Pola Pengasuhan vs Pola Pendidikan
Membaca sebuah pengalaman seorang di salah satu blog membuat
saya merinding ketika membayangkan saya akan menjadi seorang guru. Bukan
tentang pengalamannya melihat sosok ‘penghuni’ sekolah yang menyeramkan. Bukan
pula tentang materi pelajaran yang dirasa semakin sulit hingga membingungkan
pendidik bagaimana caranya mentransfer itu kepada murid-muridnya.
Ia
bercerita tentang pengalaman pertamanya mengajar. Sebuah kelas yang sudah dua
kali ditinggalkan guru sebelumnya lantaran guru-guru itu tidak sanggup
mengahadapi sikap murid-murid di kelas tersebut. Ahh mungkin guru-guru itu saja
yang kurang profesional sampai harus menyerah di tengah jalan. Padahal jika
mengingat bekal pendidikan yang sudah diperoleh di bangku kuliah kependidikan,
rasa-rasanya semua peserta didik bisa diatasi. Hanya mungkin metodenya saja
yang berbeda. Itu juga yang dipikirkan oleh guru tersebut. Namun setelah saya
melanjutkan membaca, saya jadi pesimis untuk menjadi seorang guru. Atau mungkin
saya saja yang mudah terpengaruh. Ia hampir menyerah. Berbagai cara sudah ia
tempuh. Mulai dari cara halus, pemberian reward, sangsi, bahkan pemanggilan
orang tua. Yang semakin membuat saya terhenyak, ketika orang tua dari salah
satu siswa itu dipanggil. Apa yang dikatakannya? Intinya orang tua tersebut
mengatakan seperti ini “anda tidak bisa meminta saya untuk membuat anak saya
menghormati anda. Anda sendiri yang harus melakukannya. Saya mendidik anak saya
secara demokratis. Mereka bebas malakukan apa saja selama mereka bisa
bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. ” meskipun cerita ini happy ending,
namun saya masih terganjal pada apa yang orang tua tersebut katakan.
Di sisi
lain, saya setuju dengan orang tua tersebut. Kita tidak bisa meminta orang lain
untuk menghormati kita. Rasa respect itu merupakan feed-back dari sikap kita
terhadap peserta didik. Namun bukan berarti orang tua menjadi bersikap lepas
tangan terhadap sikap anaknya di sekolah. Di salah satu blog lain lagi (saya
lupa sumbernya) menyatakan bahwa ada kesalahan paradigma di masyarakat.
Idealnya pendidikan merupakan proses berkesinambungan dari mulai sejak
dilahirkan hingga liang lahat bukan? Dengan kata lain seorang peserta didik
seharusnya telah mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga dan masyarakat sebelum ia bersekolah.
Sementara sekolah pada dasarnya adalah wadah bagi proses pendidikan. Bukan
pusat pendidikan . Dari 24 jam dalam sehari yang dimiliki peserta didik, berapa
jam ia habiskan di sekolah? Kurang dari setengahnya. Namun banyak masyarakat
kemudian beranggapan jika seseorang tidak berhasil menerapkan hasil belajarnya
(entah dalam domain kognitif, afektif, maupun psikomotor), maka itu merupakan
ketidakberhasilan sekolah dalam mendidik. Kita sering mendengar ungkapan “
disekolahin kok malah kaya gini?” atau “mana hasilnya? Katanya sekolah”. Jika
orang tua berkata demikian, maka sesungghnya ia sedang mendeklarasikan
ketidakberhasikan dalam mendidik anaknya.
Ia lupa sisa waktu dari 24 jam yang dihabiskan anaknya merupakan
tanggunga jawabnya, bukan tanggung jawab sekolah.
Orang tua yang berkata di atas mungkin lupa
bahwa sekolah bukanlah rumah yang ia dan keluarganya tinggali. Sekolah
merupakan institusi yang memiliki peraturan mengikat bagi seluruh warganya.
Tidak peduli apakah warganya itu telah terbiasa dengan peraturan itu atau
tidak. Inilah yang juga harus menjadi bahan pertimbangan orang tua saat hendak
mendaftarkan anaknya ke sekolah. Pemahaman bahwa sekolah merupakan fasilitas
publik yang berbeda dengan rumah mutlak diperlukan. Peserta didik akan bertemu
banyak orang dengan karakter yang berbeda juga dengan kebiasaan dan aturan yang
berbeda. Pola pendidikan yang mungkin akan sangat berbeda dengan pola
pengasuhan orangt tua terkadang menyulitkan tercapainya tujuan pendidikan yang
sesungguhnya. Kesenjangan ini pula yang sesungguhnya menimbulkan kesulitan bagi
peserta didik dalam menginterpretasikan harapan lingkungan atas dirinya
Bukan
ingin menumbuhkan sikap tidak bertanggung jawab atas peserta didik, namun
sekedar ingin menyadarkan bahwa hakekatnya orang tua menitipkan anaknya kepada
pihak sekolah bukan melimpahkan kewenangan pengajaran. Karena pendidikan
merupakan sebuah uasaha bersama. Tidak akan berhasil sebuah proses pendidikan
apabila tidak ada kepedulian dari orang tua dan keterlibatan masyarakat tentang
esensi pendidikan itu sendiri tentunya.
2 comments
bener2 kecanduan nih anak. haha. bagus bagus. teruskan. !
ReplyDeletehahaha
Deleteini udah ampir bulukan mi disimpen
dan sekarang menemukan medianya