mungkin saya saja yang mudah terpengaruh. Ia hampir menyerah. Berbagai cara sudah ia tempuh. Mulai dari cara halus, pemberian reward, sangsi, bahkan pemanggilan orang tua. Yang semakin membuat saya terhenyak, ketika orang tua dari salah satu siswa itu dipanggil. Apa yang dikatakannya? Intinya orang tua tersebut mengatakan seperti ini “anda tidak bisa meminta saya untuk membuat anak saya menghormati anda. Anda sendiri yang harus melakukannya. Saya mendidik anak saya secara demokratis. Mereka bebas malakukan apa saja selama mereka bisa bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. ” meskipun cerita ini happy ending, namun saya masih terganjal pada apa yang orang tua tersebut katakan.
                Di sisi lain, saya setuju dengan orang tua tersebut. Kita tidak bisa meminta orang lain untuk menghormati kita. Rasa respect itu merupakan feed-back dari sikap kita terhadap peserta didik. Namun bukan berarti orang tua menjadi bersikap lepas tangan terhadap sikap anaknya di sekolah. Di salah satu blog lain lagi (saya lupa sumbernya) menyatakan bahwa ada kesalahan paradigma di masyarakat. Idealnya pendidikan merupakan proses berkesinambungan dari mulai sejak dilahirkan hingga liang lahat bukan? Dengan kata lain seorang peserta didik seharusnya telah mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga  dan masyarakat sebelum ia bersekolah. Sementara sekolah pada dasarnya adalah wadah bagi proses pendidikan. Bukan pusat pendidikan . Dari 24 jam dalam sehari yang dimiliki peserta didik, berapa jam ia habiskan di sekolah? Kurang dari setengahnya. Namun banyak masyarakat kemudian beranggapan jika seseorang tidak berhasil menerapkan hasil belajarnya (entah dalam domain kognitif, afektif, maupun psikomotor), maka itu merupakan ketidakberhasilan sekolah dalam mendidik. Kita sering mendengar ungkapan “ disekolahin kok malah kaya gini?” atau “mana hasilnya? Katanya sekolah”. Jika orang tua berkata demikian, maka sesungghnya ia sedang mendeklarasikan ketidakberhasikan dalam mendidik anaknya.  Ia lupa sisa waktu dari 24 jam yang dihabiskan anaknya merupakan tanggunga jawabnya, bukan tanggung jawab sekolah.
                 Orang tua yang berkata di atas mungkin lupa bahwa sekolah bukanlah rumah yang ia dan keluarganya tinggali. Sekolah merupakan institusi yang memiliki peraturan mengikat bagi seluruh warganya. Tidak peduli apakah warganya itu telah terbiasa dengan peraturan itu atau tidak. Inilah yang juga harus menjadi bahan pertimbangan orang tua saat hendak mendaftarkan anaknya ke sekolah. Pemahaman bahwa sekolah merupakan fasilitas publik yang berbeda dengan rumah mutlak diperlukan. Peserta didik akan bertemu banyak orang dengan karakter yang berbeda juga dengan kebiasaan dan aturan yang berbeda. Pola pendidikan yang mungkin akan sangat berbeda dengan pola pengasuhan orangt tua terkadang menyulitkan tercapainya tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Kesenjangan ini pula yang sesungguhnya menimbulkan kesulitan bagi peserta didik dalam menginterpretasikan harapan lingkungan atas dirinya
                Bukan ingin menumbuhkan sikap tidak bertanggung jawab atas peserta didik, namun sekedar ingin menyadarkan bahwa hakekatnya orang tua menitipkan anaknya kepada pihak sekolah bukan melimpahkan kewenangan pengajaran. Karena pendidikan merupakan sebuah uasaha bersama. Tidak akan berhasil sebuah proses pendidikan apabila tidak ada kepedulian dari orang tua dan keterlibatan masyarakat tentang esensi pendidikan itu sendiri tentunya.

You May Also Like

2 comments

  1. bener2 kecanduan nih anak. haha. bagus bagus. teruskan. !

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha
      ini udah ampir bulukan mi disimpen
      dan sekarang menemukan medianya

      Delete